GG

GG
Follow my Twitter : @lovbie_df

Sabtu, 10 Februari 2018

[FF] FIRST HEARTBREAK


Main Cast : Oh Sehun & Kim Nida



Kilatan terang terus menyambar. Hujan pun tak kunjung berhenti sampai aku terbangun. Padahal sudah hampir tiga jam sejak aku mulai memejamkan mata.
Bayangan itu kembali. Sosok yang kurindukan masih saja mondar-mandir di depanku. Tak ada kata yang keluar. Hanya sosok dingin yang menatap sambil sesekali tersenyum kemudian menghilang begitu saja. Itu terus terjadi sejak hari pertama kepergiannya. Kira-kira...lima? Tidak, hampir tujuh tahun kurasa.
Aku masih melakukan hal yang sama. Melirik beberapa tempelan di dinding begitu sosok itu telah menghilang. Dari sekian tempelan, satu yang lagi-lagi membuatku menjadikannya yang pertama untuk kulirik. Potongan artikel dari sebuah majalah terkenal di negara ini. Sebuah artikel tentang seorang idol yang meninggal karena mendapatkan perlakuan yang tidak pernah adil.
"Kim Nara, seorang member dari girl group terkenal yang telah dikeluarkan karena alasan yang tidak masuk akal." Bayangkan saja, memecatnya hanya karena dia tidak mau beradegan sedikit berani untuk music video group nya? Lelucon macam apa itu? Tapi bukankah orang-orang juga sadar kalau sebenarnya ada faktor lain? Bukan itu yang membuatnya didepak dari group yang ia pimpin. Sungguh konyol dan tidak adil.
Begitulah secuil isi artikel serta beberapa komentar yang menampilkan sosok gadis yang tengah tersenyum ceria ke arah kamera. Tidak hanya foto dengan senyuman sebenarnya. Di komentar terakhir bahkan terpampang foto gadis itu dalam keadaan menyedihkan. Lebam dimana-mana. Bekas luka terlihat di bagian-bagian yang memang tak pernah terlihat.
Aku beranjak, menyambar kameraku kemudian keluar. Tidak banyak yang biasa kukerjakan. Hanya sekedar jalan-jalan dan melakukan hobiku, sedikit bermain-main dengan idol terkenal dan agensinya. Aku semakin menyukai hobiku begitu semuanya berjalan sesuai rencana, apalagi melihat mereka tersiksa, terlebih pimpinan agensi mereka yang mulai mengonsumsi obat penenang. Mungkin belajar menenangkan diri sebelum benar-benar kehilangan aset perusahaan. 
"Nida-ssi, tolong antarkan kopi ini ke ruangan nomor dua," pinta salah satu staff berkaca mata yang langsung menyodorkan tiga gelas kopi padaku. Ah, aku lupa. Aku juga bekerja sebagai pekerja paruh waktu di sebuah kantor penyiaran.
Aku berlalu setelah mengiyakan perintahnya. Mataku menyipit begitu kulihat papan nama di pintu ruangan nomor dua. Senyumku mengembang, mataku mulai melebar. Kuputuskan untuk menjauh dari ruangan itu dan menepi, bersembunyi di ruangan yang entah orang lain bisa melihatnya atau tidak. Hampir saja tabung kecilku terinjak ketika benda itu menggelinding keluar dari tempat persembunyianku. Buru-buru kusambar tabung kecilku, kuambil tiga buah pil dan kumasukkan ke masing-masing gelas.
Baiklah. Sepertinya keberuntungan ada di pihakku sekarang. Tidak ada yang tahu dari mana aku muncul. Semuanya hanya berjalan mulus seperti yang kuharapkan.
"Annyeonghaseyo," sapaku begitu kulihat tiga pria tampan duduk santai dengan ponsel di tangan mereka. Ketiganya menoleh kemudian membalas sapaanku. Penghuni ruangan nomor dua ini memang tampan jika dilihat langsung. Tapi tetap saja aku tidak bisa menyembunyikan rasa benciku pada dunia yang penuh wajah-wajah cantik dan tampan yang mondar-mandir tanpa melepas topeng mereka.
Palsu. Ya, itulah yang selalu kupikirkan. Kepolosan yang palsu, kebaikan yang palsu, bahkan kehidupan mereka rasanya palsu bagiku.
