GG

GG
Follow my Twitter : @lovbie_df

Jumat, 14 Oktober 2016

[CERPEN] JALAN PULANG



            Hidup jauh dari kampung halaman memang sangatlah berat, terlebih saat tiba-tiba mendapat surat atau kabar dari keluarga. Benar-benar membuat rasa rindu akan kampung halaman semakin bergejolak.
            Aku adalah mahasiswi semester 5 yang kuliah di kampus yang cukup jauh dari kampungku tercinta. Kenyataan bahwa aku tidak bisa sembarangan mengeluarkan uang, membuatku harus menahan diri untuk pulang, tidak peduli seberapa parah rasa rindu ini hampir meledakkan jantungku.
            “Lagi?” gumamku begitu sebuah amplop bertengger di atas mejaku.
            “Kurasa kau harus pulang, tidak biasanya kau mendapat hampir lima surat dalam seminggu,” sahut Widy yang baru saja keluar dari kamar mandi.
            “Bagaimana aku bisa pulang dengan keadaan seperti ini?” keluhku. Aku mulai meninju lengan kiriku begitu rasa pegal menyerang. Namun aku langsung berhenti saat kusadari warna amplop surat itu tidak seperti biasanya. Amplop yang biasa kuterima berwarna putih dengan garis-garis merah dan biru di tepinya. Tapi kini yang kuterima adalah amplop biru dengan gambar-gambar lucu.
            “Ada yang aneh?” tanya Widy begitu menyadari aku masih melamun sambil menatap amplop di tanganku.
            “Ini tidak biasa,” gumamku.
            “Apanya?”
            “Warna amplopnya,” Widy langsung mendengus begitu mendengar jawabanku.
            “Mungkin ibumu kehabisan amplop putih,” jawab Widy yang langsung menyambar tasnya dan berlari keluar. Namun tidak lama kemudian ia kembali melongokkan kepalanya dan bergumam, “Aku mau ke perpus. Jangan lupa kunci pintu kalau kau mau keluar.”
            Aku hanya mengangguk tanpa menatap wajahnya. Sepertinya ia kembali mendengus saat aku tidak menghiraukannya.
            Perlahan kubuka amplop itu, kuamati rentetan kalimat sambil sesekali mengernyit. Sulit memang untuk mengerti maksud dari tulisan anak TK. Ya, surat itu dari adikku yang masih TK. Walaupun tidak karuan, tapi harus kuakui kalau aku bangga dengan usahanya dan karena ia masih peduli padaku. Asal tahu saja, aku tidak begitu dekat dengan adikku, karena aku memang tidak menginginkan seorang adik. Kami sering bertengkar, bahkan hanya karena hal kecil.
            Baru kemarin aku menangis sesenggukan karena membaca surat dari ibuku yang mengatakan kalau beliau ingin mengunjungiku sesekali. Kali ini aku dibuat menangis lagi oleh adik kecilku yang mengatakan bahwa setiap hari ibu membuatkan telur gulung kesukaanku. Yang lebih membuatku tidak kuasa membendung air mataku adalah saat ia mengatakan bahwa ia selalu menyisihkan uang sakunya agar bisa mengajak ibu mengunjungiku.
            Sungguh, aku semakin tidak bisa menahan air mataku. Bagaimana mungkin seorang adik yang setiap hari bertengkar denganku bisa memikirkan hal semacam itu.
            “Yuna? Kau baik-baik saja?” tanya Eki yang baru saja melempar tasnya sembarangan. “Surat lagi?” bisiknya pelan, kemudian aku mengangguk seraya berusaha meredam suara tangisanku.
            Hampir lima menit Eki berusaha menenangkanku, namun bukannya semakin reda, tangisanku semakin pecah ketika ia berbisik pelan, “Pulanglah! Kampung halamanmu merindukanmu”
           Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku memang harus pulang. Hampir tiga tahun tidak menyapa orang tua dan adikku, tentu saja aku merindukan mereka. Aku memang tidak pernah pulang setelah menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di kota ini, bahkan saat lebaran tiba. Selain karena tidak ada biaya untuk pulang, tempatku bekerja pun tidak mengizinkan.
Aku bekerja di toko milik orang China yang super disiplin. Bahkan toko itu tetap buka walaupun hari raya. Lagipula penjaga toko hanyalah aku dan seorang ibu rumah tangga. Saat aku kuliah, Bu Jannah yang menjaga toko. Saat lebaran tiba, seharian penuh aku yang menjaga toko. Tentu saja aku tidak bisa membiarkan Bu Jannah yang menjaga toko sementara anak-anaknya memaksa untuk pulang kampung.
