Cast : Demi Lovato, Niall Horan “One Direction”
Author : Bie (Bikry Farida)
Musim telah berganti, aku masih
terpuruk dan hatiku sakit karena merindukanmu, tentu saja.
Kenangan-kenangan itu silih
berganti muncul dalam benakku, seperti rekaman yang menampilkan setiap kejadian
secara acak. Tapi tiba-tiba berhenti disaat aku pertama kali bertemu denganmu.
* * *
“Hey, aku sudah memesan meja ini”
ucap seorang pria yang berdiri dihadapanku, dia terlihat rapi dengan kemeja
yang ia pakai. Aku hanya meliriknya dan mulai bangkit dari tempat dudukku,
tidak, bukan untuk meninggalkan meja ini.
“Sorry, tapi tidak ada yang
memberitahuku kalau meja ini sudah dipesan” bantahku dengan cukup tenang. Tak ada bantahan yang keluar dari mulutnya, ia malah mendelik dan terus
menatapku
* * *
Mengingat
hal itu, membuat bibirku perlahan mulai tertarik, dan nampaklah senyum yang
telah lama tak kutunjukkan pada orang-orang disekitarku.
Adegan
memperebutkan meja itu terus berlanjut walau masih dalam keadaan tenang. Kami
tak berteriak-teriak atau saling melotot, kami hanya beradu bantahan untuk
mempertahankan meja itu.
Perlahan
kenangan itu mulai memudar dan digantikan oleh kenangan lain, saat aku
melihatmu duduk sendiri ditaman. Aku tidak bisa menebak perasaanmu saat itu.
Kau menampilkan kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan di waktu yang sama.
Seikat
bunga Lily dan sebuah kotak kecil yang ada ditanganmu perlahan merosot.
Genggaman tanganmu tak sekuat tadi, dan kedua benda itu pun langsung meluncur
ke tanah tanpa ada yang mampu mencegahnya.
* * *
Kusentuh
bahunya dengan lembut, kuharap kemarahan tidak sedang menguasainya saat ini.
Perlahan ia menoleh dan menatapku dengan tatapan bingung. Ia hanya mengangkat
alisnya tanpa mengalihkan pandangannya dariku. Aku tersenyum, dan ia mulai
mengerjapkan kedua matanya.
“Bukankah
kau. . .”
“Ya,
ternyata kau masih mengingatku” jawabku dengan tersenyum.
“Tentu
saja, kau tidak berpikir kalau aku melupakan peristiwa konyol itu kan?”
tanyanya sambil terkikik pelan.
Sejak
saat itu kami mulai dekat, kami sering menghabiskan waktu bersama. Bahkan tak
ada satu hari pun yang kami lewatkan untuk bertemu, walaupun hanya sekedar
menanyakan kabar.
Sampai
suatu hari ia mengajakku makan malam di Restoran Karlz, di meja no.7, dimana
kami pernah berebut tempat duduk disana.
“Aku ingin kau menjadi kekasihku” ucapnya
dengan tulus, akupun tersenyum dan menyambut uluran tangannya.
* * *
Saat
itu yang ada dipikiranku hanyalah bahwa aku terlahir untuk bertemu denganmu,
dan aku mencintaimu sampai mati.
Kini,
kita dibawah langit yang sama, tapi di tempat yang berbeda. Kau bersembunyi
karena menganggapku tak cukup baik. Kejam, seperti inikah akhir perjalanan
cintaku?
Mataku
masih terpejam, aku terus berusaha membuat otakku memutar kembali memori yang
sebenarnya tak ingin aku ingat lagi.
“Apa
kau sudah lama?” mataku masih terpejam, tapi aku bisa merasakan senyum mulai
menghiasi wajahku ketika kudengar suara yang telah kurindukan itu.
“Aku
bisa mendengar suaramu, ini sangat nyata” gumamku tanpa mencoba membuka mata.
Aku
merasa keanehan mulai menyelimutiku, tanganku seperti menyentuh sesuatu, terasa
hangat. Kehangatan yang selama ini kurindukan, kehangatan yang kuharapkan
segera kembali padaku. Perlahan kucoba membuka kedua mataku, kulihat
sekelilingku dan aku tersadar aku masih di Karlz dan duduk di tempat biasa.
“Aku
sudah memesan meja ini” suara itu berhasil membuatku terlonjak. Aku baru sadar
sedari tadi ada seseorang yang duduk di depanku. Ia terus memperhatikanku, dan.
. .masih menggenggam tanganku.
“Niall”
bisikku. Ia pun tersenyum dan masih terus menatapku.
