GG

GG
Follow my Twitter : @lovbie_df

Kamis, 10 Oktober 2019

[BTS The Notes] SHADOW OF MY CHILDHOOD 2


SHADOW OF MY CHILDHOOD (2)
Translated by BIE

Disclaimer : Cerita sepenuhnya milik Big Hit Entertainment, saya disini hanya menerjemahkan saja ke dalam Bahasa Indonesia. Mohon maaf apabila banyak kesalahan dalam penulisan.

Taehyung, 29 Desember (10 tahun)

            Aku melempar sepatuku, kulempar tasku ke lantai, dan lari ke kamar. Ayah benar-benar di rumah. Aku tidak punya waktu untuk memikirkan berapa lama dia pergi dan dari mana datangnya. Aku hanya melempar diriku ke dalam lengannya. Menjadi buram dari titik itu. Aku tidak yakin apakah aku lebih dulu mencium bau minuman keras dari nafasnya, mendengar makiannya dulu, atau ditampar dulu. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Nafasnya yang bau alkohol menjijikkan dan nafasnya berat. Matanya merah. Dia memiliki jenggot yang kasar. Sebuah tangan yang kuat menamparku. “Apa yang kau lihat?” Dia menamparku lagi. Ayah menyambar bahuku dan mengangkatku. Aku hampir berhadapan dengannya. Mata merah dan jenggot kasar. Dia bukan ayahku. Sebenarnya, dia ayahku. Tapi dia bukan. Kakiku menggantung di udara. Aku ketakutan bahkan aku tidak bisa menangis. Saat berikutnya, kepalaku menabrak dinding dengan keras dan aku roboh ke lantai. Rasanya jika kepalaku retak akan sulit bagiku melihat dengan jelas. Kini semua menjadi gelap gulita.[BIE]
 

[BTS The Notes] SHADOW OF MY CHILDHOOD 1





SHADOW OF MY CHILDHOOD (1)
Translated by BIE

Disclaimer : Cerita sepenuhnya milik Big Hit Entertainment, saya disini hanya menerjemahkan saja ke dalam Bahasa Indonesia. Mohon maaf apabila banyak kesalahan dalam penulisan.


Hoseok, 23 Juli (10 tahun) 

          Semua itu terjadi ketika aku berhitung sampai empat. Aku menghitung beberapa buah, mungkin tomat atau melon. Aku tidak yakin. “Empat.” Segera setelah kuucapkan itu, bayangan masa kecilku muncul. Aku bergandengan tangan dengan seseorang.

            Hari itu adalah hari dimana pertama kalinya aku ke taman bermain dengan ibu. Aku terpukau dengan bendera warna-warni dan deretan toko. Orang-orang berpakaian seperti badut melambaikan tangan padaku, dan musik yang menarik bergema di setiap sudut. Ibu berhenti di depan komedi putar. Kuda putih berputar-putar di bawah cahaya berkilauan. Aku akan bertanya, “Bu, apakah kita kesini untuk naik ini?” ketika seseorang memanggilku. “Hoseok.” Aku mendongak.

            Itu guruku. Teman-teman sekelasku menatapku dengan pandangan bingung. Bayangan teman-teman sekelasku muncul. Guruku mendesakku untuk melanjutkan itu, dan aku mulai menghitung lagi. Lima. Enam. Ibu muncul dihadapanku lagi. Dia terlihat persis seperti beberapa menit yang lalu. Wajahnya teduh saat dia berdiri di depan cahaya dan semilir angin menyibak rambutnya. Ibu mengulurkan sebatang coklat. “Hoseok, pejamkan matamu dan jangan dibuka sampai kau menghitung hingga sepuluh.”

            Tujuh. Delapan. Sembilan. Aku berhenti disana. Guruku membuat gerakan mengisyaratkan padaku untuk melanjutkannya. Teman-teman sekelasku menatapku lagi. Kubuka mulutku, tapi tidak ada kata yang keluar. Wajah ibu menjadi kabur. Kelihatannya seakan dia tidak akan datang untuk mencariku jika aku menyelesaikan hitunganku sampai sepuluh. Aku terjatuh ke lantai. [BIE]


Kamis, 03 Oktober 2019

[BTS The Notes] PROLOGUE : GOOD KID











PROLOGUE: GOOD KID
Translated by BIE 



Disclaimer : Cerita sepenuhnya milik Big Hit Entertainment, saya disini hanya menerjemahkan saja ke dalam Bahasa Indonesia. Mohon maaf apabila banyak kesalahan dalam penulisan.