“Aku tidak bisa,” bisikku, masih dengan isak tangis yang enggan berhenti.
“Kenapa? Masalah uang lagi?” aku tidak menjawab. Aku yakin dia memang tahu alasanku. “Bukannya bermaksud untuk sok bijak, tapi keluargamu lebih penting dari semuanya. Kau harus tahu bagaimana mereka sangat merindukanmu,” ada nada kesal dari ucapannya. Mungkin karena aku tidak pernah mengindahkan sarannya untuk pulang ke kampung halaman.
“Kau tahu sendiri kan bagaimana sifat bosku. Bagaimana mungkin aku bisa pulang? Bisa-bisa aku dipecat nanti,” aku masih sesenggukan. Ternyata susah juga menghentikan isakanku ini.
“Daripada tidak bisa bertemu dengan keluarga, lebih baik berhenti saja kan?” aku langsung terdiam. Entah kenapa aku merasa ucapannya seperti ribuan anak panah yang tiba-tiba menusuk jantungku.
Tanpa sadar, aku langsung mendelik dan meliriknya dengan tajam. “Kau bisa dengan mudah mengatakan hal itu karena kau punya uang untuk pulang. Tapi bagaimana denganku? Apa kau pernah memposisikan dirimu sebagai diriku? KAU PIKIR SEMUA INI ADALAH KEINGINANKU?” amarahku benar-benar meledak sekarang.
Eki tertegun dengan sikapku yang tiba-tiba berubah. Ya, aku memang tidak pernah membentak teman-temanku. Ini pertama kalinya, sungguh. Lagipula aku pun sekarang menyesal karena telah membentaknya. Namun sia-sia saja, dia langsung pergi saat aku akan meminta maaf padanya.
“Maafkan aku, Eki,” tangisku kembali meledak. Kali ini diriku sendiri lah penyebabnya.
***
            Hari telah berganti, namun sikap Eki masih sama dinginnya seperti kemarin. Aku sudah mencoba untuk minta maaf, tapi dia selalu saja menemukan cara untuk menghindar dariku. Persis seperti hari ini.
            “Eki, aku...”
            “Teman-teman, aku berangkat dulu ya. Ada presentasi,” teriaknya. Sepertinya ia memang pura-pura tidak menyadari kehadiranku.
            “Yuna?” aku terlonjak begitu Widy menepuk bahuku.
            “Eh?”
            “Kunci pintunya kalau kau mau keluar. Ely sedang tidur. Aku harus pergi sekarang.”
            “Kemana?”
            “Kerja. Aku tidak boleh terlambat,” ucapnya dengan tersenyum lebar. Belum sempat aku bertanya lagi, Widy telah melesat keluar.
            Kerja? Untuk apa? Keluarganya kaya, kenapa harus kerja? Apa dia ingin membeli sesuatu? Tapi biasanya kan dia langsung minta pada orang tuanya. Ah, entahlah. Kenapa juga aku harus memikirkan hal itu. Yang seharusnya kupikirkan sekarang adalah hukuman apa yang akan kudapatkan karena terlambat bekerja.
            “Maaf, saya terlambat,” bisikku pelan. Sungguh, aku tidak berani mengangkat wajahku dan menatap wajah Cik Lingling yang seperti harimau kelaparan. Walaupun toko ini milik suaminya, tapi Cik Lingling dipercaya untuk mengawasi karyawan toko, pusat ataupun cabang.
            “Pasti belum sarapan, mampir ke rumah dulu. Kebetulan Cik tadi belajar masak opor ayam,” sontak kepalaku terangkat, aku tercengang. Seorang Cik Lingling memintaku untuk mampir ke rumahnya? Dan yang paling membuatku seperti orang beloon adalah karena Cik Lingling yang menampakkan senyum di wajahnya.
            Ada apa ini sebenarnya? Hidupku kenapa jadi terasa aneh seperti ini? Ingin rasanya aku bertanya, “Cik, sehat?”. Tapi bukankah itu terdengar tidak sopan?
            “Yuna? Kok malah bengong. Ayo mampir, cicipi dulu opor ayamnya terus jaga.”
            “Tapi Cik, siapa yang jaga...”
            “Sudahlah, ayo cepat. Bu Jannah masih bisa jaga sampai kamu selesai makan,” Cik Lingling sedikit memaksa, bahkan langsung menarik lenganku. Kalau sudah berurusan dengan wanita satu ini aku bisa apa. Dimarahi tidak masalah, diperlakukan seperti ini pun bahkan sangat tidak masalah.
            Tidak henti-hentinya aku mengagumi rumah Cik Lingling. Tidak kusangka aku akan diperlakukan berbeda hari ini. Berbagai macam makanan telah tersaji di atas meja begitu kami datang, seolah Cik Lingling memang sudah merencanakan semua ini.
            “Duduklah!” aku hanya mengangguk pelan kemudian duduk di samping kiri Cik Lingling.