"Oh, sepertinya wajahmu tidak asing," celetuk si pria berwajah cantik.
“Ah benar. Rasanya aku pernah melihatmu. Tapi dimana ya,” pria berbulu mata lentik yang semula asik bermain game-pun ikut menyetujui.
“Tidak mungkin. Aku saja baru bertemu kalian secara langsung,” bantahku. Aku tidak terlihat gugup kan?
“Benarkah? Aneh. Aku yakin pernah melihatmu,” si pria cantik kembali berpikir serius.
“Apa mungkin wajahmu pasaran?” pria terakhir ikut melontarkan pikirannya. Dia adalah pria yang pernah membuatku tertipu. Bagaimana tidak, dengan wajah polos dan imut ia berhasil membuat orang-orang berpikir kalau ialah yang termuda di group.
“Ah, mungkin saja begitu,” balasku. Belum sempat kusodorkan gelas-gelas itu pada pemiliknya, salah satu gelas telah disambar seseorang.
Hyung, aku tidak berhasil membawa mereka kesini,” ucapnya, kemudian menyeruput kopi rampasannya.
Aku tercengang. Entah apa yang kupikirkan sekarang, aku hanya diam memandangnya. Kuamati kopi yang perlahan mengalir. Hei, seharusnya bukan kau yang meminumnya. Ternyata tidak hanya aku yang terdiam. Ketiga pria itu pun diam dan memandang pria bongsor yang masih menikmati kopinya.
“Apa?” tanyanya begitu gelas kopi di tangannya tidak lagi penuh.
“Tidak. Hanya...seharusnya kau bilang kalau haus. Bukannya langsung merampas minuman orang lain,” protes si pria berbulu mata lentik.
“Suho hyung akan marah besar melihat sikapmu,” imbuh si pria cantik.
Hyung, jangan lupa. Suho hyung tidak pernah menang melawanku,” jawabnya dengan bangga.
“EXO CBX, silahkan bersiap-siap. Lima menit lagi.” Teriakan dari staff berhasil membuat ketiga pria itu cepat-cepat beranjak. Mereka langsung keluar setelah memberikan tinju ringan pada si pria bongsor.
Aku pun keluar. Tapi masih sempat melirik si pria bongsor yang mulai memegangi perutnya.
***
Suasana rumah sakit mendadak seperti suasana fanmeeting. Semua anggota group hadir, bahkan anggota dari Cina baru saja mendarat di bandara Incheon. Sedang dalam perjalanan kesini, seseorang baru saja meneleponnya. Seperti yang kukatakan tadi, disini menjadi seperti tempat fanmeeting karena fans banyak yang datang. Tentu saja ada pengamanan juga disini. Kalau tidak, mungkin si pasien akan tambah menderita diterjang masa sebanyak itu.
Aku akan menjawab pertanyaan kenapa aku ada disini. Hmm...ini gara-gara aku yang mengantar kopi tadi, kemudian pria bongsor itu meminumnya, dan akhirnya masuk rumah sakit. Mereka memaksa kalau akulah tersangkanya, sampai akhirnya si pria bongsor angkat suara tanpa melepas senyum konyol dari wajahnya.
“Ey...aku yakin bukan karena kopi itu. Aku sudah merasa tidak nyaman saat perjalanan ke studio.”
“Ya! Oh Sehun. Jelas-jelas kau begini setelah minum kopi itu. Aku yakin obat pencuci perut itu ada di dalamnya,” protes pria berkulit agak gelap. Cukup eksotis.
“Kalau bukan karena kopi itu, memangnya ada sesuatu yang lain yang masuk ke perutmu?” imbuh Baekhyun, pria yang dari tadi kusebut si pria cantik. Apa salah satu dari kalian ada yang mengidolakannya? Tolong jangan bunuh aku.
“Ada. Aku tadi makan...” Sehun menggerakkan tangannya, mulai menghitung. Kemudian berhenti di jari ke tujuh. “Aku makan 7 makanan dalam satu waktu. Bukankah itu hebat?”
“Bukan hebat, tapi tidak waras,” sanggah Kai.
“Sehun-a!” seorang pria muncul, membuat seisi ruangan menoleh. Sebagian hanya tersenyum, sebagian lagi melompat kegirangan kemudian berlari memeluk pria itu.
***
Aku bisa bernafas lega sekarang. Mereka melepaskanku setelah Sehun mengatakan, “Jangan bunuh aku! Bukankah sakitku ini ada hikmahnya? Kalian semua bisa berkumpul disini, bahkan Lay ge juga ada disini sekarang.” Kalimatnya itu membuat semua terdiam, kemudian tersenyum dan mengangguk-angguk setuju.