Hening,
itulah yang terjadi selama beberapa menit, sampai akhirnya seseorang memecahkan
keheningan diantara kami. Aku mengenalnya, tentu saja, karena ia adalah
sahabatku dari kecil, tapi kini kami sedikit menjaga jarak. Sesuatu telah
membuatnya mulai menjauhiku.
“Kau
juga disini?” gadis itu bertanya padaku, dengan keramahan palsu, aku tahu itu
karena itu nampak sangat nyata.
“Aku akan pulang”
jawabku dengan setenang mungkin. “Thanks, karena kau telah menjelek-jelekkan
sahabatmu sendiri” bisikku saat kuberlalu disampingnya. Aku yakin Niall
samar-samar mendengarnya, karena ia langsung bertanya pada Selly apa yang baru
saja kukatakan.
Aku
terus berjalan menjauhi mereka, menahan butiran-butiran sebening kristal yang
siap jatuh membasahi pipiku. Aku tak peduli, entah mereka masih
memperhatikanku, ataukah mereka telah sibuk dengan urusan mereka. Yang ada
dipikiranku hanyalah menjauh, menjauh dari orang yang kucintai, dan menjauh
dari sahabat yang telah mengkhianatiku.
“Demz”
seseorang mencengkeram pergelangan tanganku, aku mengenal suara itu, dan aku
tahu siapa orang yang biasa memanggilku dengan nama itu.
Perlahan
aku berbalik, menatap manik matanya yang indah. Aku benar-benar merindukan
tatapan itu, sungguh aku merindukannya.
“Tersenyumlah,
aku hanya bisa tersenyum kalau kau juga tersenyum, percayalah kau akan menemukan
seseorang yang lebih baik dariku” ia diam dan terus menatapku dengan khawatir. “Kau
gadis yang baik, cantik, dan begitu sempurna dimataku. Percayalah bahwa kau
akan mendapatkan semua yang kau inginkan”
“Terima
kasih untuk semuanya, tapi tak ada kata yang bisa menghiburku saat ini”
“Hey,
aku tidak berusaha menghiburmu, aku mengatakan yang sebenarnya, dan maaf karena
aku pernah membentakmu”
“Sudahlah,
kembalilah pada kekasihmu, kuharap ini adalah sandiwara kesedihan terakhir
dalam hidupku” Niall mengerutkan keningnya dan bertanya apa maksud dari
ucapanku itu, tapi aku hanya menjawabnya dengan senyuman, dan pergi, benar-benar
pergi. Tak ada lagi Niall yang menahanku dan memohon agar aku tetap disisinya.
* * *
Kurasakan
jantungku seakan-akan berhenti berdetak, ketika ingatan itu muncul, saat kau
dan aku membeku setelah pertengkaran itu. Pertengkaran yang membuat dadaku
terasa sesak.
“Kau jahat”
ucap seseorang dari ambang pintu kamarku. “Teganya kau
mengatakan sahabatmu hanya memanfaatkan popularitasmu, dan mengapa kau tega
mengkhianatiku?”
“Niall”
“Kau
bilang kau tidak bisa hadir di konserku karena ada yang harus kau lakukan, dan
ternyata yang kau lakukan hanyalah bertemu laki-laki lain” nada suaramu mulai
meninggi, dan kemarahan benar-benar menguasaimu.
“Itu
karena aku meminta bantuan pada Nick tentang album baruku”
“Aku
tak mau mendengar alasanmu lagi, aku sudah muak. Kurasa kita harus berhenti
sekarang” kau menunduk, dan aku hanya bisa berbalik dan terisak. Tapi ditengah
isakanku, aku yakin aku melihatnya, bayangannya nampak di cermin yang ada di
depanku.
Entah mengapa
aku tidak memberitahumu saat itu, mengapa aku tak memberitahumu kalau ia telah
menampakkan seringainya, ia tampak sangat puas.
Sungguh,
aku benar-benar bodoh, aku tidak memberitahumu dan malah semakin terisak.
Wajahku telah memerah berusaha menahan air mata yang semakin memaksa untuk
keluar.
Sekarang
aku merasa lebih kuat, aku tidak sakit ataupun kesepian. Bagiku kebahagiaan
hanyalah omng kosong. Tapi terkadang aku merasa aku tak bisa menahan sesuatu
yang lebih rumit dari ini.
Biarkanlah
aku pergi dari hidupmu, biarkanlah hanya diriku yang merasakan kesedihan ini.
Jangan tanya kapan kesedihan ini akan benar-benar berakhir, biarkan waktu yang akan
menjawabnya nanti.
--------------------------------------------------------------------------------
Inspired by Big
Bang’s song-Blue
Note
: Maaf
kalo banyak typo. Mohon kritik dan sarannya ya…
Via
: Flaming Pearls [ http://flamers24.blogspot.com/ ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar