GG

GG
Follow my Twitter : @lovbie_df

Sabtu, 08 Juli 2017

[FF] BE MY EVERLASTING LOVE



BE MY EVERLASTING LOVE
*
*
*
*
*
Sebuah mobil hitam mengkilap berhenti tepat di depan gerbang SMA Kyungyong. Puluhan gadis bahkan telah berjejer rapi untuk menyambut pangeran mereka. Jeritan-jeritan memekakkan telinga langsung terdengar begitu pintu mobil terbuka. Namun, bukannya seorang pangeran, yang keluar malah Ziyao, pemuda asal Cina yang dianggap sebagai si buruk rupa oleh para siswi SMA Kyungyong. Kaki pendeknya berjalan melewati puluhan sorakan kecewa gadis-gadis cantik itu. Namun dengan percaya diri, ia tetap menunjukkan gigi putih bersinarnya yang berantakan.
Puluhan sumpah serapah masih mengiringi langkah Ziyao. Sementara itu, sosok lain yang sedari tadi bersembunyi di semak-semak pun langsung bersorak kegirangan dan menyelinap keluar sebelum mereka benar-benar melompat padanya.
“Apa-apaan ini. Kau selamat?” tanya Taehyung yang langsung melompat berdiri begitu Hoseok melangkah masuk. “Bagaimana mungkin? Biasanya kau acak-acakan.”
“Ini karena aku punya doppelganger[1],” ucap Hoseok dengan santai.
“Siapa?” tanya Seokjin yang mulai tertarik dengan obrolan keduanya.
“Liu Ziyao,” sontak Jungkook langsung menyemburkan air yang baru saja masuk ke dalam mulutnya. Jungkook melempar tatapan tak percayanya pada Hoseok, sementara Hoseok dan yang lain menatap Namjoon dengan tatapan ngeri sekaligus jijik.
“Liu Ziyao? Murid pindahan dari Cina itu?” tanya Jungkook seraya menyodorkan kotak tisu pada Namjoon, tanpa menoleh.
“Kau bercanda? Apanya yang doppelganger? Kau sengaja menjadikannya korban? Aku yakin dia akan dikeroyok gadis-gadis mengerikan itu,” suara serak Yoongi terdengar begitu sosoknya muncul dari balik selimut yang terbentang di atas sofa.
Chajattda![2],” sorak Choi Jihee, gadis paling populer di SMA Kyungyong. Ia langsung menghambur ke dalam pelukan Hoseok begitu ia berhasil membuka pintu ruang kelas seni dengan paksa.
Ya! Darimana kau tahu kami disini?” gumam Namjoon.
“Asal kalian tahu, kemana pun Hoseok pergi, aku pasti akan menemukannya. Hatiku akan selalu menuntunku.”
“Ugh, aku merinding,” ucap Taehyung sambil bergidik, kemudian menyambar tasnya dan keluar.
“Apa hatimu juga akan menuntunmu kalau Hoseok hyung sedang di toilet?” cibir Jimin seraya berlalu di antara keduanya.
Hoseok melepaskan tangan Jihee yang sedari tadi bergelayut manja di tangannya.
“Maaf, tapi aku tidak bisa mengizinkanmu masuk, tuan Jung,” desis seorang siswi yang tengah membuka kedua tangannya, menguasai pintu untuk menghalangi Hoseok.
Ya! Apa yang kau lakukan?” protes Jihee yang tak henti-hentinya memelototi gadis itu.
“Kau bisa masuk, tapi biarkan Jung Hoseok tetap disini.”
“Apa maksudmu? Mana mungkin...” ucapannya terhenti begitu Hoseok mendorong tubuh Jihee, membuat tubuh gadis itu tidak sengaja membentur lengan Bona yang masih terbuka. “Ya! Kau sengaja mau menyakitiku?”
“Asal kau tahu saja, posisi lenganku sudah seperti ini dari tadi. Lagipula kalau ingin marah seharusnya kau memarahi Hoseok. Dia yang mendorongmu.”
Jihee bersungut-sungut, berusaha menahan malu sekaligus rasa sakitnya. Sementara Taehyung dan Jungkook tidak bisa menghentikan tawa mereka.
“Kau harus tanggung jawab.”
“Memangnya apa yang sudah kulakukan padamu?”
“Bukan padaku, tapi dia,” jawab Bona sambil menunjuk Ziyao yang kini melambaikan tangan pada mereka dengan senyum idiotnya.
Hoseok memandangi Ziyao yang benar-benar berantakan. Rambut pemuda itu bahkan acak-acakan, kacamatanya patah, wajah coklatnya penuh dengan memar-memar. Tak hanya itu, bajunya yang tidak pernah disetrika itu semakin terlihat lusuh. Yang lebih parah lagi, Ziyao hanya memakai sepatu untuk kaki kanannya saja.
“Apa kau ingin jadi Cinderella?” tanya Hoseok sambil bergidik.
“Ah, gadis-gadis itu mengambil sepatuku dan melemparnya entah kemana. Untung saja aku masih bisa mempertahankan sepatu kananku,” jawabnya dengan tenang, sementara Taehyung, Jungkook, dan Seokjin kembali terkikik.
“Liu Ziyao, sungguh aku minta maaf telah membuatmu seperti ini.”