            Cik Lingling langsung mengambil piring dan mengisinya dengan nasi serta berbagai macam lauk. Aku langsung tercengang begitu piring yang telah terisi penuh itu diletakkan di depanku.
            “Sebenarnya ada yang perlu kubicarakan.”
            Aku pun menghentikan suapan yang siap masuk ke mulutku. Namun Cik Lingling langsung mengibaskan tangan kanannya, memintaku untuk tetap meneruskan suapanku.
            “Teruskan makanmu selagi aku bicara.” Agak canggung, namun itu yang diperintahkan padaku, mana mungkin aku bisa menolak. “Kudengar kau belum pulang sejak pertama kali disini. Apa kau tidak merindukan keluargamu?”
            Aku kembali tersentak. Kenapa Cik Lingling tiba-tiba membahas itu? Ada apa ini?
            “Eh, ehm...”
            “Pulanglah!” imbuhnya. Sontak aku menatapnya dengan nanar. Aku merasa yang ada di depanku kini bukanlah Cik Lingling yang biasa kutemui. “Kalau pekerjaan yang menjadi alasannya, aku bisa memberimu libur agar kau bisa pulang.”
            “Cik...”
            “Aku tidak suka jika ada orang yang menolak kebaikanku. Pulanglah selagi kuberi kesempatan.”
            Hampir satu jam aku berada di rumah Cik Lingling. Aku pamit begitu aku sadar kalau aku harus segera ke toko. Cik Lingling mengantarku sampai depan gerbang rumahnya tanpa menghapus senyuman di wajahnya. Menyenangkan memang saat melihat senyum manisnya, namun semua terasa aneh karena tidak biasanya aku mendapatkan senyuman itu.
***
            Aku kembali ke kontrakan saat hari telah gelap. Jam sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh. Aku memang sudah biasa pulang selarut ini. Hari ini aku ke toko, kemudian kuliah, pulang kuliah aku bekerja sebagai pelayan restoran. Pekerjaanku memang tidak tentu, hanya sebagai karyawan di toko Cik Lingling lah pekerjaan tetapku.
            Aku masih memukul-mukul lengan kiriku untuk meredam rasa pegal. Namun aku langsung berhenti begitu kulihat sesuatu terselip di buku harianku. Sesuatu seperti...
            “Tiket pesawat?” gumamku pelan.
            “Oh, kau sudah pulang?” Widy masuk ke kamar dengan sepiring pancake di tangan kanannya.
            “Apa ini?” tanyaku seraya kuayunkan tiket pesawat di tanganku.
            “Tiket pesawat. Kau bisa pulang besok.”
            “Apa maksudmu?”
            Widy mendengus, kemudian meletakkan piringnya di mejaku dan menepuk bahuku pelan. “Itu tiket pesawatmu. Kau bisa menghabiskan liburanmu di rumah.”
            “Tapi siapa...”
            “Apa itu penting sekarang? Bukankah yang penting kau bisa pulang?” sahut Ely sambil menyilangkan lengan di depan dadanya.
            “Apa semua ini dari kalian?” tanyaku gugup.
            “Kami hanya membantu sedikit karena kami masih bekerja dua hari. Jadi bisa dibilang Eki lah yang membelikan tiket itu. Sekaligus sebagai permintaan maaf katanya.” Aku langsung celingak-celinguk mencari sosok Eki. Biasanya ia akan langsung menemuiku begitu aku pulang. “Dia sudah pulang tadi siang setelah menemui bosmu,” imbuh Widy.
            “Bosku?”
            “Kurasa dia berusaha meminta bosmu untuk memberimu libur.”
            Aku terdiam. Yang kutahu Eki hari ini berusaha menghindariku, tapi kenapa ia malah melakukan hal semacam ini?
           “Kau bisa memanngilku kalau butuh bantuan untuk beres-beres,” Widy tersenyum sebelum akhirnya meninggalkanku, sementara Ely langsung menyeret kopernya keluar. Ia baru saja mengatakan kalau ia akan dijemput malam ini.
***
            Akhirnya, sebentar lagi aku akan bertemu dengan keluargaku. Aku akan kembali bersua dengan mereka setelah sekian lama dipisahkan oleh laut yang membentang. Hubunganku dengan Eki membaik setelah tadi malam aku menghubunginya dengan meminjam ponsel Widy. Aku benar-benar berterima kasih pada teman-temanku.
            “Segeralah pulang ketika kampungmu mengirimkan pesan rindunya,” ucapan Eki terus terngiang di telingaku hingga akhirnya aku terlelap sementara tubuhku telah terbang menuju ke kampung halaman tercinta.

