GG
Sabtu, 06 Oktober 2018
Sabtu, 22 September 2018
Sabtu, 10 Februari 2018
[FF] FIRST HEARTBREAK
Main Cast : Oh Sehun & Kim Nida
Kilatan
terang terus menyambar. Hujan pun tak kunjung berhenti sampai aku terbangun.
Padahal sudah hampir tiga jam sejak aku mulai memejamkan mata.
Bayangan
itu kembali. Sosok yang kurindukan masih saja mondar-mandir di depanku. Tak ada
kata yang keluar. Hanya sosok dingin yang menatap sambil sesekali tersenyum
kemudian menghilang begitu saja. Itu terus terjadi sejak hari pertama
kepergiannya. Kira-kira...lima? Tidak, hampir tujuh tahun kurasa.
Aku
masih melakukan hal yang sama. Melirik beberapa tempelan di dinding begitu
sosok itu telah menghilang. Dari sekian tempelan, satu yang lagi-lagi membuatku
menjadikannya yang pertama untuk kulirik. Potongan artikel dari sebuah majalah
terkenal di negara ini. Sebuah artikel tentang seorang idol yang meninggal karena mendapatkan perlakuan yang tidak pernah
adil.
"Kim
Nara, seorang member dari girl group
terkenal yang telah dikeluarkan karena alasan yang tidak masuk akal."
Bayangkan saja, memecatnya hanya karena dia tidak mau beradegan sedikit berani
untuk music video group nya? Lelucon macam apa itu? Tapi
bukankah orang-orang juga sadar kalau sebenarnya ada faktor lain? Bukan itu
yang membuatnya didepak dari group
yang ia pimpin. Sungguh konyol dan tidak adil.
Begitulah
secuil isi artikel serta beberapa komentar yang menampilkan sosok gadis yang
tengah tersenyum ceria ke arah kamera. Tidak hanya foto dengan senyuman
sebenarnya. Di komentar terakhir bahkan terpampang foto gadis itu dalam keadaan
menyedihkan. Lebam dimana-mana. Bekas luka terlihat di bagian-bagian yang
memang tak pernah terlihat.
Aku
beranjak, menyambar kameraku kemudian keluar. Tidak banyak yang biasa
kukerjakan. Hanya sekedar jalan-jalan dan melakukan hobiku, sedikit
bermain-main dengan idol terkenal dan
agensinya. Aku semakin menyukai hobiku begitu semuanya berjalan sesuai rencana,
apalagi melihat mereka tersiksa, terlebih pimpinan agensi mereka yang mulai
mengonsumsi obat penenang. Mungkin belajar menenangkan diri sebelum benar-benar
kehilangan aset perusahaan.
"Nida-ssi, tolong antarkan kopi ini ke ruangan
nomor dua," pinta salah satu staff
berkaca mata yang langsung menyodorkan tiga gelas kopi padaku. Ah, aku lupa.
Aku juga bekerja sebagai pekerja paruh waktu di sebuah kantor penyiaran.
Aku
berlalu setelah mengiyakan perintahnya. Mataku menyipit begitu kulihat papan
nama di pintu ruangan nomor dua. Senyumku mengembang, mataku mulai melebar.
Kuputuskan untuk menjauh dari ruangan itu dan menepi, bersembunyi di ruangan
yang entah orang lain bisa melihatnya atau tidak. Hampir saja tabung kecilku
terinjak ketika benda itu menggelinding keluar dari tempat persembunyianku.
Buru-buru kusambar tabung kecilku, kuambil tiga buah pil dan kumasukkan ke masing-masing
gelas.
Baiklah.
Sepertinya keberuntungan ada di pihakku sekarang. Tidak ada yang tahu dari mana
aku muncul. Semuanya hanya berjalan mulus seperti yang kuharapkan.
"Annyeonghaseyo," sapaku begitu
kulihat tiga pria tampan duduk santai dengan ponsel di tangan mereka. Ketiganya
menoleh kemudian membalas sapaanku. Penghuni ruangan nomor dua ini memang
tampan jika dilihat langsung. Tapi tetap saja aku tidak bisa menyembunyikan
rasa benciku pada dunia yang penuh wajah-wajah cantik dan tampan yang mondar-mandir
tanpa melepas topeng mereka.
Palsu.
Ya, itulah yang selalu kupikirkan. Kepolosan yang palsu, kebaikan yang palsu,
bahkan kehidupan mereka rasanya palsu bagiku.
"Oh,
sepertinya wajahmu tidak asing," celetuk si pria berwajah cantik.
