Hidup jauh dari kampung halaman
memang sangatlah berat, terlebih saat tiba-tiba mendapat surat atau kabar dari
keluarga. Benar-benar membuat rasa rindu akan kampung halaman semakin
bergejolak.
Aku adalah mahasiswi semester 5 yang
kuliah di kampus yang cukup jauh dari kampungku tercinta. Kenyataan bahwa aku
tidak bisa sembarangan mengeluarkan uang, membuatku harus menahan diri untuk
pulang, tidak peduli seberapa parah rasa rindu ini hampir meledakkan jantungku.
“Lagi?” gumamku begitu sebuah amplop
bertengger di atas mejaku.
“Kurasa kau harus pulang, tidak
biasanya kau mendapat hampir lima surat dalam seminggu,” sahut Widy yang baru
saja keluar dari kamar mandi.
“Bagaimana aku bisa pulang dengan
keadaan seperti ini?” keluhku. Aku mulai meninju lengan kiriku begitu rasa
pegal menyerang. Namun aku langsung berhenti saat kusadari warna amplop surat
itu tidak seperti biasanya. Amplop yang biasa kuterima berwarna putih dengan
garis-garis merah dan biru di tepinya. Tapi kini yang kuterima adalah
amplop biru dengan gambar-gambar lucu.
“Ada yang aneh?” tanya Widy begitu
menyadari aku masih melamun sambil menatap amplop di tanganku.
“Ini tidak biasa,” gumamku.
“Apanya?”
“Warna amplopnya,” Widy langsung
mendengus begitu mendengar jawabanku.
“Mungkin ibumu kehabisan amplop
putih,” jawab Widy yang langsung menyambar tasnya dan berlari keluar. Namun
tidak lama kemudian ia kembali melongokkan kepalanya dan bergumam, “Aku mau ke
perpus. Jangan lupa kunci pintu kalau kau mau keluar.”
Aku hanya mengangguk tanpa menatap wajahnya. Sepertinya
ia kembali mendengus saat aku tidak menghiraukannya.
Perlahan kubuka amplop itu, kuamati
rentetan kalimat sambil sesekali mengernyit. Sulit memang untuk mengerti maksud
dari tulisan anak TK. Ya, surat itu dari adikku yang masih TK. Walaupun tidak
karuan, tapi harus kuakui kalau aku bangga dengan usahanya dan karena ia masih
peduli padaku. Asal tahu saja, aku tidak begitu dekat dengan adikku, karena aku
memang tidak menginginkan seorang adik. Kami sering bertengkar, bahkan hanya
karena hal kecil.
Baru kemarin aku menangis
sesenggukan karena membaca surat dari ibuku yang mengatakan kalau beliau ingin
mengunjungiku sesekali. Kali ini aku dibuat menangis lagi oleh adik kecilku
yang mengatakan bahwa setiap hari ibu membuatkan telur gulung kesukaanku. Yang
lebih membuatku tidak kuasa membendung air mataku adalah saat ia mengatakan
bahwa ia selalu menyisihkan uang sakunya agar bisa mengajak ibu mengunjungiku.
Sungguh, aku semakin tidak bisa
menahan air mataku. Bagaimana mungkin seorang adik yang setiap hari bertengkar
denganku bisa memikirkan hal semacam itu.
“Yuna? Kau baik-baik saja?” tanya Eki
yang baru saja melempar tasnya sembarangan. “Surat lagi?” bisiknya pelan,
kemudian aku mengangguk seraya berusaha meredam suara tangisanku.
Hampir lima menit Eki berusaha menenangkanku,
namun bukannya semakin reda, tangisanku semakin pecah ketika ia berbisik pelan,
“Pulanglah! Kampung halamanmu merindukanmu”
Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku
memang harus pulang. Hampir tiga tahun tidak menyapa orang tua dan adikku,
tentu saja aku merindukan mereka. Aku memang tidak pernah pulang setelah
menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di kota ini, bahkan saat lebaran tiba.
Selain karena tidak ada biaya untuk pulang, tempatku bekerja pun tidak
mengizinkan.
Aku bekerja di toko milik orang China yang super disiplin. Bahkan toko itu
tetap buka walaupun hari raya. Lagipula penjaga toko hanyalah aku dan seorang
ibu rumah tangga. Saat aku kuliah, Bu Jannah yang menjaga toko. Saat lebaran
tiba, seharian penuh aku yang menjaga toko. Tentu saja aku tidak bisa
membiarkan Bu Jannah yang menjaga toko sementara anak-anaknya memaksa untuk
pulang kampung.
“Aku tidak bisa,” bisikku, masih dengan isak tangis yang enggan berhenti.