“Tidak...tidak apa-apa. Gadis-gadis itu yang terlalu kejam memperlakukanku seperti ini. Lagipula aku sangat berterima kasih karena kau sudah memberiku tumpangan,” Ziyao berdiri, kemudian meletakkan kedua tangan di perutnya dan membungkuk. “Gamsahamnida[3],” ucapnya, kemudian ia meringis, menampilkan deretan giginya yang tidak rata.
Hoseok kembali menatap Bona, “Kau lihat? Bahkan dia berterima kasih padaku.”
Wajah Bona memerah. Ia benar-benar merasa dipermalukan oleh orang paling menyebalkan yang pernah ia temui.
“Jadi, apa aku bisa masuk?” Dengan berat hati, Bona menurunkan lengannya, membiarkan orang itu lolos bahkan ketika ia telah menggenggamnya.
***
“Ketua kelas, tolong bantu aku untuk membawa buku-buku ini ke mejaku,” pinta Bu guru Kim setelah kelas mereka usai.
Ne,” jawab Bona. Ada nada kecewa di wajahnya.
Ziyao buru-buru maju dan berniat membantu Bona, namun Bona langsung menampik tangannya dan melangkah keluar.
“Kenapa kau tidak membantunya?” tanya Hoseok seraya menepuk bahu Ziyao.
“Kau tidak lihat tadi aku sudah berniat membantunya? Tapi dia malah memberiku tatapan -tidak usah sok baik- padaku,” gumam Ziyao.
Hoseok segera berlari keluar. Tanpa ba-bi-bu ia pun langsung mengambil tumpukan buku itu dari tangan Bona, kemudian berjalan mendahuluinya. Namun, tiba-tiba saja Bona menahan lengan Hoseok dan...
Plakkk
Sebuah tamparan keras berhasil mendarat di pipi kanan Hoseok. Bona segera mengambil kembali buku-buku itu, meninggalkan Hoseok yang masih memegangi pipinya.
Daebak.[4] Pangeran SMA Kyungyong ditampar rakyat jelata,” gumam Jungkook yang tak henti-hentinya memandangi punggung Bona yang semakin menjauh.
Ya! Jaga ucapanmu. Siapa yang kau panggil rakyat jelata, hah?” bentakan Hoseok mampu membuatnya terlonjak.
Daebak. Murid paling tampan SMA Kyungyong dibentak pangeran SMA Kyungyong,” gumam Taehyung begitu Hoseok telah menjauh. Sementara Jungkook melempari Taehyung tatapan mematikan.
***
Bona berderap menyusuri gang sempit dekat sekolah. Langkahnya sedikit tergesa, terlebih saat ia merasa seseorang telah membuntutinya. Ia berhenti, lalu menoleh. Tidak ada siapapun. Namun perasaan yang sama kembali muncul ketika ia melanjutkan langkahnya.
Hoseok terlonjak begitu Bona mendadak berbalik dan menatapnya dengan tajam. “Kau?”
Ya! Aku hanya ingin minta maaf.”
“Untuk apa?”
“Untuk apa?” Hoseok mulai menerawang, menggaruk tengkuknya, dan kembali memandang Bona. “Aku tidak tahu apa kesalahanku, tapi...”
“Lalu untuk apa kau minta maaf?” Bona kembali melangkah, kali ini ia sedikit menghentakkan kakinya.
“Apa salahnya aku minta maaf?”
Bona yang masih terus melangkah, mau tak mau harus berhenti begitu Hoseok menarik lengannya. Kini mereka berdiri berhadapan. Hampir saja tangan Bona mendarat di pipi Hoseok kalau saja pemuda itu tidak dengan sigap menghadangnya.
“Aku tidak tahu kenapa kau selalu dingin padaku. Bahkan kau menyalahkanku karena Ziyao terluka. Apa aku sejahat itu?” Bona tidak berani menatap Hoseok ketika pemuda itu mulai melonggarkan cengkeramannya. “Apa salah kalau aku hanya ingin berteman?”
Bona menggigit bibirnya. Tidak pernah ia melihat Hoseok seserius itu. Ia terdiam, tubuhnya mulai gemetar. Hoseok menatapnya sebentar kemudian benar-benar melepas cengkeramannya.
“Aku hanya tidak ingin terlihat canggung di depanmu,” gumam Bona begitu Hoseok tak lagi berdiri di hadapannya.
***
Bona menoleh ke jendela tiap kali segerombolan murid laki-laki lewat dengan kegaduhan-kegaduhan kecil. Bukan apa-apa, ia hanya belum siap menghadapi Hoseok setelah kejadian kemarin.
Saking sibuknya bolak-balik melongok ke arah jendela, ia tidak sadar seseorang baru saja meletakkan sesuatu di mejanya.
“Yoghurt?” gumam Bona yang langsung mengedarkan pandangan ke tiap inchi ruang kelasnya. Pandangannya berhenti pada sosok Hoseok yang sebelumnya tidak ada di tempat duduknya. Ia pun melirik Jihee dan semakin yakin yoghurt itu dari Hoseok karena wajah Jihee telah menjawabnya.
***
“Ayo cepat naik,” seru Hoseok yang telah siap dengan sepedanya. Bona hanya menatapnya tidak percaya. “Apa kau perlu bantuanku?”