Seokjin, 10 Oktober (9 tahun) 

            “Ayo, kita harus keluar dari sini!” Kuraih tangan temanku dan lari ke pintu belakang kelas. Sementara kutengok ke belakang sambil berlari turun ke ruangan, kulihat laki-laki menerobos keluar kelas mengejar kami.“Berhenti! Berhenti disitu!” Suara-suara mereka seperti mencengkeram leher kami.

            Dengan bingung kami memikirkan harus pergi kemana sementara kami berlari menuruni tangga. Tujuan pertama yang muncul dalam benak adalah bukit di belakang sekolah. Hanya perlu menyeberangi taman bermain dan keluar dari gerbang sekolah dan kami akan tiba di kaki bukit. Walaupun itu tidak begitu tinggi, tapi itu lumayan berbatu and tidak rata. Setelah berlari melewati gerbang and tikungan dengan kecepatan penuh, kami mengabaikan jalan setapak dan melompat ke semak-semak. Kami menyibak dahan yang lebat dan tetap berlari. Berlari seperti tanpa akhir, akhirnya berhenti ketika langkah kaki dibelakang kami menghilang.

            Kami ambruk diatas tanah dengan timbunan dedaunan kering, keringat menetes dari wajah kami. “Mereka tidak bisa menyusul kita kesini, kan?” Temanku mengangguk, bernafas dengan berat. Kami mengangkat kaos untuk menyeka wajah dengan keliman[1]. Wajah temanku basah dengan keringat dan air mata. Pergelangan tangannya memar. Kerah kaosnya sobek.

            “Ayah tidak pulang lebih dari seminggu. Ibu terus-terusan menangis. Bibi pembantu dan sopir tidak datang. Bibi bilang perusahan ayah ditutup. Pria-pria itu datang ke rumah kami semalam. Mereka terus menekan bel dan berteriak memanggil ayah. Kami tinggal di dalam dengan semua lampu dimatikan, dan mereka terus mengumpat di depan pintu. Kami tidak bisa tidur.” Temanku menangis di sepanjang ceritanya. Aku tidak bisa mengatakan apapun. Yang bisa kulakukan hanyalah memberitahunya untuk tidak menangis.

            Itu tidak lama setelah kelas dimulai ketika pintu depan mengayun terbuka dan empat atau lima pria menerobos masuk. Mereka tidak sopan dan kasar. “Siapa dari kalian yang putra Pak Choi? Keluarlah dengan kami.” Tertegun, guru kami menyuruh mereka langsung pergi, tapi mereka dengan mudahnya mengabaikannya. “Kami tahu kau disini. Ayo keluar sekarang juga.” Beberapa murid melirik temanku yang duduk disampingku dan mulai berbisik-bisik. Pria itu sadar dan mendatangi kami. “Tidak bisakah kalian lihat kami sedang ada kelas? Tolong pergi.” Guru kami mencoba memblokir mereka namun pria itu mendorong tangannya ke papan tulis. Dia terjatuh ke lantai.

            Pria yang mendorong guru kami berjalan ke arah kami dengan cara yang mengancam. Semua kepala murid mengarah pada kami. Pria itu menyambar lengan temanku. “Kami akan membawamu ke ayahmu dan mendapatkan uang darinya. Tentunya, dia tidak akan mengabaikan anaknya.” Pria itu mengancam, dan suasananya menakutkan.

            Kulihat wajah temanku. Dia bergetar. Bergetar hebat dengan kepala menunduk. Dia adalah temanku. Kuraih tangannya dibawah meja. Dia mendongak dan kutarik tangannya. “Ayo lari.”

            Langit semakin gelap dan gelap. Tidak satu orangpun terlihat mengejar kami. Kami berjalan melewati pepohonan dan semak-semak ke jalan setapak. Banyak peralatan olahraga terbengkalai terlihat di hadapan kami. Kusandarkan daguku diatas palang. Temanku duduk di bangku. “Aku takut kau akan dapat masalah gara-gara aku.” Temanku terlihat ragu ketika kukatakan aku akan baik-baik saja. Yang bisa kupikirkan di kelas adalah untuk membawanya keluar dari sana. Aku harus membawanya menjauh dari pria-pria itu. Tapi, ketika kami mulai berlari, aku sadar kami tidak ada tempat tujuan.

            “Ayo ke tempatku.” Seharusnya sekitar pukul 9 malam sejak beberapa waktu berlalu setelah matahari terbenam. Aku lapar. Mestinya dia juga. “Apakah orang tuamu di rumah? Tidakkah kau akan mendapat masalah karena membawaku kesana?”  
“Kita bisa menyelinap masuk. Jika kita mendapat masalah, ya memang kita dapat masalah.” Rumahku tidak begitu jauh dari kaki bukit. Tidak lama, rumahku terlihat dari pandangan. “Masuklah ke belakang ketika gerbang terbuka dan bersembunyilah dibelakang pohon. Nanti aku akan membukakan jendela untukmu.”

            Ibu duduk di sofa ruang tamu. “Dari mana saja kamu? Gurumu menelepon.” Alih-alih menjawab pertanyaannya, aku mengatakan padanya aku menyesal. Biasanya itu cara tercepat untuk mengakhiri obrolan. Ibu bilang ayah akan pulang beberapa menit lagi kemudian menuju ke ruangannya. Kamarku di seberang kamar mereka dengan runag tamu di tengah-tengahnya. Cepat-cepat aku ke kamar dan membuka jendela.

            Kami dengar gerbang depan dibuka sementara kami bermain game di komputer setelah makan roti dan minum susu. Temanku memandangku dengan mata ketakutan. “Tidak apa-apa. Ayah tidak pernah masuk kamarku.” Pintu kamarku terbuka sebelum kuselesaikan ucapanku. Kami melompat dari tempat duduk dengan ketakutan.

            “Apakah kau anak Pak Choi?” Ayah melanjutkan tanpa menunggu jawaban. “Ayo keluar. Seseorang datang untuk membawamu.” Ada seorang pria berdiri di ambang pintu. Awalnya kupikir itu Pak Choi tapi kemudian aku sadar dia bukan Pak Choi. Dia salah satu pria yang menerobos ke kelas tadi. Aku mendongak memandang ayah. Dia terlihat lelah, dengan alis menyatu dan kelopak
mata bergetar pelan. Lebih baik tidak mengganggunya ketika dia dalam kondisi seperti itu. Sementara kucoba menbaca wajahnya, pria itu masuk ke kamarku dan meraih bahu temanku. Aku melompat ke depan temanku. “Tidak, ayah, jangan biarkan pria ini membawanya pergi. Dia adalah orang jahat.”

            Dia hanya menunduk menatapku dan tidak bergerak. “Kumohon tolong dia, Ayah. Dia temanku.” Pria itu mencoba menarik temanku keluar. Kugenggam lengan temanku, dan ayah mencengkeram bahuku. Dia mencengkeram dan menariknya kasar. Aku harus melepas lengan temanku. Dia diseret keluar. Aku mencoba membebaskan diri, tapi ayah mengencangkan cengkereamannya. “Sakit!” Aku berteriak, tapi ayah tidak melepasnya. Dia hanya mencengkeram bahuku lebih kuat. Air mata mengalir ke wajahku.

            Aku mendongak menatap ayah. Dia seperti dinding yang kokoh. Wajahnya tanpa ekspresi, bahkan wajah lelahnya sirna. Dia perlahan membuka mulutnya dan matanya menatapku. “Seokjin, jadilah anak yang baik.” Dia masih dengan tatapan kosongnya. Tapi aku tahu, apa yang harus kulakukan untuk menghentikan rasa sakit ini.

            “Seokjin.” Aku menoleh ke arah temanku yang menangis. Dia lolos dari cengkeraman pria itu dan berlari ke pintuku. Dia menangis. Ayah, dengan satu tangannya masih mencengeram bahuku, membanting pintu dengan tangannya yang lain. Aku meminta maaf padanya. “Maafkan aku Ayah. Aku tidak akan membuat masalah lagi.”

            Keesokan harinya, tempat duduk di sampingku kosong. Guruku bilang dia dipindahkan ke sekolah lain. [BIE]



[1] Keliman = lipatan jahitan di tepi kain (KBBI)