“Kenapa? Masalah uang lagi?” aku tidak menjawab. Aku yakin dia memang tahu
alasanku. “Bukannya bermaksud untuk sok bijak, tapi keluargamu lebih penting
dari semuanya. Kau harus tahu bagaimana mereka sangat merindukanmu,” ada nada
kesal dari ucapannya. Mungkin karena aku tidak pernah mengindahkan sarannya
untuk pulang ke kampung halaman.
“Kau tahu sendiri kan bagaimana sifat bosku. Bagaimana mungkin aku bisa
pulang? Bisa-bisa aku dipecat nanti,” aku masih sesenggukan. Ternyata susah
juga menghentikan isakanku ini.
“Daripada tidak bisa bertemu dengan keluarga, lebih baik berhenti saja
kan?” aku langsung terdiam. Entah kenapa aku merasa ucapannya seperti ribuan
anak panah yang tiba-tiba menusuk jantungku.
Tanpa sadar, aku langsung mendelik dan meliriknya dengan tajam. “Kau bisa
dengan mudah mengatakan hal itu karena kau punya uang untuk pulang. Tapi
bagaimana denganku? Apa kau pernah memposisikan dirimu sebagai diriku? KAU
PIKIR SEMUA INI ADALAH KEINGINANKU?” amarahku benar-benar meledak sekarang.
Eki tertegun dengan sikapku yang tiba-tiba berubah. Ya, aku memang tidak
pernah membentak teman-temanku. Ini pertama kalinya, sungguh. Lagipula aku pun
sekarang menyesal karena telah membentaknya. Namun sia-sia saja, dia langsung
pergi saat aku akan meminta maaf padanya.
“Maafkan aku, Eki,” tangisku kembali meledak. Kali ini diriku sendiri lah
penyebabnya.
***
Hari telah berganti, namun sikap Eki
masih sama dinginnya seperti kemarin. Aku sudah mencoba untuk minta maaf, tapi
dia selalu saja menemukan cara untuk menghindar dariku. Persis seperti hari
ini.
“Eki, aku...”
“Teman-teman, aku berangkat dulu ya.
Ada presentasi,” teriaknya. Sepertinya ia memang pura-pura tidak menyadari
kehadiranku.
“Yuna?” aku terlonjak begitu Widy
menepuk bahuku.
“Eh?”
“Kunci pintunya kalau kau mau
keluar. Ely sedang tidur. Aku harus pergi sekarang.”
“Kemana?”
“Kerja. Aku tidak boleh terlambat,”
ucapnya dengan tersenyum lebar. Belum sempat aku bertanya lagi, Widy telah
melesat keluar.
Kerja? Untuk apa? Keluarganya kaya,
kenapa harus kerja? Apa dia ingin membeli sesuatu? Tapi biasanya kan dia
langsung minta pada orang tuanya. Ah, entahlah. Kenapa juga aku harus
memikirkan hal itu. Yang seharusnya kupikirkan sekarang adalah hukuman apa yang
akan kudapatkan karena terlambat bekerja.
“Maaf, saya terlambat,” bisikku
pelan. Sungguh, aku tidak berani mengangkat wajahku dan menatap wajah Cik Lingling
yang seperti harimau kelaparan. Walaupun toko ini milik suaminya, tapi Cik
Lingling dipercaya untuk mengawasi karyawan toko, pusat ataupun cabang.
“Pasti belum sarapan, mampir ke
rumah dulu. Kebetulan Cik tadi belajar masak opor ayam,” sontak kepalaku
terangkat, aku tercengang. Seorang Cik Lingling memintaku untuk mampir ke
rumahnya? Dan yang paling membuatku seperti orang beloon adalah karena Cik
Lingling yang menampakkan senyum di wajahnya.
Ada apa ini sebenarnya? Hidupku
kenapa jadi terasa aneh seperti ini? Ingin rasanya aku bertanya, “Cik, sehat?”.
Tapi bukankah itu terdengar tidak sopan?
“Yuna? Kok malah bengong. Ayo
mampir, cicipi dulu opor ayamnya terus jaga.”
“Tapi Cik, siapa yang jaga...”
“Sudahlah, ayo cepat. Bu Jannah
masih bisa jaga sampai kamu selesai makan,” Cik Lingling sedikit memaksa,
bahkan langsung menarik lenganku. Kalau sudah berurusan dengan wanita satu ini
aku bisa apa. Dimarahi tidak masalah, diperlakukan seperti ini pun bahkan
sangat tidak masalah.
Tidak henti-hentinya aku mengagumi
rumah Cik Lingling. Tidak kusangka aku akan diperlakukan berbeda hari ini.
Berbagai macam makanan telah tersaji di atas meja begitu kami datang, seolah Cik
Lingling memang sudah merencanakan semua ini.
