GG

GG
Follow my Twitter : @lovbie_df

Rabu, 14 Desember 2016

[CERPEN] THE TRAINEE

Alhamdulillah jadi kontributor di lomba kemarin....ada BTS nya loh :D monggo dibaca...

*****
           Jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi, tapi lampu di salah satu ruangan di lantai dua gedung itu masih menyala. Tujuh gadis yang ada di dalamnya kini tengah meregangkan otot-otot mereka dan membiarkan keringat terus meluncur bebas.
“Pizza,” gumam Herni tiba-tiba, membuat seluruh pasang mata menatapnya seraya mengernyit. “Aku mau pizza.”
            “Sudah selesai kan? Aku pulang dulu,” ucap Hakyung yang langsung menyambar tasnya dan keluar.
            Lintang terus menatapnya sampai sosok Hakyung menghilang, kemudian menoleh pada Sookyung yang duduk tak jauh darinya “Kenapa dia? Sakit?”
            “Entahlah, bukankah biasanya juga seperti itu?” jawab Sookyung dengan malas.
            “Pizzaaaaa...” rengek Herni seraya menghentakkan kakinya.
            “Kita tidak boleh terlihat gendut saat debut nanti. Jadi tahanlah, oke?” bujuk Lintang.
            “Kita sudah latihan lebih dari sepuluh jam, tidak bisakah kita makan enak sebentar?” keluh Bi yang kini telah meletakkan kepalanya di pangkuan Sookyung.
            “Walaupun kita pesan makanan, tidak mungkin kita bisa makan disini,” Lintang mulai melirik tiap sudut ruangan dengan was-was.
            Femmy memejamkan kedua matanya kemudian bergumam, “Di apartemen juga tidak bisa, pasti Kak Hakyung akan melaporkan kita nanti.”
            “Apartemen?” Dian langsung menyilangkan kedua tangan di depan dadanya dan menerawang. “Bukankah masa sewa apartemen lama kita belum berakhir?”
            “Ah ya. Berarti itu masih milik kita kan?” Bi langsung terlonjak dan menatap teman-temannya dengan mata berbinar-binar. “Kita kesana saja. Kita bisa makan sepuasnya disana.”
            “Kalian yakin? Mungkin saja kodenya sudah diganti,” Lintang berusaha mencegah tindakan nekat mereka, namun tetap saja mereka menemukan jawaban untuk keraguannya.
            “Kita tidak akan tahu tanpa mencobanya dulu,” sahut Herni.
Hampir sepuluh menit Lintang berpikir keras sebelum akhirnya menghela napas panjang dan bergumam, “Baiklah, kita berangkat sekarang.” Keputusannya itu disambut sorakan dan tepuk tangan dari teman-temannya. Akhirnya mereka pun meninggalkan ruangan setelah Dian mematikan sakelar lampu ruang latihan.
***
Mereka saling berpandangan begitu sampai di depan pintu apartemen mereka, antara pesimis dan optimis bercampur menjadi satu.
“Herni, cobalah,” pinta Lintang sebenarnya agak takut kalau rencana mereka gagal.
Herni segera membungkuk, mengamati deretan angka di hadapannya kemudian memejamkan mata. Helaan napas panjang terdengar begitu kedua matanya terbuka. Jari telunjuk kanannya perlahan menekan tombol angka 3, kemudian 0, 1, 2, 1, dengan tatapan penuh harap ia menekan tombol angka terakhir, 5. Semua ternganga begitu suara klik terdengar. Dengan ragu-ragu Sookyung membuka pintu di hadapan mereka dan langsung menoleh pada teman-temannya begitu pintu terbuka perlahan.
“Kita...kita berhasil?” tanya Dian tak percaya, sementara Herni langsung mendorong teman-temannya masuk.
“Apa…kalian tidak senang dengan kehadiran kami?” tanya Sookyung tiba-tiba.
“Kalau kami tidak senang tentu saja kami tidak akan menegur kalian” jawab Dian.
“Kenapa kau merasa kami tidak senang?” tanya Bi.
“Kak Hakyung bilang kalau aku seharusnya tidak usah dekat dengan kalian karena kalian pasti membenci kami. Saat kalian sudah bekerja keras selama dua bulan, tiba-tiba kami datang mengacaukan semuanya.”
“Mengacaukan katamu? Bagian mana yang terlihat seperti kalian mengacaukan kami?” Femmy yang mulai ikut geram pun tidak mau tinggal diam.
“Kalian harus latihan ulang untuk koreografinya, padahal itu sudah tiga hari sebelum evaluasi akhir bulan,” Sookyung semakin menundukkan kepalanya, bahkan terlihat hampir menghilang di antara kedua kaki yang dilipat di depan dadanya.
