BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Islam selalu
mengalami perkembangan. Dimana perkembangan tersebut mengundang berbagai persoalan,
dan Islam hadir dengan membawa tatanan baru dalam masyarakat, budaya, tatanan
politik dan tradisi keagamaan. Dalam perkembangannya ini diharapkan dapat
menjawab problematika kemasyarakatan yang terjadi saat ini.
Pluralisme dikaitkan
dengan istilah yang penuh janji, janji tentang kehidupan damai dan rukun antar
masyarakat yang berbeda, terutama agama, aliran kepercayaan ras, etnik, kelas
sosial dan kelas ekonomi. Nyatanya, setiap agama mengklaim dirinya yang paling
benar dan yang lain sesat, yang kemudian lahir "Doctrine of
Salvation" (Doktrin Keselamatan) yang menyatakan bahwa keselamatan atau
pencerahan ataupun surga merupakan hak pengikut agama tertentu, sedangkan yang
lain akan celaka. Hal inipun kemudian berlaku pada penganut antar sekte atau
aliran dalam agama yang sama.
Dunia kini menghadapi
globalisasi, dimana hal itu memiliki efek ganda, yaitu menciptakan kesadaran
akan kemajuan teknologi, serta menciptakan pertentangan yang dapat melahirkan
terorisme. Kaum teroris merupakan kelompok yang meyakini bahwa, "Kami
selalu baik, dan mereka selalu buruk dan harus dihabisi."
Selama hidup di dunia
manusia memiliki berbagai hak agar manusia mampu hidup dengan tenang dan mampu
bersosialisasi dengan baik. Hak-hak yang dimaksud ialah hak yang disebut
sebagai Hak Asasi Manusia, hak tersebut sudah termasuk hak hidup dan hak
beragama.
Islam yang ada
sekarang diharapkan mampu mengatasi masalah-masalah kontemporer yang terjadi
seperti pluralisme, terorisme, dan HAM, yang akan dibahas dalam makalah ini.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan Islam
kontemporer?
2.
Bagaimana
definisi mengenai pluralisme?
3.
Bagaimana
definisi mengenai terorisme?
4.
Bagaimana
definisi mengenai HAM
dan macamnya?
1.3
Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Islam kontemporer.
2. Untuk mengetahui tentang pluralisme.
3. Untuk
mengetahui tentang terorisme.
4. Untuk mengetahui definisi dan beberapa macam HAM.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Islam Kontemporer
Kontemporer memiliki
arti dari masa atau waktu ke waktu. Sejarah Islam kontemporer merupakan suatu
ilmu yang mempelajari kebudayaan Islam pada masa lampau dari waktu ke waktu yang
di mulai dari masa Rasulullah. Islam kontemporer adalah agama yang di ajarkan
oleh Nabi Muhammad SAW pada masa lampau dan berkembang hingga sekarang.
Islam kontemporer dapat
diartikan sebagai gagasan untuk mengkaji kemampuan Islam dalam memberikan
solusi kepada temuan-temuan disemua dimensi kehidupan dari masa lampau hingga
sekarang. Setiap pemeluk agama yang taat memilih sikap menjauhi fanatisme buta,
dan membangun ketaatannya berdasarkan pengetahuan yang benar terhadap
agama-agama yang di peluk. Selain itu, harus memiliki kesadaran yang utuh akan
aspek-aspek yang terkandung dalam setiap agama. Pengetahuan yang benar tentang
Islam akan menjelaskan bahwa agama ini menentang segala bentuk radikalisme
maupun terorisme. Kasih sayang merupakan salah satu bagian terpenting dalam
ajaran Islam.
Dalam studi islam kontemporer, Islam memiliki
perbedaan paham yang tidak sedikit. Studi Islam kontemporer tersebut
harus disesuaikan dengan apa yang telah ditetapkan oleh AL-Quran dan Hadits,
sehingga tidak adanya kekeliruan dalam pemahaman tentang Islam.