“Duduklah!” aku hanya mengangguk
pelan kemudian duduk di samping kiri Cik Lingling.
Cik Lingling langsung mengambil
piring dan mengisinya dengan nasi serta berbagai macam lauk. Aku langsung
tercengang begitu piring yang telah terisi penuh itu diletakkan di depanku.
“Sebenarnya ada yang perlu
kubicarakan.”
Aku pun menghentikan suapan yang
siap masuk ke mulutku. Namun Cik Lingling langsung mengibaskan tangan kanannya,
memintaku untuk tetap meneruskan suapanku.
“Teruskan makanmu selagi aku
bicara.” Agak canggung, namun itu yang diperintahkan padaku, mana mungkin aku
bisa menolak. “Kudengar kau belum pulang sejak pertama kali disini. Apa kau
tidak merindukan keluargamu?”
Aku kembali tersentak. Kenapa Cik Lingling
tiba-tiba membahas itu? Ada apa ini?
“Eh, ehm...”
“Pulanglah!” imbuhnya. Sontak aku
menatapnya dengan nanar. Aku merasa yang ada di depanku kini bukanlah Cik
Lingling yang biasa kutemui. “Kalau pekerjaan yang menjadi alasannya, aku bisa
memberimu libur agar kau bisa pulang.”
“Cik...”
“Aku tidak suka jika ada orang yang
menolak kebaikanku. Pulanglah selagi kuberi kesempatan.”
Hampir satu jam aku berada di rumah
Cik Lingling. Aku pamit begitu aku sadar kalau aku harus segera ke toko. Cik
Lingling mengantarku sampai depan gerbang rumahnya tanpa menghapus senyuman di
wajahnya. Menyenangkan memang saat melihat senyum manisnya, namun semua terasa
aneh karena tidak biasanya aku mendapatkan senyuman itu.
***
Aku kembali ke kontrakan saat hari
telah gelap. Jam sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh. Aku memang sudah biasa
pulang selarut ini. Hari ini aku ke toko, kemudian kuliah, pulang kuliah aku
bekerja sebagai pelayan restoran. Pekerjaanku memang tidak tentu, hanya sebagai
karyawan di toko Cik Lingling lah pekerjaan tetapku.
Aku masih memukul-mukul lengan
kiriku untuk meredam rasa pegal. Namun aku langsung berhenti begitu kulihat
sesuatu terselip di buku harianku. Sesuatu seperti...
“Tiket pesawat?” gumamku pelan.
“Oh, kau sudah pulang?” Widy masuk ke
kamar dengan sepiring pancake di tangan kanannya.
“Apa ini?” tanyaku seraya kuayunkan
tiket pesawat di tanganku.
“Tiket pesawat. Kau bisa pulang besok.”
“Apa maksudmu?”
Widy mendengus, kemudian meletakkan
piringnya di mejaku dan menepuk bahuku pelan. “Itu tiket pesawatmu. Kau bisa
menghabiskan liburanmu di rumah.”
“Tapi siapa...”
“Apa itu penting sekarang? Bukankah
yang penting kau bisa pulang?” sahut Ely sambil menyilangkan lengan di depan
dadanya.
“Apa semua ini dari kalian?” tanyaku
gugup.
“Kami hanya membantu sedikit karena
kami masih bekerja dua hari. Jadi bisa dibilang Eki lah yang membelikan tiket itu.
Sekaligus sebagai permintaan maaf katanya.” Aku langsung celingak-celinguk
mencari sosok Eki. Biasanya ia akan langsung menemuiku begitu aku pulang. “Dia
sudah pulang tadi siang setelah menemui bosmu,” imbuh Widy.
“Bosku?”
“Kurasa dia berusaha meminta bosmu
untuk memberimu libur.”
Aku
terdiam. Yang kutahu Eki hari ini berusaha menghindariku, tapi kenapa ia malah
melakukan hal semacam ini?
“Kau
bisa memanngilku kalau butuh bantuan untuk beres-beres,” Widy tersenyum sebelum
akhirnya meninggalkanku, sementara Ely langsung menyeret kopernya keluar. Ia
baru saja mengatakan kalau ia akan dijemput malam ini.
***
Akhirnya, sebentar lagi aku akan bertemu
dengan keluargaku. Aku akan kembali bersua dengan mereka setelah sekian lama
dipisahkan oleh laut yang membentang. Hubunganku dengan Eki membaik setelah
tadi malam aku menghubunginya dengan meminjam ponsel Widy. Aku benar-benar
berterima kasih pada teman-temanku.
“Segeralah pulang ketika kampungmu
mengirimkan pesan rindunya,” ucapan Eki terus terngiang di telingaku hingga
akhirnya aku terlelap sementara tubuhku telah terbang menuju ke kampung halaman
tercinta.