Sekarang yang perlu kulakukan adalah diam sebentar, sebelum memulai hobiku lagi.
Derit jendela kamar berkali-kali membuatku menoleh. Namun kali ini aku benar-benar menoleh dan beranjak. Oh tidak. Apakah itu ibuku?
            Aku buru-buru melepas beberapa tempelan mencurigakan begitu kulihat ibuku menyusuri gang, ke arah rumahku. Pintu terbuka tepat saat aku melepas tempelan terakhir. Ibuku terkejut melihatku, begitupun juga denganku yang masih melebarkan kedua mataku kearahnya.
            “Apa yang kau lakukan? Apa kau melihat hantu ibumu?”
            “Ey…eomma. Siapa yang kau sebut hantu? Kau masih cantik dan sehat, tidak pantas disebut hantu,” ujarku seraya kupeluk ibuku. Ia berontak kemudian menatapku tajam.
            “Apa ini yang kau lakukan saat aku bekerja keras untuk menguliahkanmu?”
            “Hmm?”
            “Kenapa kau tidak pergi kuliah sekarang?”
            Eomma, kuliah tidak seperti sekolah yang harus pergi setiap hari. Hari ini aku libur.”
            “Libur apanya. Jelas-jelas aku melihat Ahrin berangkat tadi pagi.”
            “Aku tidak yakin dia benar-benar kuliah. Setiap pagi aku selalu melihatnya berdua-duaan dengan pacarnya di kampus,” protesku.
“Kau bilang tidak setiap hari kau kuliah. Bagaimana mungkin kau melihatnya setiap pagi.”
“Ah, molla molla. Aku sedang tidak ingin bercanda,” aku mengacak rambutku dan berjalan ke kamar. Tapi kemudian aku lupa aku belum menanyakan sesuatu. “Eomma, ada urusan apa datang kesini?”
            Ibuku menoleh, kemudian menatapku tajam, bersiap menyemburku dengan segala omelan-omelannya.
***
            Ah, tidak mungkin. Siapa saja tolong katakan kalau aku sedang bermimpi. Tidak mungkin ibuku akan tinggal dirumahku selama sebulan. Tidak. Bagaimanapun juga aku harus tetap membuat segala yang kubutuhkan untuk idol-idol tidak tahu diri itu.
            “Kita bertemu lagi,” celetuk seorang pria bertopi yang menutupi separuh wajahnya. Aku bisa mengenalinya begitu ia sedikit mengangkat topinya.
            “Kau?”
            “Kau tidak teriak? Orang-orang biasanya akan histeris melihatku,” ucapnya bangga, kemudian duduk di depanku.
            “Aku bukanlah orang yang seperti itu. Aku tidak peduli kalau ada artis berjalan, meludah, atau bahkan tersungkur di depanku. Aku tidak akan pernah seheboh orang-orang yang kau maksud itu.”
            “Benarkah? Jadi…” ia menarik kursi di hadapanku, kemudian duduk bersandar. “…apa yang kau lakukan disini? Mencari mangsa?”
            Aku tergagap. Apa maksudnya? Mangsa apa? Dan kenapa tiba-tiba ia muncul di hadapanku?
            “Aku tahu kau yang melakukannya,” bisiknya. Aku menoleh, kedua mataku bergetar. Apa maksud ucapannya. “Aku tahu kau yang mencampur lem ke dalam kopi Yunho hyung, aku tahu kau yang menyuruh orang untuk menarik paksa Taeyeon noona dari atas panggung, aku juga tahu kau pernah masuk ke asrama Super Junior. Dan aku juga tahu kau telah memasukkan sesuatu ke kopi teman-temanku. Tapi untung saja aku yang meminumnya.”
            Aku menoleh, kedua mataku langsung melebar begitu kulihat raut wajahnya yang tampak santai. Ia bahkan masih sempat tersenyum tipis sebelum berpaling.
            “Nida-ya. Aku tidak tahu apa alasanmu, tapi bisakah kau berhenti? Apa yang kau lakukan itu benar-benar kelewatan dan sedikit…berbahaya.”
            “Kau…darimana kau tahu nama samaranku?”
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To be continued