2.2
Pluralisme
Karena Islam yang benar adalah agama yang tidak menutup diri, mengajak pada
keterbukaan, menganut prinsip kebebasan penuh toleransi, maka kaum muslimin
berkewajiban mempertahankan tradisi pluralisme, toleransi, dan kebebasan dalam
beragama. Tradisi pluralisme ialah tradisi qur'ani, tradisi sunnah Nabi
Muhammad SAW sehingga wajib diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat. Begitu
juga dalam kehidupan kewarganegaraan. Pluralisme menjadi pra-kondisi bagi
proses kemunculan opini dan hasil ijtihad yang terbaik bagi masyarakat. Dilihat
dari perspektif pluralisme, kehadiran mazhab-mazhab dipandang sebagai salah
satu bentuk positif pluralisme. Mazhab-mazhab merupakan pluralisme dalam bidang
fikih, sosial, serta politik. Kelompok seperti khawarij, syi'ah, sunni, dan sebagainya
merupakan salah satu bentuk pluralisme yang dikenal dalam Islam. Islam tidak
hanya menerima pluralisme tapi juga menganggap pluralisme sebagai pusat
kepercayaan Islam. Hubungan Islam dan pluralisme terletak pada semangat
humanitas serta universalitas Islam. Humanitas merupakan Islam sebagai agama
kemanusiaan yang peduli pada urusan kemasyarakatan, sementara universalitas
Islam merupakan agama Islam sebagai rahmatan lil alamin dengan sikap kepasrahan,
kepatuhan, dan perdamaian.
Fenomena pluralisme merupakan sebuah realitas sosial yang tidak dapat
diingkari, karena pluralisme juga merupakan hukum Allah yang harus dihadapi
masyarakat modern. Pluralisme berasal dari bahasa Inggris, yaitu pluralism
yang berarti jamak.[1]
Secara filosofis, pluralisme memiliki arti sistem pemikiran yang mengakui
adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Pluralisme agama
dikatakan sebagai kondisi hidup bersama antar agama yang berbeda-beda dalam
satu komunitas, tapi tetap memperhatikan ciri spesifik atau ajaran
masing-masing agama. Majelis Ulama Indonesia mendefinisikan pluralisme agama
sebagai suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan
kebenaran setiap agama adalah relatif. Jadi, setiap pemeluk agama tidak boleh
mengklaim hanya agamanya saja yang benar sementara agama lain salah. Kehidupan
yang plural diartikan bahwa hidup tidak selalu bercorak tunggal. Maka Allah
menegaskan bentuk pluralisme dalam Q.S. As-Syura ayat 8,
وَلَوْ شَاء اللَّهُ لَجَعَلَهُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً
وَلَكِن يُدْخِلُ مَن يَشَاءُ فِي رَحْمَتِهِ وَالظَّالِمُونَ مَا لَهُم مِّن
وَلِيٍّ وَلَا نَصِي
Yang artinya, "Dan
kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat (saja), tapi
Dia memasukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zalim
tidak ada bagi mereka seorang pelindungpun dan tidak pula seorang penolong."
Serta dalam Q.S. Al-Maidah
ayat 48,
...
وَلَوْ شَاءَ
اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا
آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَات...
Yang artinya, "...Sekiranya
Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah
berbuat kebajikan..."
Allah sengaja menjadikan kita bermacam-macam golongan untuk menguji berkenaan
dengan apa yang dianugerahkan dan mempersilakan hamba-Nya berlomba-lomba dalam
berbuat kebaikan. John Hick menegaskan bahwa sejatinya semua agama adalah
merupakan manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian,
semua agama sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain.[2]
Pemikiran pluralisme muncul pada masa yang disebut sebagai Pencerahan
(enlightenment) Eropa, pada abad ke-18 M, yang biasa disebut sebagai titik
permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Masa ini diwarnai wacana baru
pemikiran manusia yang berorientasi pada akal dan pembebasan akal dari
kungkungan agama. Gagasan pluralisme agama merupakan upaya peletakan landasan
teoritis dalam teologi Kristen untuk berinteraksi secara toleran dengan agama
lain.