[FF] THE PRECIOUS PEBBLE

#49
Author   : Bikry Faridatur Rofiqoh
Penerbit : Mazaya Publishing House




         Hidup memang tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan, harus ada kerikil yang menghalangi jalan kita. Namun seseorang tidak menyadari betapa berharganya kerikil yang telah menghentikannya itu. Ia masih saja merutuki kegagalan yang baru saja terjadi padanya.
Kim Taehyung adalah seorang atlet lompat tinggi SMA Hanlim yang kini berusaha mengubur rasa kecewanya. Bagaimana tidak, ia tidak bisa pulang sebagai pemenang. Sementara Jung Yerin, adik kelasnya yang pernah ia permalukan saat Masa Orientasi Siswa itu berhasil mendapatkan juara pertama untuk lompat tinggi putri. Entahlah, antara malu, marah, kecewa, semuanya telah memenuhi pikirannya.
          Ia tidak tahu harus kemana sekarang, tidak ada lagi teman-teman yang siap merangkul bahunya setelah ia berhasil meraih mimpinya. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah menyeret kakinya menyusuri sungai dengan hembusan angin yang mungkin menjadi satu-satunya hal di dunia ini yang masih ramah padanya.
***
            “Jung Yerin, gawat. Taehyung seonbae[1],” jerit Shinbi.
            “Ada apa?” tanya Yerin seraya menyeka keringat di dahinya.
            “Seseorang melihatnya di dekat sungai, aku takut dia akan…”
Yerin langsung bangkit dari tempat duduknya dan berlari keluar. Ia tidak bisa diam saja. Yerin tahu masalah yang dihadapi Taehyung. Ia tahu bagaimana Taehyung harus menanggung malu karena harus kalah di depan adik kelas seperti dirinya. Terlebih karena orang tua Taehyung selalu menginginkan kejuaraan ada di tangan Taehyung. Ia harus menyelamatkan Taehyung yang mungkin saja akan melakukan hal konyol kapan saja. Ya, ia harus menyelamatkan pria yang ia suka.
            “Apakah ini yang dilakukan seorang pria setelah kalah dalam pertandingan?” Taehyung yang semula siap melompat ke sungai, kini mengurungkan niatnya. Ia mencengkeram tepi jembatan dengan kuat. Lagi-lagi ia harus menanggung malu karena ulahnya sendiri. “Aku tahu kau ini atlet lompat tinggi, tapi kurasa ini bukan tempat yang tepat untuk latihan.”
            “Kau ingin meledekku?” geram Taehyung.
            Yerin menghampiri Taehyung dan berdiri di sampingnya, menatap sungai yang terhampar di hadapan mereka, kemudian berbisik pelan, “Kau terlalu berambisi untuk menang. Bahkan keegoisanmu telah membuatmu berlari tanpa peduli pada apa yang terjadi di sekelilingmu. Kau mungkin tidak bisa berhenti mengumpat pada kerikil yang telah menghalangi jalanmu. Tapi kau harus tahu satu hal, kerikil itu sangat berharga. Kau harus berhenti sebentar untuk menyingkirkan kerikil itu, tapi jangan lupa untuk menikmati pemandangan indah di sekelilingmu.”
            “Aku tidak mengerti.”
            “Jangan terlalu memaksa. Semakin kau memaksakan diri, semakin banyak sesuatu yang akan hilang darimu. Kau harus melihat pemandangan indah yang pernah kau lewatkan,” ucap Yerin seraya menarik lengan Taehyung dan berlari.
            Yerin mengendurkan cengkeramannya dan berhenti beberapa meter dari tempat mereka bertanding tadi. Taehyung tersenyum begitu melihat apa yang ada di hadapannya.
         “Mereka tidak akan disini kalau mereka membencimu,” ucap Yerin seraya menunjuk enam pria yang berdiri beberapa meter di depan mereka. “Mereka tetap mendukungmu walaupun kau tidak pernah menyadarinya.”
          “Berapa banyak pemandangan indah yang telah kulewatkan?” tanya Taehyung dengan kedua matanya yang telah berkaca-kaca. Ia langsung menyeka air matanya dengan kasar dan memberi Yerin pelukan singkat sebelum akhirnya berlari menghampiri sahabat-sahabatnya.
            “Aku tidak akan membiarkanmu melewatkan pemandangan seindah ini lagi. Aku akan selalu di sampingmu dan menghentikanmu saat kau berlari terlalu kencang,” bisik Yerin begitu melihat Taehyung memeluk sahabat-sahabatnya.


[1] Seonbae/Sunbae : Senior