“Jangan pernah berpikir kami membenci kalian karena kami tidak punya waktu untuk hal itu. Jangan goyah karena apapun, kita hanya perlu mewujudkan mimpi kita bersama-sama,” sahut Lintang yang telah selesai dengan urusannya memesan pizza dan es krim.
“Aku juga ingin meraih mimpiku bersama kalian,” ucap Sookyung. “Tapi kurasa Kak Hakyung tidak menginginkannya,” imbuhnya dalam hati.
***
            Hakyung mengerjap pelan, kemudian bangkit dari tempat tidurnya dan meraba sakelar lampu yang ada di dekat pintu. Ia pun mengernyit begitu seseorang yang seharusnya ada disana malah tidak kelihatan. Ia pun segera berlari keluar menuju ke kamar Lintang dan Dian. Hakyung mendengus begitu keduanya tidak ada disana. Tanpa pikir panjang ia segera kembali ke kamarnya dan berusaha menghubungi seseorang.
“Manajer, aku ingin kau memeriksa sesuatu. Apa kau masih ada di perusahaan?”
            “Iya, ada apa?”
            “Bisakah kau cek apa anak-anak masih disana? Apa mereka masih di ruang latihan?”
            “Sebentar!” terdengar suara kedua kaki manajer yang tengah berlari ke ruang latihan. “Ruangan ini sudah gelap.” gumamnya. “Kim Taehyung, apa kau melihat gadis-gadis trainee yang biasa latihan disini?” tanya manajer pada salah satu anggota grup asuhan agensi mereka.
            “Aku melihat mereka keluar tadi, bahkan mereka sempat menyapaku. Kalau tidak salah hampir satu jam yang lalu.” Tak hanya manajer, Hakyung yeng mendengar percakapan mereka pun terlonjak. Sudah hampir satu jam tapi belum juga tiba di apartemen?
            “Menurutmu kalau tidak pulang, mereka ada dimana sekarang?” tanya Hakyung begitu suara Taehyung tidak terdengar lagi.
            “Mungkinkah, apartemen lama. Aku juga tidak yakin, lagipula untuk apa kesana?”
            Tiba-tiba Hakyung langsung teringat pada Herni yang merengek ingin makan pizza. “Bisakah kau kesana? Aku tadi sempat mendengar Herni ingin makan pizza. Aku ingin kau kesana, awasi apa yang mereka lakukan.” Tidak ada jawaban dari manajernya, bahkan manajer langsung mengakhiri pembicaraan begitu saja, namun itu cukup untuk membuat senyum licik Hakyung terlukis di wajah cantiknya.
***
            Ting Tong…
            Bunyi itu berhasil membuka lebar mata keenam gadis itu, bahkan Lintang langsung berlari untuk membuka pintu sementara di dalam mulai gaduh.
            “Pizza?” tanya Herni yang tentu saja berharap mendapat jawaban ‘ya’.
          “Tadaa…” teriak Lintang begitu kembali dengan dua kotak pizza dan beberapa es krim. “Selamat makaaan…” ucap Lintang tepat ketika ponselnya berbunyi. Sontak mereka semua langsung menghentikan pesta mereka. Herni dan Bi yang telah siap memasukkan sepotong pizza ke mulut mereka bahkan langsung meletakkan pizza itu di tempatnya semula. “Ha…Halo, manajer?” mendengar kata manajer, tiba-tiba Sookyung memandangi setiap sudut langit-langit sampai ia menemukan sesuatu yang berhasil membuatnya terbelalak.
            Melihat sikap Sookyung, Bi pun berusaha mencari tahu apa yang Sookyung lihat. “Kita diawasi,” bisik Bi yang langsung menundukkan kepalanya.
            “Kita harus pulang sekarang, aku tidak ingin memikirkan apa yang akan terjadi besok,” gumam Lintang yang langsung menarik lengan teman-temannya begitu ia memasukkan ponselnya ke dalam tas beludru coklat miliknya.
            “Aku akan mengurus semuanya,” ucap suara yang berhasil membuat mereka terlonjak.
            “Ma..manajer,” gumam Femmy.
            “PULANG SEKARANG DAN SIAP-SIAP MENERIMA HUKUMAN KALIAN BESOK,” bentak manajer yang membuat mereka kelabakan, bahkan mereka langsung berlari secepat mungkin menghindari kemungkinan-kemungkinan terburuk yang siap terjadi kapan saja. “Terima kasih untuk makanannya,” bisik sang manajer begitu gadis-gadis itu tidak terlihat lagi.
***
“Makan pizza sebelum debut? Kalian sedang memberontak sekarang?” tanya Bang Sihyuk selaku pemilik agensi.
“Maaf, kami memang salah. Tapi kami tidak makan pizza itu sepotong pun, sungguh,” kata Lintang.