“Tidak...Tidak,” Bona langsung duduk di belakangnya, tapi Hoseok tak juga mengayuh sepedanya.
“Aku tidak akan bertanggung jawab kalau kau jatuh dan terluka,” ucapnya pelan. Namun apa yang diinginkan Hoseok tak juga terjadi. “Apa kau tidak paham maksudku?”
“Ah, mian[5].”
Hoseok pun mengulurkan tangannya ke belakang, meraih lengan Bona dan melingkarkan tangan Bona di pinggangnya. Keduanya tersenyum, kemudian Hoseok mulai mengayuh sepedanya.
Kedua mata Bona terpejam, senyumnya mengembang begitu angin sore membelai pipinya dengan lembut. Tidak masalah seberapa berantakan rambutnya sekarang, ia hanya ingin menikmati angin sore yang menyapanya.
Keduanya menyusuri tepi sungai tanpa menghapus senyuman di wajah mereka. Mereka kini berhenti, menatap hamparan air yang mengalir tenang serta kilauannya di permukaan.
“Kim Bona.”
“Hmm?”
“Aku mengajakmu kesini karena...aku ingin lebih lama bersamamu,” Bona menoleh, tatapannya penuh tanya sekarang.
“Kita ini sekelas. Kurasa kau memiliki banyak waktu untuk hal-hal semacam ini.”
“Tidak. Waktuku tidak sebanyak itu,” gumam Hoseok. Bona menggeser posisinya. Kini mereka saling berhadapan. “Aku akan ke Amerika. Sebentar lagi.”
“Apa?”
“Aku takut tidak bisa kembali ke sini. Jadi aku ingin bertemu denganmu.”
“Aku akan selalu menunggumu, jadi kau harus kembali secepatnya.”
“Aku tidak yakin,” gumam Hoseok, mulai memutar-mulai botol kecil di tangannya.
“Kau kesana karena itu?” Bona menunjuk botol di tangan Hoseok.
“Sepertinya ketergantunganku pada obat ini membuatku semakin gila.”
Bona menatapnya iba. Tak disangka, dibalik sikapnya yang menyebalkan, ia berusaha keras melawan ketergantungan pada obat-obat penenang itu, walau itu masih tidak berhasil.
“Aku menyerah. Aku tidak bisa melawannya sendiri,” Hoseok langsung menunduk, ia pun memejamkan kedua matanya dan berusaha menenangkan dirinya. “Aku akan kembali kalau kau berjanji akan selalu menungguku.”
***
Kenangan dua tahun lalu masih saja muncul, tapi Bona tetap saja tidak bisa melupakan janji mereka. Ia kini sedang mengayuh sepeda menyusuri tepi sungai, persis seperti dua tahun lalu saat ia ke tempat itu dengan Hoseok.
Bona terus memandangi name tag-nya. Bagaimanapun juga ia akan segera lulus dari SMA Kyungyong, tapi tak ada kabar apapun dari Hoseok. Ia sempat berpikir Jung Hoseok telah melupakan janjinya, dan memutuskan untuk pindah sekolah, bertemu dengan gadis-gadis cantik, memacari mereka, kemudian...
Ya!” Bona terlonjak. Ia mengerjap pelan dan tiba-tiba saja bergidik ngeri.
“Apa Jung Hoseok tahu aku sedang membicarakannya?” Bona semakin bergidik ngeri membayangkan Hoseok memiliki kekuatan super yang mampu membaca pikiran orang lain. Tapi suara itu...
Ya! Kim Bona,” suara itu terdengar lagi. Kali ini Bona merasakan pandangan seseorang padanya. Seseorang tengah berdiri disana begitu ia berbalik. Seseorang yang tengah memandangnya.
Bibir Bona bergetar, matanya memerah, dan dalam sekejap tangisnya pun pecah. Hoseok yang panik dengan tangisan Bona pun berlari menghampirinya dan dengan gerakan refleks, ia menarik Bona ke dalam pelukannya. Paling tidak itu bisa meredam suara tangisan Bona yang berhasil menarik perhatian orang-orang sekitar.
Hampir lima menit berlalu setelah Bona menghentikan tangisannya. Mereka duduk di atas rerumputan hijau yang menghadap ke sungai, persis seperti dua tahun lalu.
Ya! Kau membuang ponselmu?”
“Huh?”
“Aku sudah menghubungimu lebih dari 20 kali,” kali ini Hoseok benar-benar kesal.
Bona mengambil ponselnya dan menjerit. Ia menatap Hoseok, ponselnya, kembali ke Hoseok, ponselnya, terus begitu sampai Hoseok menahan kepalanya.
“Kau pikir aku datang untuk melihatmu mematahkan lehermu sendiri?” Bona menurunkan tangan Hoseok dari kepalanya dan menunduk.
“Kupikir kau tidak akan kembali.”
“Mana mungkin? Aku tidak bisa membiarkan milikku diambil orang lain jika aku terlalu lama disana.”
“Kau masih mengkhawatirkan mobilmu? Dasar orang kaya,” gumam Bona sambil menggerutu tidak jelas.
Hoseok terkekeh, kemudian menoleh menatap Bona yang masih menunduk. “Milikku ada disini.”
Bona menoleh, mengerutkan keningnya dan mulai mengedarkan pandangan ke sekitar mereka. “Ah, sepeda itu. Ya! Aku hanya meminjamnya. Lagipula itu ada di gudang sekolah. Apa aku...”
Ya! Apa kau tidak bisa berhenti membicarakannya benda-benda mati itu? Milikku yang kumaksud itu hidup, bisa bernapas, bisa berjalan, dan bahkan bisa terlonjak saat aku mencium pipinya,” Hoseok langsung mengecupnya singkat.
“Jung Hoseok...”
Wae? Kau masih belum tahu siapa yang kumaksud? Mau kuulangi lagi?”
“Tidak, aku...aku sudah tahu.”
“Jadi, kau menerimaku sebagai kekasihmu atau tidak?”
Ya! Apa-apaan? Beginikah caramu menyatakan perasaanmu? Sangat-sangat tidak romantis,” cibir Bona.
“Jadi kau ingin aku melakukan apa? Mengajakmu makan malam romantis? Memberimu ribuan bunga? Membacakan puisi romantis? Aku bukan orang yang bisa melakukan hal-hal semacam itu,” gerutu Hoseok yang langsung bangkit dan berjalan menjauh.
“Ey...aku hanya bercanda,” Bona menyusul Hoseok dan langsung menggenggam tangan Hoseok.
Hoseok berhenti dan menoleh. “Apa ini? Kau menerimaku?” tanyanya seraya mengangkat tangannya yang digenggam Bona.
“Aku tidak mengatakan apapun. Hanya ingin melakukannya.”
“Dasar curang.”
“Kau yang lebih dulu berbuat curang.”
“Mau kukembalikan?” goda Hoseok.
“Tidak, terima kasih,” tolak Bona yang langsung menjauhkan wajahnya.
Ya! Kau melupakan sepedaku.” Bona kembali menggerutu begitu Hoseok memintanya kembali untuk mengambil sepedanya. “Jangan menggerutu, itu sepeda mahal.”
“Kau masih memikirkan kekayaanmu?”
“Tentu saja. Itu milik orang tuaku, aku harus melindunginya.”
“Baiklah...baiklah, aku akan melindunginya untukmu.” Bona melangkah dengan kesal. Bibirnya terus menggerutu sampai Hoseok memeluknya dari belakang.
Ya, begitulah Jung Hoseok. Dia akan melindungi apa yang menjadi miliknya. Selain melindungi harta orang tuanya, alasan ia pulang adalah untuk melindungi miliknya sendiri, Kim Bona.
Ah ya, kisahnya hanya sampai disini. Untuk kelanjutan kisah mereka, sepertinya hanya Tuhan dan mereka yang tahu. Dan mungkin teman-teman mereka.

THE END
"...I hope that you remember, that you always have a place in my heart." -S.E.S (Remember)-


[1] (En) Orang yang wajahnya mirip.
[2] (Kr) Ketemu!
[3] (Kr) Terima kasih.
[4] (Kr) Wow/Hebat/Luar biasa
[5] (Kr) Maaf.
__________________________
1st FF for today guys....hope you like it

Kamis, 06 Juli 2017

[FF] SOUL



SOUL

Pintu kediaman keluarga Xi terbanting. Akhir-akhir ini memang ada sedikit konflik disana. Terkait datangnya kabar diterimanya anak perempuan mereka, Xi Jihan, di universitas ternama di Korea.
“Kenapa di Korea? Kau kan juga mendapat surat dari universitas lain. Kenapa harus kesana?” bentak ibunya.
“Kihan ge[1] diizinkan, kenapa aku tidak?” protes Jihan, membuat wajah ibunya semakin memerah dikuasai amarah.
“Itulah kenapa aku melarangmu. Aku menyesal mengizinkannya kesana.”
Jihan diam. Percuma untuk menggertak karena ibunya pasti akan punya jawaban untuk membalasnya. Disambarnya kunci mobil di meja, dan menghilang. Ia sama sekali tidak menoleh ketika ibunya menjerit-jerit tak karuan. Tidak peduli seberapa keras ia dilarang ke Korea, ia harus tetap kesana, kuliah, dan bertemu idolanya kalau bisa.
Kepalanya penuh dengan angan-angan untuk sampai bandara secepatnya. Ia terlalu bersemangat sampai ia tidak menyadari sebuah mobil baru saja menghantam mobilnya. Cukup keras, membuatnya tersadar lima menit kemudian.
Jihan mengerjap, matanya melebar melihat sosok yang ia kenal tengah berdiri di seberangnya.
“Kihan ge?” gumamnya. Namun sosok itu hanya menatapnya dingin, kemudian dalam sekejap mata, sosok itu telah berdiri di hadapannya, bahkan telah membawa Jihan keluar dari mobilnya.
“Siapa yang mengizinkanmu bisa melihatku?”
Shenme?[2]” Jihan memandang sekeliling. Orang-orang tengah mengerumuni mobilnya. Satu yang membuat jantungnya mencelos, Jihan bisa melihat tubuhnya sendiri, tubuh lemah tak berdaya yang masih ada di dalam mobil.
“Biarkan mereka yang mengurusnya. Sekarang kau harus ikut denganku.” Kihan menarik lengan adiknya menjauh dari lokasi kecelakaan. Entah bagaimana caranya, mereka tiba-tiba berdiri di tempat asing.
Jihan kembali mengedarkan pandangannya. Matanya terkesiap melihat papan-papan di jalan yang menampilan aksara lain, bukan aksara China.