“Ah
benar. Rasanya aku pernah melihatmu. Tapi dimana ya,” pria berbulu mata lentik
yang semula asik bermain game-pun ikut menyetujui.
“Tidak
mungkin. Aku saja baru bertemu kalian secara langsung,” bantahku. Aku tidak
terlihat gugup kan?
“Benarkah?
Aneh. Aku yakin pernah melihatmu,” si pria cantik kembali berpikir serius.
“Apa
mungkin wajahmu pasaran?” pria terakhir ikut melontarkan pikirannya. Dia adalah
pria yang pernah membuatku tertipu. Bagaimana tidak, dengan wajah polos dan
imut ia berhasil membuat orang-orang berpikir kalau ialah yang termuda di group.
“Ah,
mungkin saja begitu,” balasku. Belum sempat kusodorkan gelas-gelas itu pada
pemiliknya, salah satu gelas telah disambar seseorang.
“Hyung, aku tidak berhasil membawa mereka
kesini,” ucapnya, kemudian menyeruput kopi rampasannya.
Aku
tercengang. Entah apa yang kupikirkan sekarang, aku hanya diam memandangnya.
Kuamati kopi yang perlahan mengalir. Hei, seharusnya bukan kau yang meminumnya.
Ternyata tidak hanya aku yang terdiam. Ketiga pria itu pun diam dan memandang
pria bongsor yang masih menikmati kopinya.
“Apa?”
tanyanya begitu gelas kopi di tangannya tidak lagi penuh.
“Tidak.
Hanya...seharusnya kau bilang kalau haus. Bukannya langsung merampas minuman
orang lain,” protes si pria berbulu mata lentik.
“Suho
hyung akan marah besar melihat
sikapmu,” imbuh si pria cantik.
“Hyung, jangan lupa. Suho hyung tidak
pernah menang melawanku,” jawabnya dengan bangga.
“EXO
CBX, silahkan bersiap-siap. Lima menit lagi.” Teriakan dari staff berhasil
membuat ketiga pria itu cepat-cepat beranjak. Mereka langsung keluar setelah
memberikan tinju ringan pada si pria bongsor.
Aku
pun keluar. Tapi masih sempat melirik si pria bongsor yang mulai memegangi
perutnya.
***
Suasana
rumah sakit mendadak seperti suasana fanmeeting.
Semua anggota group hadir, bahkan
anggota dari Cina baru saja mendarat di bandara Incheon. Sedang dalam
perjalanan kesini, seseorang baru saja meneleponnya. Seperti yang kukatakan
tadi, disini menjadi seperti tempat fanmeeting
karena fans banyak yang datang. Tentu
saja ada pengamanan juga disini. Kalau tidak, mungkin si pasien akan tambah
menderita diterjang masa sebanyak itu.
Aku
akan menjawab pertanyaan kenapa aku ada disini. Hmm...ini gara-gara aku yang
mengantar kopi tadi, kemudian pria bongsor itu meminumnya, dan akhirnya masuk
rumah sakit. Mereka memaksa kalau akulah tersangkanya, sampai akhirnya si pria
bongsor angkat suara tanpa melepas senyum konyol dari wajahnya.
“Ey...aku
yakin bukan karena kopi itu. Aku sudah merasa tidak nyaman saat perjalanan ke
studio.”
“Ya!
Oh Sehun. Jelas-jelas kau begini setelah minum kopi itu. Aku yakin obat pencuci
perut itu ada di dalamnya,” protes pria berkulit agak gelap. Cukup eksotis.
“Kalau
bukan karena kopi itu, memangnya ada sesuatu yang lain yang masuk ke perutmu?”
imbuh Baekhyun, pria yang dari tadi kusebut si pria cantik. Apa salah satu dari
kalian ada yang mengidolakannya? Tolong jangan bunuh aku.
“Ada.
Aku tadi makan...” Sehun menggerakkan tangannya, mulai menghitung. Kemudian
berhenti di jari ke tujuh. “Aku makan 7 makanan dalam satu waktu. Bukankah itu
hebat?”
“Bukan
hebat, tapi tidak waras,” sanggah Kai.
“Sehun-a!” seorang pria muncul, membuat seisi
ruangan menoleh. Sebagian hanya tersenyum, sebagian lagi melompat kegirangan
kemudian berlari memeluk pria itu.