“Benarkah?” tanya si bos pada manajer.
“Ya, potongannya masih utuh saat saya dan teman-teman disana. Sayangnya dua kotak pizza masih kurang untuk kami,” celetuk manajer.
“Tindakan kalian tidak bisa dibiarkan. Jadi debut kalian sebagai idol group akan ditunda entah sampai kapan. Hakyung, karena semalam kau tidak ikut, kau boleh pergi.”
“Tunggu. Bisakah Sookyung ikut saya? Dia melakukannya karena terpaksa. Anda tahu sendiri kan kalau maknae[1] tidak cukup berani untuk menolak ajakan kakak-kakaknya?” Hakyung terus memohon, mengabaikan Sookyung yang sedari tadi mencoba mencegahnya.
“Begitukah? Baiklah, kau bisa membawanya pergi. Lee Sookyung, kau harus belajar dari Jeon Jungkook, kau tidak perlu takut untuk menolaknya kalau kau tidak mau.” Sookyung membungkuk dengan ragu-ragu sebelum akhirnya Hakyung membawanya keluar.
“Sudah kubilang jangan dekat-dekat dengan mereka. Mereka berbeda dengan kita,” bentak Hakyung begitu mereka tiba di ruang latihan.
“Apanya? Kita sama-sama punya mimpi untuk debut kan? Aku yang salah.”
“Ini bukan salahmu, Lee Sookyung. Ini memang merupakan tujuan awal agensi kita. Mereka belum berniat membentuk grup idola wanita setelah mereka gagal mempertahankan grup wanita pertama mereka,” terang Hakyung seraya meletakkan kedua tangannya di bahu Sookyung.
“Apa maksudmu?”
“Mereka takut gagal lagi. Mereka ingin mencoba dengan cover group, makanya diadakan audisi itu. Tidak kusangka gadis-gadis Indonesia itu mampu bersaing dengan kita.”
“Lalu kenapa mereka memasukkan kita berdua?”
“Grup itu dibentuk untuk mengaransemen ulang lagu-lagu BTS. Mereka mengambil dua orang dari trainee agensi untuk menyesuaikan jumlah anggota dengan anggota BTS. Tapi kenapa harus kita,” keluh Hakyung.
“Tapi tidak masalah asalkan kita bisa debut,” ucap Sookyung pelan.
“Tidak masalah apanya? Kita dijadikan kelinci percobaan dan kita akan dibuang nantinya. Karir kita akan hancur bahkan sebelum dimulai, Lee Sookyung.”
“Biarkan kita dikenal dulu. Setelah itu kita bisa memulai lagi semuanya.”
“Lee...Lee Sookyung,” Sookyung tetap melangkah menjauh, meninggalkan Hakyung yang masih saja memanggil-manggil namanya.
“Membuang kalian? Kurasa kau salah, bos kita tidak sejahat itu. Jaga ucapanmu nona Choi!” hardik salah satu seniornya, Park Jimin, yang tiba-tiba melintas di depan ruang latihan.
***
“Maaf Sookyung, gara-gara hal ini sepertinya perjuanganmu sebagai trainee sia-sia. Kita tidak bisa debut dengan lagu kita sendiri.” ucap Lintang sesampainya tiba di apartemen. Sontak Sookyung teringat ucapan Hakyung kalau mereka memang akan debut dengan lagu orang lain. “Sookyung? Lee Sookyung.”
“Hmm?”
“Kau baik-baik saja? Kenapa melamun?”
“Tidak, aku baik-baik saja.”
“Setelah berusaha sekeras ini, akhirnya tidak bisa menyanyikan lagu sendiri,” keluh Hakyung yang baru saja tiba. Ia langsung berlalu di hadapan Lintang dan Sookyung.
“Kita latihan disini, guru dance kita akan tiba lima menit lagi. Aku akan membersihkan ruang latihan dulu,” ucap Dian yang langsung berlari ke lantai dua.
“Lee Sookyung, maaf karena aku tidak bisa menjadi leader yang baik,” gumam Lintang. “Aku juga merasa bersalah pada Kak Hakyung,” imbuhnya.
“Yang terpenting adalah kita harus tetap latihan, kata-katamu tidak akan membuat kita kembali ke masa lalu,” balas Sookyung, kemudian berlari menyusul Dian dan Hakyung.
Semua anggota telah berkumpul di ruang latihan, pelatih pun telah berdiri di antara mereka. Tidak ada yang berani mengangkat kepala dan menatap pelatih kecuali satu orang yang masih bisa menampakkan senyum tipisnya, Choi Hakyung.
“Karena tindakan kalian yang berhasil membuat bos kecewa, dengan berat hati aku harus memberi pengumuman yang mungkin sedikit berat untuk kalian,” ucap Guru Han. “Bos memilih lagu BTS, For You, untuk lagu debut kalian. Tapi kalian harus mengaransemen ulang lagu itu sesuai dengan karakter kalian, koreografinya juga.” Jika kalian ingin bertahan disini, kalian harus belajar membuat lagu seperti mereka.”
Dian, Bi, Lintang, dan Sookyung memilih untuk mengaransemen ulang lagu. Mereka memang sering menulis lagu sejak agensi mengumumkan kalau mereka akan segera debut. Hakyung, Femmy, dan Herni memilih membuat koreografi.
“Kalau begitu kalian bisa mulai sekarang, waktunya sampai besok pagi. Besok siang kalian harus menunjukkan hasilnya di depan bos, anggap sebagai ganti evaluasi akhir bulan.”
“Hanya sehari?” protes Bi.
“Jangan mengeluh, lakukan saja!” tegur Hakyung, kemudian Guru Han pun pergi setelah menyemangati mereka.
Hakyung segera memutar lagu BTS yang berjudul For You dan mulai menggerakkan tubuhnya. Melihat Hakyung yang mulai berlatih, Bi pun segera berlari keluar, kemudian kembali dengan laptop maroon di tangannya. Dian, Lintang, dan Sookyung bergabung dengan Bi, sementara Femmy dan Herni bergabung dengan Hakyung. Entah apa yang menghinggapi Hakyung sekarang, tiba-tiba saja sikapnya lebih hangat pada Femmy dan Herni, bahkan ia tidak menolak ketika Femmy mengusulkan koreografinya.
“Haruskah kita membuat gerakan yang lebih anggun?” gumam Femmy yang masih fokus pada cermin di hadapannya.
“Kita coba saja dulu, kalau terlalu anggun kita buat lagi yang baru,” mendengar jawaban Hakyung dengan nada lembut, Bi pun langsung mendongak menatap ketiganya. Melihat mereka yang bersikap seakan tidak pernah berseteru membuat Bi tersenyum lega. Kemudian ia kembali membantu Dian dengan lirik rap-nya.
***
            Saat yang ditunggu telah tiba. Setelah hampir dua puluh empat jam berlatih, akhirnya kini mereka harus menampilkan hasil kerja keras mereka di hadapan bos, para pelatih, para trainee, bahkan senior mereka, BTS, selaku pemilik asli lagu yang akan mereka tampilkan.
            “Kalian harus siap-siap,” perintah manajer mereka.
            Sookyung dan Bi menunduk, mengintip suasana di dalam ruangan melalui celah tirai. Keduanya saling berpandangan begitu melihat senior-senior mereka duduk disana, terlebih karena keduanya memang mengidolakan mereka.
            “Ayo,” bisik Lintang seraya menarik lengan Sookyung dan Bi.
            “Kalian siap?” tanya bos mereka.
            “Ya,” jawab mereka serempak.
            Begitu selesai menyapa seisi ruangan dengan slogan mereka, musik pun terdengar. Bi yang mendapat bagian pertama pun langsung menggerakkan tubuhnya mengikuti irama. Musik mengalun dengan indah. Tidak banyak berubah dari versi aslinya, mereka hanya mengganti beberapa lirik dan koreografi agar sesuai dengan konsep mereka. BTS selaku pemilik asli lagu itu pun menikmati versi baru lagu mereka, bahkan Hoseok beberapa kali terlihat berusaha mengikuti gerakan mereka. Benar-benar kerja sama yang sempurna. Melihat kekompakan mereka, orang-orang mungkin akan berpikir kalau mereka baik-baik saja, bahkan Hakyung tidak menunjukkan rasa bencinya sekarang.
            Penampilan selesai, gemuruh tepuk tangan dan sorakan memenuhi seisi ruangan, bahkan bos mereka bertepuk tangan sambil berdiri. Bang Sihyuk benar-benar terlihat bangga pada mereka.
            “Berapa lama kalian menyiapkan ini?” tanya Namjoon, leader BTS yang memiliki nama panggung Rap Monster.
            “Proses aransemen dan latihan kurang lebih sehari,” jawab Lintang dengan mantap.
            “Hah? Sesingkat itu?” Namjoon langsung melongo menatap mereka. Bisik-bisik pun memenuhi ruangan, ada yang mengatakan kalau mereka bohong, ada pula yang memuji-muji mereka.
            “Ey, kalian bohong kan?” tanya Seokjin.
            “Tidak, sungguh. Kalian bisa bertanya pada Guru Han. Kami diberi tugas ini baru kemarin.” jawab Hakyung tidak terima.
“Benarkah?” tanya Seokjin yang langsung mendapat anggukan singkat dari Guru Han.
            “Ini sebagai pengganti evaluasi akhir bulan mereka sekaligus hukuman karena berusaha melanggar peraturan,” kata Guru Han.
            “Sebenarnya aku tidak bermaksud menjadikan ini sebagai hukuman,” ralat Bang Sihyuk. “Aku ingin melihat apakah kalian layak debut atau tidak,” imbuhnya seraya memberikan sebuah amplop coklat besar pada Lintang.
            Lintang pun membuka amplop bertuliskan “Mirror” di luarnya. Ia mengambil beberapa amplop kecil yang ada di dalamnya dan memberikan amplop-amplop itu pada anggota-anggotanya sesuai nama yang tertulis di luar amplop kecil itu.
            “Eunbi?” gumam Bi begitu ia membuka amplopnya.
            “Kupikir nama panggung itu cocok untukmu. Kau pernah bilang kalau kau suka dengan nama pemberian orang tua angkatmu itu kan?” tanya Bang Sihyuk, sementara Bi langsung tersenyum cerah dan menjabat tangan Bang Sihyuk. “Aku suka nama aslimu, jadi kurasa aku tidak perlu mencarikan nama untukmu,” imbuhnya begitu melihat Femmy yang tidak menemukan kertas apapun di dalam amplopnya.
            “Anda mengambil keputusan yang tepat,” jawab Femmy seraya mengacungkan ibu jari tangan kanannya pada Bang Sihyuk.
            “Byul?”
            “Semua anggotamu menyukai bintang, jadi aku ingin semua anggotamu menyukaimu seperti mereka menyukai bintang,” Lintang tersenyum dan membungkuk berkali-berkali pada bosnya itu.
            “Bagaimana dengan Minran?” celetuk Dian.
            “Kudengar kau mengidolakan Xiumin EXO. Aku sudah mencari tahu nama asli Xiumin. Minseok, Minran, bukankah itu cocok?” goda Bang Sihyuk, sementara Dian hanya tertawa dan terus berterima kasih padanya. “Aku juga punya alasan khusus dengan nama Eunri,” kata Bang Sihyuk begitu Herni telah membuka mulutnya dan siap melontarkan pertanyaan. “Sebelum Hakyung dan Sookyung bergabung, kau dan Bi dipanggil si kembar kan? Begitu aku tahu Bi memiliki nama Eunbi, nama Eunri tiba-tiba melintas di pikiranku.”
            “Yoonha?”
            “Dari dulu kau ingin mengganti namamu dengan nama itu kan? Sekarang kau memiliki kesempatan dipanggil dengan nama itu saat di panggung,” celetuk salah satu anggota BTS, Yoongi atau yang biasa dipanggil Suga. “Jangan tanya dari mana aku tahu hal itu. Kau harus ingat kalau aku adalah teman kecilmu,” imbuhnya.
“Lee Sookyung, kau baik-baik saja?” tanya Femmy yang langsung khawatir begitu mendengar isak tangis Sookyung. Tidak ada jawaban, Sookyung hanya menyodorkan kertasnya pada Femmy. “Soojung. Kenapa? kau tidak suka dengan nama ini?”
            “Apa? Kau tidak suka? Hei aku sudah susah payah mencarikan nama untukmu,” protes Jungkook, anggota termuda BTS.
            “Justru karena a…aku menyukai na…nama ini,” seisi ruangan langsung tertawa begitu mendengar jawaban Sookyung yang masih terisak.
            “Mulai besok sering-seringlah datang ke studio, produser akan memberikan lagu debut kalian besok,” kata manajer.
            “Bukankah lagu tadi yang akan kami nyanyikan?” tanya Herni.
            “Mana mungkin kalian debut dengan menyanyikan lagu orang lain?” sahut Yoongi. “Padahal aku sudah berusaha membantu membuat beberapa lagu untuk kalian.”
            “Bukankah bos bilang trauma? Bukankah itu alasannya agensi membentuk kami sebagai cover group?” Hakyung pun tidak bisa tinggal diam, walaupun dalam hati ia memang berharap kalau mereka benar-benar akan debut sebagai idol group.
            “Aku memang sempat trauma setelah gagal mempertahankan girl group sebelumnya. Tapi setelah melihat usaha kalian, aku berubah pikiran. Tidak mungkin aku membuang apa yang sudah kudapatkan, aku tidak bisa bertindak sejahat itu,” terang Bang Sihyuk yang berhasil membuat mata ketujuh gadis itu berbinar-binar. “Selamat berjuang dengan kami,” imbuhnya seraya menjabat tangan mereka dan meninggalkan ruangan.
***
            Mulai hari itu, mereka sering datang ke studio rekaman. Hubungan mereka pun membaik, bahkan sikap Hakyung semakin hangat dengan teman-temannya. Tidak ada lagi masalah perbedaan antara trainee dan anggota lain, yang ada hanyalah anggota Mirror yang kini hampir berhasil meraih mimpi mereka.


[1] Maknae : Anggota termuda

Jumat, 14 Oktober 2016

[CERPEN] JALAN PULANG



            Hidup jauh dari kampung halaman memang sangatlah berat, terlebih saat tiba-tiba mendapat surat atau kabar dari keluarga. Benar-benar membuat rasa rindu akan kampung halaman semakin bergejolak.
            Aku adalah mahasiswi semester 5 yang kuliah di kampus yang cukup jauh dari kampungku tercinta. Kenyataan bahwa aku tidak bisa sembarangan mengeluarkan uang, membuatku harus menahan diri untuk pulang, tidak peduli seberapa parah rasa rindu ini hampir meledakkan jantungku.
            “Lagi?” gumamku begitu sebuah amplop bertengger di atas mejaku.
            “Kurasa kau harus pulang, tidak biasanya kau mendapat hampir lima surat dalam seminggu,” sahut Widy yang baru saja keluar dari kamar mandi.
            “Bagaimana aku bisa pulang dengan keadaan seperti ini?” keluhku. Aku mulai meninju lengan kiriku begitu rasa pegal menyerang. Namun aku langsung berhenti saat kusadari warna amplop surat itu tidak seperti biasanya. Amplop yang biasa kuterima berwarna putih dengan garis-garis merah dan biru di tepinya. Tapi kini yang kuterima adalah amplop biru dengan gambar-gambar lucu.
            “Ada yang aneh?” tanya Widy begitu menyadari aku masih melamun sambil menatap amplop di tanganku.
            “Ini tidak biasa,” gumamku.
            “Apanya?”
            “Warna amplopnya,” Widy langsung mendengus begitu mendengar jawabanku.
            “Mungkin ibumu kehabisan amplop putih,” jawab Widy yang langsung menyambar tasnya dan berlari keluar. Namun tidak lama kemudian ia kembali melongokkan kepalanya dan bergumam, “Aku mau ke perpus. Jangan lupa kunci pintu kalau kau mau keluar.”
            Aku hanya mengangguk tanpa menatap wajahnya. Sepertinya ia kembali mendengus saat aku tidak menghiraukannya.
            Perlahan kubuka amplop itu, kuamati rentetan kalimat sambil sesekali mengernyit. Sulit memang untuk mengerti maksud dari tulisan anak TK. Ya, surat itu dari adikku yang masih TK. Walaupun tidak karuan, tapi harus kuakui kalau aku bangga dengan usahanya dan karena ia masih peduli padaku. Asal tahu saja, aku tidak begitu dekat dengan adikku, karena aku memang tidak menginginkan seorang adik. Kami sering bertengkar, bahkan hanya karena hal kecil.
            Baru kemarin aku menangis sesenggukan karena membaca surat dari ibuku yang mengatakan kalau beliau ingin mengunjungiku sesekali. Kali ini aku dibuat menangis lagi oleh adik kecilku yang mengatakan bahwa setiap hari ibu membuatkan telur gulung kesukaanku. Yang lebih membuatku tidak kuasa membendung air mataku adalah saat ia mengatakan bahwa ia selalu menyisihkan uang sakunya agar bisa mengajak ibu mengunjungiku.
            Sungguh, aku semakin tidak bisa menahan air mataku. Bagaimana mungkin seorang adik yang setiap hari bertengkar denganku bisa memikirkan hal semacam itu.
            “Yuna? Kau baik-baik saja?” tanya Eki yang baru saja melempar tasnya sembarangan. “Surat lagi?” bisiknya pelan, kemudian aku mengangguk seraya berusaha meredam suara tangisanku.
            Hampir lima menit Eki berusaha menenangkanku, namun bukannya semakin reda, tangisanku semakin pecah ketika ia berbisik pelan, “Pulanglah! Kampung halamanmu merindukanmu”
           Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku memang harus pulang. Hampir tiga tahun tidak menyapa orang tua dan adikku, tentu saja aku merindukan mereka. Aku memang tidak pernah pulang setelah menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di kota ini, bahkan saat lebaran tiba. Selain karena tidak ada biaya untuk pulang, tempatku bekerja pun tidak mengizinkan.
Aku bekerja di toko milik orang China yang super disiplin. Bahkan toko itu tetap buka walaupun hari raya. Lagipula penjaga toko hanyalah aku dan seorang ibu rumah tangga. Saat aku kuliah, Bu Jannah yang menjaga toko. Saat lebaran tiba, seharian penuh aku yang menjaga toko. Tentu saja aku tidak bisa membiarkan Bu Jannah yang menjaga toko sementara anak-anaknya memaksa untuk pulang kampung.
“Aku tidak bisa,” bisikku, masih dengan isak tangis yang enggan berhenti.
“Kenapa? Masalah uang lagi?” aku tidak menjawab. Aku yakin dia memang tahu alasanku. “Bukannya bermaksud untuk sok bijak, tapi keluargamu lebih penting dari semuanya. Kau harus tahu bagaimana mereka sangat merindukanmu,” ada nada kesal dari ucapannya. Mungkin karena aku tidak pernah mengindahkan sarannya untuk pulang ke kampung halaman.
“Kau tahu sendiri kan bagaimana sifat bosku. Bagaimana mungkin aku bisa pulang? Bisa-bisa aku dipecat nanti,” aku masih sesenggukan. Ternyata susah juga menghentikan isakanku ini.
“Daripada tidak bisa bertemu dengan keluarga, lebih baik berhenti saja kan?” aku langsung terdiam. Entah kenapa aku merasa ucapannya seperti ribuan anak panah yang tiba-tiba menusuk jantungku.
Tanpa sadar, aku langsung mendelik dan meliriknya dengan tajam. “Kau bisa dengan mudah mengatakan hal itu karena kau punya uang untuk pulang. Tapi bagaimana denganku? Apa kau pernah memposisikan dirimu sebagai diriku? KAU PIKIR SEMUA INI ADALAH KEINGINANKU?” amarahku benar-benar meledak sekarang.
Eki tertegun dengan sikapku yang tiba-tiba berubah. Ya, aku memang tidak pernah membentak teman-temanku. Ini pertama kalinya, sungguh. Lagipula aku pun sekarang menyesal karena telah membentaknya. Namun sia-sia saja, dia langsung pergi saat aku akan meminta maaf padanya.
“Maafkan aku, Eki,” tangisku kembali meledak. Kali ini diriku sendiri lah penyebabnya.
***
            Hari telah berganti, namun sikap Eki masih sama dinginnya seperti kemarin. Aku sudah mencoba untuk minta maaf, tapi dia selalu saja menemukan cara untuk menghindar dariku. Persis seperti hari ini.
            “Eki, aku...”
            “Teman-teman, aku berangkat dulu ya. Ada presentasi,” teriaknya. Sepertinya ia memang pura-pura tidak menyadari kehadiranku.
            “Yuna?” aku terlonjak begitu Widy menepuk bahuku.
            “Eh?”
            “Kunci pintunya kalau kau mau keluar. Ely sedang tidur. Aku harus pergi sekarang.”
            “Kemana?”
            “Kerja. Aku tidak boleh terlambat,” ucapnya dengan tersenyum lebar. Belum sempat aku bertanya lagi, Widy telah melesat keluar.
            Kerja? Untuk apa? Keluarganya kaya, kenapa harus kerja? Apa dia ingin membeli sesuatu? Tapi biasanya kan dia langsung minta pada orang tuanya. Ah, entahlah. Kenapa juga aku harus memikirkan hal itu. Yang seharusnya kupikirkan sekarang adalah hukuman apa yang akan kudapatkan karena terlambat bekerja.
            “Maaf, saya terlambat,” bisikku pelan. Sungguh, aku tidak berani mengangkat wajahku dan menatap wajah Cik Lingling yang seperti harimau kelaparan. Walaupun toko ini milik suaminya, tapi Cik Lingling dipercaya untuk mengawasi karyawan toko, pusat ataupun cabang.
            “Pasti belum sarapan, mampir ke rumah dulu. Kebetulan Cik tadi belajar masak opor ayam,” sontak kepalaku terangkat, aku tercengang. Seorang Cik Lingling memintaku untuk mampir ke rumahnya? Dan yang paling membuatku seperti orang beloon adalah karena Cik Lingling yang menampakkan senyum di wajahnya.
            Ada apa ini sebenarnya? Hidupku kenapa jadi terasa aneh seperti ini? Ingin rasanya aku bertanya, “Cik, sehat?”. Tapi bukankah itu terdengar tidak sopan?
            “Yuna? Kok malah bengong. Ayo mampir, cicipi dulu opor ayamnya terus jaga.”
            “Tapi Cik, siapa yang jaga...”
            “Sudahlah, ayo cepat. Bu Jannah masih bisa jaga sampai kamu selesai makan,” Cik Lingling sedikit memaksa, bahkan langsung menarik lenganku. Kalau sudah berurusan dengan wanita satu ini aku bisa apa. Dimarahi tidak masalah, diperlakukan seperti ini pun bahkan sangat tidak masalah.
            Tidak henti-hentinya aku mengagumi rumah Cik Lingling. Tidak kusangka aku akan diperlakukan berbeda hari ini. Berbagai macam makanan telah tersaji di atas meja begitu kami datang, seolah Cik Lingling memang sudah merencanakan semua ini.
            “Duduklah!” aku hanya mengangguk pelan kemudian duduk di samping kiri Cik Lingling.
            Cik Lingling langsung mengambil piring dan mengisinya dengan nasi serta berbagai macam lauk. Aku langsung tercengang begitu piring yang telah terisi penuh itu diletakkan di depanku.
            “Sebenarnya ada yang perlu kubicarakan.”
            Aku pun menghentikan suapan yang siap masuk ke mulutku. Namun Cik Lingling langsung mengibaskan tangan kanannya, memintaku untuk tetap meneruskan suapanku.
            “Teruskan makanmu selagi aku bicara.” Agak canggung, namun itu yang diperintahkan padaku, mana mungkin aku bisa menolak. “Kudengar kau belum pulang sejak pertama kali disini. Apa kau tidak merindukan keluargamu?”
            Aku kembali tersentak. Kenapa Cik Lingling tiba-tiba membahas itu? Ada apa ini?
            “Eh, ehm...”
            “Pulanglah!” imbuhnya. Sontak aku menatapnya dengan nanar. Aku merasa yang ada di depanku kini bukanlah Cik Lingling yang biasa kutemui. “Kalau pekerjaan yang menjadi alasannya, aku bisa memberimu libur agar kau bisa pulang.”
            “Cik...”
            “Aku tidak suka jika ada orang yang menolak kebaikanku. Pulanglah selagi kuberi kesempatan.”
            Hampir satu jam aku berada di rumah Cik Lingling. Aku pamit begitu aku sadar kalau aku harus segera ke toko. Cik Lingling mengantarku sampai depan gerbang rumahnya tanpa menghapus senyuman di wajahnya. Menyenangkan memang saat melihat senyum manisnya, namun semua terasa aneh karena tidak biasanya aku mendapatkan senyuman itu.
***
            Aku kembali ke kontrakan saat hari telah gelap. Jam sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh. Aku memang sudah biasa pulang selarut ini. Hari ini aku ke toko, kemudian kuliah, pulang kuliah aku bekerja sebagai pelayan restoran. Pekerjaanku memang tidak tentu, hanya sebagai karyawan di toko Cik Lingling lah pekerjaan tetapku.
            Aku masih memukul-mukul lengan kiriku untuk meredam rasa pegal. Namun aku langsung berhenti begitu kulihat sesuatu terselip di buku harianku. Sesuatu seperti...
            “Tiket pesawat?” gumamku pelan.
            “Oh, kau sudah pulang?” Widy masuk ke kamar dengan sepiring pancake di tangan kanannya.
            “Apa ini?” tanyaku seraya kuayunkan tiket pesawat di tanganku.
            “Tiket pesawat. Kau bisa pulang besok.”
            “Apa maksudmu?”
            Widy mendengus, kemudian meletakkan piringnya di mejaku dan menepuk bahuku pelan. “Itu tiket pesawatmu. Kau bisa menghabiskan liburanmu di rumah.”
            “Tapi siapa...”
            “Apa itu penting sekarang? Bukankah yang penting kau bisa pulang?” sahut Ely sambil menyilangkan lengan di depan dadanya.
            “Apa semua ini dari kalian?” tanyaku gugup.
            “Kami hanya membantu sedikit karena kami masih bekerja dua hari. Jadi bisa dibilang Eki lah yang membelikan tiket itu. Sekaligus sebagai permintaan maaf katanya.” Aku langsung celingak-celinguk mencari sosok Eki. Biasanya ia akan langsung menemuiku begitu aku pulang. “Dia sudah pulang tadi siang setelah menemui bosmu,” imbuh Widy.
            “Bosku?”
            “Kurasa dia berusaha meminta bosmu untuk memberimu libur.”
            Aku terdiam. Yang kutahu Eki hari ini berusaha menghindariku, tapi kenapa ia malah melakukan hal semacam ini?
           “Kau bisa memanngilku kalau butuh bantuan untuk beres-beres,” Widy tersenyum sebelum akhirnya meninggalkanku, sementara Ely langsung menyeret kopernya keluar. Ia baru saja mengatakan kalau ia akan dijemput malam ini.
***
            Akhirnya, sebentar lagi aku akan bertemu dengan keluargaku. Aku akan kembali bersua dengan mereka setelah sekian lama dipisahkan oleh laut yang membentang. Hubunganku dengan Eki membaik setelah tadi malam aku menghubunginya dengan meminjam ponsel Widy. Aku benar-benar berterima kasih pada teman-temanku.
            “Segeralah pulang ketika kampungmu mengirimkan pesan rindunya,” ucapan Eki terus terngiang di telingaku hingga akhirnya aku terlelap sementara tubuhku telah terbang menuju ke kampung halaman tercinta.