Gege, apa ini...Korea?” pekiknya seraya mencengkeram lengan Kihan. Cengkeramannya semakin kuat begitu Kihan mengangguk.
“Walaupun kau hanya roh, tetap saja kau tidak bisa kemana-mana sesukamu. Karena kau masih hidup. Jadi sekarang kau harus tinggal di suatu tempat sampai kau bangun.” Jihan sempat murung mendengar ucapan kakaknya. “Kau tidak bisa menghilang sepertiku. Dan jangan sampai orang lain mendengar suaramu. Satu lagi, jangan pikir kau bisa menakuti mereka,” imbuhnya begitu Jihan mulai tersenyum licik.
“Baiklah, dimana aku harus tinggal?”
“Ada sesuatu di sepatumu.”
Jihan menunduk, kemudian mendengus karena ia merasa telah dibodohi. “Apa-apaan, tidak ada...wah...” kedua matanya melebar. Mereka telah berpindah tempat dalam sekejap.
Kakak-adik itu telah berdiri di rumah seseorang, seperti apartemen, tapi entah milik siapa karena Kihan langsung menghilang.
Gege...Kihan ge. Padahal aku belum sempat melepas rindu. Aku terlalu kaget sampai tidak sempat memelukmu tadi.”
Tiba-tiba sebuah pelukan singkat datang. Sosok Kihan pun muncul lagi. “Aku sudah memelukmu sekarang. Selamat bersenang-senang. Pemilik rumah akan datang.” Dan dalam sekejap, ia menghilang lagi, secepat kedatangannya.
Cklek...
Suara itu berhasil membuat Jihan bungkam, terlebih ketika terdengar suara langkah kaki seseorang. Tidak, itu lebih sari satu. Dua? Tiga? Empat? Dan itu masih berlanjut.
Hyung, taruh saja bajumu disana. Nanti kucuci.” Suara itu, Jihan seperti mengenal suara itu. Tapi siapa?
“Jungkook-a, tolong bawakan tasku.”
Jungkook? Jeon Jungkook? Dan suara tadi. “Park Jimin?”
Ketujuh pemuda itu berhenti, hanya kepala mereka yang menoleh mencari sumber jeritan itu. Bahkan Yoongi yang baru saja akan menuang air pun langsung berhenti.
“Jimin-a, ada yang memanggilmu?” tanya Yoongi dengan was-was.
“Tidak mungkin ada yang masuk kesini. Lalu siapa?”
Taehyung membulatkan kedua matanya begitu Jimin terus bertanya-tanya.
Ya! Kim Taehyung. Kau tidak akan mengatakan kalau itu hantu kan?” Taehyung meringis begitu Jimin siap dengan tinjunya. “Ah, sudahlah, mungkin salah dengar,” celetuk Jimin seraya berlalu.
“Salah dengar? Kita semua?” gumam Seokjin.
Begitu pemuda-pemuda itu menyebar entah kemana, Jihan baru bisa melemaskan otot-ototnya yang tegang karena ulahnya sendiri.
Park Jimin? Aku bertemu Park Jimin? Tidak masalah kalau aku harus seperti ini lebih lama.
***
Pagi yang cerah, menambah kesan manis pada senyum Jihan. Usahanya menyelinap ke kamar Jimin benar-benar berjalan sesuai rencana.
Suara gaduh di bawah semakin tak terkendali, namun Park Jimin tak juga melepaskan selimutnya. Ia tidak bangun, malah keringat dingin terus mengalir, membasahi wajahnya.
Jihan berjingkat ke samping meja, berjongkok, dan berbisik, “Kihan ge...”
Kihan hadir bersamaan dengan hembusan angin yang menggelitik telinga Jihan. Ia terkikik melihat adiknya yang tiba-tiba merinding. “Wei shenme?[3]
“Aku tidak bisa menyentuh benda apapun, jadi aku butuh bantuanmu,” bisik Jihan pelan, sangat pelan, sampai ia sendiri yakin Jimin tidak akan mendengarnya. “Buatkan bubur untuk Jimin. Aku akan memberitahumu caranya. Kau hanya perlu menjadi tanganku, oke?”
Setelah Kihan menyetujui, dan setelah teman-teman Jimin pergi, keduanya pun mulai beraksi. Sesekali Jihan geram, bahkan menggertak kakaknya ketika sesuatu tidak sesuai dengan apa yang ia inginkan.
Perang keduanya selesai. Kini saatnya Jihan memastikan Jimin masih menutup matanya atau ia akan pingsan melihat mangkuk melayang. Setelah dirasa aman, Kihan pun masuk, membawa mangkuk yang jika dilihat orang akan seperti melayang itu.
Kihan berhenti, kemudian melirik Jihan dan berbisik, “Seseorang sudah membuatkannya bubur.”
“Ah, benar. Seharusnya aku tahu kalau Jin ge pasti sudah membuatkan bubur untuknya.” Jihan terus memutar otak sampai akhirnya ia menatap kakaknya dan tersenyum. “Gege, kau lapar kan? Taruh bubur itu di meja dan kau bisa makan bubur buatan artis.”
“Tidak, aku lebih suka buatanku sendiri.”
“Tetap saja itu buatanku. Itu resepku,” bantah Jihan yang hampir saja menjatuhkan ponsel Jimin ketika hendak memukul lengan Kihan.
Keduanya terdiam, saling berpandangan begitu Jimin baru saja mengubah posisi tidurnya. Tapi bukan itu yang membuat mereka terdiam, melainkan tangan Jihan yang bisa menyentuh ponsel Jimin. Seharusnya Jihan tidak bisa menyentuh benda apapun.
Gege, bukankah kau bilang kalau belum meninggal tidak bisa menyentuh apapun?” gumam Jihan. Ia terlalu takut untuk tahu apa yang sedang terjadi.
“Tenang saja, aku akan cari tahu apa yang terjadi.” Kihan segera meletakkan mangkuk bubur di samping mangkuk yang telah lebih dulu menghuni meja.
Belum sempat Jihan memindahkan salah satu mangkuk itu, tiba-tiba Jimin menggosok kedua matanya dan duduk. Alisnya terangkat melihat dua mangkuk bubur di atas mejanya.

“Jimin-a...kau sudah bangun?” teriak Taehyung yang diiringi suara kakinya yang berlari menaiki anak tangga. Jimin hanya menoleh dan tersenyum begitu Taehyung telah berpose di pintu.
Hyung, aku tahu kau mengkhawatirkanku, tapi kurasa kau tidak perlu membuat dua mangkuk bubur,” ucap Jimin ketika Seokjin melongok ke kamarnya.
“Aku? Apa maksudmu? Aku hanya membuat seporsi. Untuk apa aku membuatkanmu sebanyak itu padahal kau tidak terlalu menyukai bubur buatanku.” bantah Seokjin. Namun kedua matanya melebar begitu Jimin menunjuk dua mangkuk di mejanya, salah satunya telah kosong.
Seokjin mengedikkan kepalanya kemudian keluar, seakan-akan itu bukanlah sesuatu yang perlu dibahas lebih jauh. Berbeda dengan Seokjin, Taehyung terus mendesak Jimin untuk memberitahunya sesuatu yang mungkin saja akan menjadi hal yang menarik.
“Ini aneh. Kau kemarin juga dengar seseorang memanggilku kan?” Taehyung mengangguk penuh antusias. “Hari ini aku mendapat dua mangkuk bubur padahal Seokjin hyung hanya membuat satu. Dan hari ini aku mendengar suara perempuan itu lagi, dari lantai bawah. Dia seperti sedang mengajari seseorang memasak. Tapi aku tidak mendengar ada suara lain.”
“Kau tidak takut?” Taehyung mulai bergidik.
“Yang perlu kulakukan hanyalah pura-pura tidak mendengar.”
Jihan membekap mulutnya. Ia lupa kalau suaranya masih bisa didengar. Dan  orang yang ia kira sedang tertidur pulas, ternyata telah mendengarnya.
***
Riuh rendah terdengar dari lantai bawah. Ketujuh pemuda itu entah sedang membahas apa sampai tawa mereka tidak berhenti juga. Sementara Jihan masih meringkuk dengan gusar. Kakaknya belum juga muncul, padahal rasa penasaran telah mencapai ubun-ubun.
Mei?[4]” bisik Kihan yang baru saja muncul tepat di samping tempat tidur Jimin.
Ge..” bisik Jihan. Kihan berbalik dan segera menghampiri adiknya yang gemetar ketakutan.
“Jangan khawatir, kau masih disana. Tapi keadaanmu memang memburuk.” Jihan mulai terisak. Ia tidak bisa menahan air matanya sampai Kihan mengingatkan kalau seseorang bisa mendengar suaranya.
***
Jimin membolak-balik bajunya, omelannya keluar begitu baju-baju itu terlihat aneh di tubuhnya. Kedua matanya melebar begitu sesosok manusia tertangkap penglihatannya tengah meringkuk di samping lemari pakaiannya.
Hyuuuuuuung...” Jimin langsung berlari keluar setelah melempar pakaiannya, sementara Jihan tergagap begitu baju itu menutupi sebagian wajahnya.
Wae?” Seokjin segera mematikan kompornya, sementara Yoongi yang sedari tadi berkutat dengan kertas dan penanya hanya menoleh, kemudian mendengus begitu Jimin langsung memeluknya.
Ya! Wae?” tanyanya tak sabar.
Gwisin,[5] hyung...gwisin,” Jimin tak juga melonggarkan pelukannya, membuat Yoongi terus-terusan memukul lengan Jimin.
Jimin semakin panik, namun tak ada reaksi apapun dari mereka, bahkan Seokjin kembali menghidupkan kompornya. Taehyung yang baru saja bergabung langsung mengernyit melihat Jimin yang masih dalam posisi memeluk Yoongi.
“Tidak ada hantu disini. Kalau pun ada, aku yakin dia tidak akan mencoba mengintip roti sobekmu,” bantah Taehyung.
Sisi kekanak-kanakan Jimin semakin terlihat begitu ia melepas pelukannya, menghentakkan kaki kanannya, kemudian berlari menaiki anak tangga, mengabaikan Yoongi yang memintanya untuk berhati-hati agar tidak terpeleset. Pintu kamar langsung dibantingnya. Ia terlalu kesal sekarang, sampai-sampai lupa kalau di kamarnya lah sosok si hantu yang ia maksud.
Rasa takutnya kembali begitu sosok Jihan tertangkap ekor matanya. Jihan bahkan menatap Jimin sekarang, membuat pemuda itu kembali membeku.
“Jangan takut, aku tidak akan melukaimu. Aku...penggemarmu,” Jihan ragu, ia tidak berani menatap Jimin sekarang. Pemuda itu masih terdiam, terlebih karena seorang hantu baru saja berbicara dengannya, tidak, sebuah hantu? Sekelebat hantu? entah bagaimana penyebutannya.
“Siapa kau?” entah dari mana Jimin mendapat keberanian untuk berbicara dengan sesuatu yang ia sebut hantu.
Jihan menengadah dan tersenyum, untung saja ia bisa berbahasa Korea. “Namaku Jihan, aku dari China. Jangan takut. Sebenarnya aku baru saja kecelakaan dan aku masih koma, jadi aku bukan hantu.”
“Tapi tetap saja kau sesuatu yang tidak bisa disentuh.” Jimin terlonjak begitu tangan dingin Jihan menyentuh tangannya. “Apa kau yang membuatkan bubur untukku?”
“Ya, sebenarnya tidak. Aku hanya memberitahu kakakku caranya. Dia yang menjadi tanganku.”
Obrolan mereka terhenti begitu seseorang membuka pintu kamar Jimin. Refleks Jihan melompat ke belakang tubuh Jimin.
“Kudengar kau melihat hantu? Dimana hyung?” tanya Jungkook, mencari-cari di sekeliling ruangan, di bawah tempat tidur, di dalam lemari, dan di luar jendela.
“T-tidak. Siapa bilang?”
“Kau sendiri. Aku mendengarmu berteriak tadi.”
“Ah tidak, kurasa aku tadi salah lihat.” Jungkook sempat ragu, tapi kemudian mengangguk dan melangkah keluar.
“Baiklah, aku akan membiarkanmu tinggal disini, tapi kau tidak boleh melihat apa yang seharusnya tidak kau lihat.”
“Kau bicara dengan siapa hyung?” Jungkook kembali melongokkan kepalanya.
“Tidak, aku hanya latihan.”
“Latihan apa yang kau maksud, kau bahkan tidak mendapat tawaran drama,” bisik Jungkook sebelum akhirnya benar-benar pergi. Jimin bisa mendengar dengan jelas langkah kaki bocah itu menuruni anak tangga.
Jimin kembali menoleh menatap Jihan. Ia tak bisa menahan senyum melihat gadis itu melompat kegirangan dengan pipinya yang kemerahan.
***
Hampir sebulan Jihan tinggal dengan ketujuh pemuda tampan itu. Jimin yang sering dianggap penakut itu bahkan telah terbiasa dengan kehadiran Jihan, lebih-lebih ia selalu menutupi kekacauan yang tidak sengaja Jihan lakukan.
“Aku akan ke China hari ini. Beijing,” gumam Jimin, masih mengemasi barang-barang.
Mata Jihan berbinar, bagaimanapun juga ia merindukan kampung halamannya. Jimin yang menyadari sikap Jihan pun ikut tersenyum.
Hyung, kau sehat?” tanya Jungkook begitu ia memergoki Jimin yang masih senyum-senyum sendiri. Jimin hanya mendongak, kemudian mengangkat bahunya dan tersenyum lebar. “Ayo berangkat.” Jungkook keluar setelah mengambil beberapa pasang kaos kaki dari lemari Jimin.
Ni zhunbei haole ma?”[6] Jihan mengangguk penuh antusias. Entah ada angin apa, tiba-tiba Jimin meraih tangan Jihan dan menggenggamnya. Ia sedikit tersentak merasakan tangan Jihan yang super dingin, tapi akhirnya ia malah menggenggam tangan gadis itu lebih erat.
Jimin memilih untuk berpisah dari teman-temannya, hanya untuk menghindari mereka yang mungkin akan menyadari kehadiran Jihan. Mereka sempat protes, tapi semuanya kembali tenang begitu ia mengatakan ingin mampir ke suatu tempat.
“Dari mana?” tanya Namjoon begitu Jimin telah berdiri di hadapan mereka.
“Bibiku mampir jadi aku harus menemuinya sebentar.”
“Bibi? Kau tidak pernah cerita apapun tentang bibimu,” bantah Taehyung penuh selidik.
“Kau punya pacar?” tanya Seokjin.
“Ey, hyung. Apa maksudmu?” protes Jimin.
“Mungkin saja kan kau menemui pacarmu sebelum berangkat. Itu yang biasa dilakukan orang-orang yang punya pacar,” terang Seokjin.
“Terserah kau saja, yang pasti aku tidak punya pacar sekarang.”
“Ah sudahlah, ayo berangkat. Jangan hiraukan Seokjin hyung. Sebenarnya dia yang ingin punya pacar,” celetuk Yoongi, sebelum akhirnya mendapatkan hadiah pukulan ringan di punggungnya.
Jimin masih tetap menggenggam tangan Jihan, namun semakin lama ia semakin merasakan tangan Jihan menghilang. Jimin menoleh, mendapati Jihan yang menatapnya panik. Gadis itu berusaha berteriak, namun tidak ada suara yang keluar. Jimin berusaha meraihnya, namun sia-sia. Gadis itu benar-benar telah menghilang dari pandangannya.
“Jihan-a...Xi Jihan...” Jimin terus berteriak. Tidak peduli walaupun ia mendapat tatapan aneh orang-orang sekitar, bahkan teman-temannya sendiri.
***
Kihan masih menatap adiknya yang belum juga menunjukkan tanda-tanda akan kembali, sementara kedua orang tuanya tak henti-henti merutuki diri mereka sendiri karena gagal menjaga Jihan.
Gege...” Kihan menoleh, kedua matanya bergetar. Perasaannya campur aduk sekarang.
Kemunculan Jihan yang mendadak membawa dua kemungkinan, ia akan segera bangun, atau keadaannya akan memburuk dan ia akan menghilang selamanya. Dan yang sering Kihan temui adalah seseorang yang mendadak kembali dan kemudian menghilang selamanya. Ia hanya takut Jihan akan mengalami hal yang sama.
“Apa yang terjadi? Kenapa aku tiba-tiba ada disini?”
“Jangan keras-keras, mereka bisa mendengarmu,” ucapnya, walau ia tahu suara Jihan tidak terdengar lagi.
Gege, aku...gege...Kihan ge, apa yang terjadi. Gege...” Jihan terus berteriak sampai sosoknya benar-benar menghilang, sementara Kihan hanya bisa menangis sambil menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Ia mendongak begitu suara gaduh memenuhi ruangan. Orang tuanya menangis, sambil menggenggam tangan Jihan, bahkan ibunya terus memeluk tubuh Jihan. Kihan terkulai lemas dengan pemandangan yang ada di hadapannya. Tangisnya semakin tak tertahankan, sampai akhirnya ia melihat jari-jari Jihan bergerak. Ternyata itu bukan tangis duka, melainkan tangisan untuk menyambut Jihan yang telah kembali.
Gege...” kata itu yang pertama ia ucapkan, membuat kedua orang tuanya hanya bisa saling berpandangan dalam diam.
“Jihan? Ni neng ting dao wo ma?[7]” tanya ibunya, masih terisak.
Jihan mulai membuka kedua matanya dan menggerakkannya ke kanan dan kiri, “Mama? Baba?[8] Keduanya tersenyum dan memeluk Jihan bergantian. Jihan bisa melihat dengan jelas sosok lain melewati bahu ibunya. Jihan mengedip pelan dan bergumam, “Gege?” kemudian tersenyum begitu sosok itu tersenyum padanya.
***
Taehyung bersorak begitu mereka telah keluar dari bandara, sementara Jimin langsung berlari menjauh setelah menitipkan kopernya pada Jungkook. Ia tidak mempedulikan teriakan teman-temannya yang memintanya untuk berhenti. Ia tidak boleh buang-buang waktu sekarang. Ia harus segera mencari rumah sakit tempat Jihan dirawat.
Setelah memaksa sopir taksi untuk menaikkan kecepatannya, akhirnya ia sampai di rumah sakit yang pernah Jihan sebutkan. Langkahnya tidak bisa diperlambat lagi. Ia bahkan harus adu mulut dengan resepsionis karena ia tidak mau menunggu lebih lama lagi. Jimin melesat begitu si resepsionis memberitahukan ruangan dimana Jihan dirawat.
Langkahnya melambat, didekatinya pintu itu. Ragu. Itulah yang ia rasakan sekarang.
Wo de tou hao tong.[9] Jimin mendongak. Suara itu benar-benar suara Jihan.
Ditariknya pintu yang ada di hadapannya. Seketika tiga pasang mata, dan sepasang mata lain, tertuju padanya. Ibu Jihan tertegun, wajahnya penuh dengan tanda tanya. Jihan ternganga, ditatapnya sosok Jimin yang masih berdiri menatapnya. Berbeda dengan keduanya, ayah Jihan menyambut kehadiran Jimin dengan senyum cerah.
Menyadari sikap Jimin yang terlihat canggung, ayah Jihan pun langsung menarik lengan ibu Jihan. Sempat menggumamkan sesuatu saat melewati Jimin, “Kami titip Jihan sebentar.”
Ni hao,”[10] sapa Jimin. Aneh, kenapa tiba-tiba jadi canggung.
“Park Jimin?” Jihan menatapnya lekat-lekat, kemudian terbelalak begitu Jimin menariknya ke dalam pelukannya.
Untuk pertama kalinya Jihan menyukai sosok Jimin, bukan rasa kagum seorang penggemar pada idolanya, tapi rasa suka antara pria dan wanita biasa. Rasa suka yang semakin tumbuh menjadi cinta.

THE END



[1] (Cn) Gege : Kakak laki-laki.
[2] (Cn) Apa?
[3] (Cn) Kenapa?
[4] (Cn) Meimei : adik perempuan.
[5] (Kr) Gwisin : hantu.
[6] Apa kau siap?
[7] Kau bisa mendengarku?
[8] Ibu? Ayah?
[9] Kepalaku sakit.
[10] (Cn) Hai
_____________________________
Baru nyadar, posting FF kaya minum obat, 3x sehari. Tapi kagak mama papa lah, demi temen-temenku tercintah, eh salah..kakak-kakakku tercintah. Kak Jihan, my chim, semoga suka. Kak Kihan, sorry perannya jadi anu...peace bro. Jimin, roti sobek ente aman kan?