***
Aku
bisa bernafas lega sekarang. Mereka melepaskanku setelah Sehun mengatakan, “Jangan
bunuh aku! Bukankah sakitku ini ada hikmahnya? Kalian semua bisa berkumpul
disini, bahkan Lay ge juga ada disini
sekarang.” Kalimatnya itu membuat semua terdiam, kemudian tersenyum dan
mengangguk-angguk setuju.
Sekarang
yang perlu kulakukan adalah diam sebentar, sebelum memulai hobiku lagi.
Derit
jendela kamar berkali-kali membuatku menoleh. Namun kali ini aku benar-benar
menoleh dan beranjak. Oh tidak. Apakah itu ibuku?
Aku
buru-buru melepas beberapa tempelan mencurigakan begitu kulihat ibuku menyusuri
gang, ke arah rumahku. Pintu terbuka tepat saat aku melepas tempelan terakhir.
Ibuku terkejut melihatku, begitupun juga denganku yang masih melebarkan kedua
mataku kearahnya.
“Apa
yang kau lakukan? Apa kau melihat hantu ibumu?”
“Ey…eomma. Siapa yang kau
sebut hantu? Kau masih cantik dan sehat, tidak pantas disebut hantu,” ujarku
seraya kupeluk ibuku. Ia berontak kemudian menatapku tajam.
“Apa ini yang kau lakukan saat aku
bekerja keras untuk menguliahkanmu?”
“Hmm?”
“Kenapa
kau tidak pergi kuliah sekarang?”
“Eomma, kuliah tidak seperti sekolah yang
harus pergi setiap hari. Hari ini aku libur.”
“Libur
apanya. Jelas-jelas aku melihat Ahrin berangkat tadi pagi.”
“Aku
tidak yakin dia benar-benar kuliah. Setiap pagi aku selalu melihatnya
berdua-duaan dengan pacarnya di kampus,” protesku.
“Kau bilang
tidak setiap hari kau kuliah. Bagaimana mungkin kau melihatnya setiap pagi.”
“Ah, molla molla. Aku sedang tidak ingin
bercanda,” aku mengacak rambutku dan berjalan ke kamar. Tapi kemudian aku lupa
aku belum menanyakan sesuatu. “Eomma,
ada urusan apa datang kesini?”
Ibuku
menoleh, kemudian menatapku tajam, bersiap menyemburku dengan segala
omelan-omelannya.
***
Ah,
tidak mungkin. Siapa saja tolong katakan kalau aku sedang bermimpi. Tidak
mungkin ibuku akan tinggal dirumahku selama sebulan. Tidak. Bagaimanapun juga
aku harus tetap membuat segala yang kubutuhkan untuk idol-idol tidak tahu diri itu.
“Kita
bertemu lagi,” celetuk seorang pria bertopi yang menutupi separuh wajahnya. Aku
bisa mengenalinya begitu ia sedikit mengangkat topinya.
“Kau?”
“Kau
tidak teriak? Orang-orang biasanya akan histeris melihatku,” ucapnya bangga,
kemudian duduk di depanku.
“Aku
bukanlah orang yang seperti itu. Aku tidak peduli kalau ada artis berjalan,
meludah, atau bahkan tersungkur di depanku. Aku tidak akan pernah seheboh orang-orang
yang kau maksud itu.”
“Benarkah?
Jadi…” ia menarik kursi di hadapanku, kemudian duduk bersandar. “…apa yang kau
lakukan disini? Mencari mangsa?”
Aku
tergagap. Apa maksudnya? Mangsa apa? Dan kenapa tiba-tiba ia muncul di
hadapanku?
“Aku
tahu kau yang melakukannya,” bisiknya. Aku menoleh, kedua mataku bergetar. Apa
maksud ucapannya. “Aku tahu kau yang mencampur lem ke dalam kopi Yunho hyung, aku tahu kau yang menyuruh orang
untuk menarik paksa Taeyeon noona
dari atas panggung, aku juga tahu kau pernah masuk ke asrama Super Junior. Dan
aku juga tahu kau telah memasukkan sesuatu ke kopi teman-temanku. Tapi untung
saja aku yang meminumnya.”
Aku
menoleh, kedua mataku langsung melebar begitu kulihat raut wajahnya yang tampak
santai. Ia bahkan masih sempat tersenyum tipis sebelum berpaling.
“Nida-ya. Aku tidak tahu apa alasanmu, tapi
bisakah kau berhenti? Apa yang kau lakukan itu benar-benar kelewatan dan
sedikit…berbahaya.”
“Kau…darimana
kau tahu nama samaranku?”
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To be continued
Langganan:
Postingan (Atom)