Dalam pemikiran Islam, pluralisme agama masih merupakan hal baru dan tidak
memiliki akar ideologis. Gagasan pluralisme agama yang muncul dalam wacana
pemikiran Islam baru muncul pada masa-masa pasca Perang Dunia kedua, ketika
muncul kesempatan bagi pemuda-pemuda muslim untuk mengenyam pendidikan di
universitas-universitas barat.
Gagasan pluralisme agama menembus dan menyusup ke wacana pemikiran Islam
melalui karya-karya pemikir barat muslim seperti Rene Guenon (Abdul Wahid
Yahya) dan Frithjof Schuon (Isa Nuruddin Ahmad), karya-karya mereka menjadi
inspirasi dasar bagi tumbuh kembangnya wacana pluralisme agama di kalangan
Islam. Seyyed Hossein Nasr merupakan tokoh muslim Syi'ah yang dianggap paling
bertanggung jawab dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama di kalangan
Islam tradisional. Nasr mengemukakan bahwa memeluk atau meyakini satu agama dan
melaksanakan ajarannya secara keseluruhan dan sungguh-sungguh berarti juga
memeluk seluruh agama, karena semua berporos pada proses yang sama, yaitu
kebenaran hakiki.[3]
Teori mengenai pluralisme agama muncul karena beberapa faktor, namun secara
umum dapat diklasifikasikan dalam faktor internal dan faktor eksternal.
1. Faktor Internal (Ideologis)
Berupa keyakinan seseorang yang serba mutlak bahwa apa yang diyakininya dan
diimani itu paling benar. Keyakinan tersebut dalam hal aqidah, madzhab, dan
ideologi (dari wahyu Allah ataupun sumber lain).
A. Kontradiksi Seputar Masalah Teologis
Teologi (aqidah) merupakan unsur yang tidak dapat ditinggalkan. Tidak ada
agama tanpa teologi, bahkan aliran-aliran atau ideologi yang telah berkembang
menjadi berfungsi seperti agama dalam memberi makna dan nilai dalam setiap
perilaku para pengikutnya.
-
Aqidah Ketuhanan, dalam
wacana pemikiran manusia, hal ini telah mengundang kontroversi pemahaman yang
beragam dan banyak. Kontroversi tersebut muncul karena beberapa permasalahan.
Pertama ialah perbedaan pemahaman zat gaib atau kekuatan yang bersifat
metafisika yang sering dikenal sebagai Tuhan. Bagi agama yang mengakui adanya
Tuhan, mereka mengatakan itulah eksistensi Tuhan. Sedangkan pengikut agama yang
tidak mengakui adanya Tuhan, ada yang mengatakan Tuhan itu murni tidak ada, ada
juga yang hanya diam atau bimbang. Perbedaan esensi dan bilangan Tuhan timbul
dari keyakinan mereka seperti yang tertulis dalam kitab-kitab suci mereka. Islam
hadir dengan aqidah yang murni dan hal tersebut terwujud dalam " لاَ اِلٰهَ اِلاَّ الله" (Tiada Tuhan selain Allah), yang merupakan pemurnian dan
pelurusan terhadap bentuk penyelewengan yang terjadi pada umat terdahulu.
Kalimat tersebut juga sebagai pernyataan keberadaan Allah yang satu.
-
Aqidah Keterpilihan (The
Divine Chosennes), keyakinan sebagai bangsa terpilih oleh Tuhan merupakan
aqidah yang hampir didapati dalam semua ajaran. Namun perlu disadari bahwa
keterpilihan umat Islam tidak mutlak tanpa syarat. Umat Islam senantiasa
tergolong sebagai umat terpilih selama tetap beriman kepada Allah SWT. Begitu
juga terpilihnya Bani Israil (Yahudi maupun Nasrani) atas umat lainnya. Selama
mereka masih berpegang teguh pada apa yang telah ditetapkan dalam Taurat, yaitu
iman pada Allah dan taat pada-Nya serta mengikuti segala perintah-Nya, termasuk
iman pada seorang Nabi akhir zaman, dan menjauhi larangan-Nya. Bagaimana pun
juga, mereka tidak berhak atas keistimewaan tersebut. Apalagi menurut ajaran
Islam keistimewaan kaum terdahulu bersifat temporal, yaitu dibatasi waktu.
B. Konflik-Konflik Sejarah
Masalah kesejarahan yang dimaksud bukan sembarang kejadian sejarah, karena
setiap agama memiliki latar belakang sejarah agama yang berbeda, peristiwa
sejarah yang erat kaitannya dengan salah satu rukun iman menurut sebagian agama
tersebut. Konflik sejarah yang mengandung polemik antara lain pertentangan
antara Kristen dan Islam atas pengangkatan atau kenaikan Isa Al-Masih a.s ke
langit. Islam meyakini Isa Al-Masih a.s diangkat langsung ke langit menjelang
penyaliban, tapi Kristen meyakini Isa Al-Masih a.s dikubur dahulu selama tiga
hari kemudian dibangkitkan dan duduk bersama para sahabatnya, berbincang dan
memberi pemberkatan pada mereka kemudian naik ke langit.
Jenis-jenis konflik aqidah yang berkenaan dengan masalah seputar
kesejarahan merupakan konflik yang upaya untuk menyelesaikannya tidak ada
artinya, baik upaya secara religius ataupun ilmiah. Sebab masalah tersebut
tergantung pada keyakinan dan keimanan mereka.
2. Faktor Eksternal
a. Faktor Sosio-politis.
Diantara faktor yang mendorong munculnya teori pluralisme agama adalah
berkembangnya wacana sosio-politis, demokrasi, dan nasionalisme yang mengarah
pada globalisasi yang merupakan hasil sebuah proses sosial dan politis yang
berlangsung kurang lebih tiga abad. Akan tetapi situasi politik global saat ini
menjelaskan betapa dominannya kepentingan politik ekonomi barat terhadap dunia.
Maka pluralisme agama hanya merupakan instrumen kekuatan politik global untuk
menghalangi munculnya kekuatan lain. Alih-alih menjadi wasit netral diantara
kelompok agama tersebut, demokrasi malah berperan menjadi salah satu kelompok
tersebut.
b. Faktor Keilmuan: Gerakan
Kajian Ilmiah Modern Terhadap Agama.
Faktor keilmuan yang berkaitan langsung dengan pluralisme agama ialah studi
perbandingan agama. Beberapa tokoh agama dan para teolog mulai mengambil
kesimpulan yang dicapai para sarjana perbandingan agama, sehingga akhirnya
menjadi sulit membedakan kelompok perbandingan agama dan kelompok filsafat
agama dan Teologi.
2.3
Terorisme
Seiring dengan meningkatnya aktivitas gerakan atau kelompok-kelompok
pejuang Islam, dimana kekerasan dominan sebagai reaksi atas tindakan kekerasan
yang mereka terima, terorisme pun lekat dengan Islam. Terorisme merupakan
fenomena sosial politik yang terjadi di berbagai belahan dunia serta melibatkan
berbagai latar belakang etnik, suku, agama, dan kelas sosial. Namun fenomena
tersebut semakin muncul ke permukaan ketika World Trade Center (WTC) di New
York runtuh oleh ulah teroris. Terorisme dianggap sebagai bentuk perjuangan
yang berbahaya. Argumen-argumen mengenai terorisme semakin meluas dan
mengatasnamakan Islam. Bahkan negara-negara Barat dianggap bermusuhan dengan
Islam dan lebih pro-Yahudi. Agama dan terorisme memang tidak memiliki
keterkaitan, tapi banyak aksi-aksi terorisme yang terjadi dengan mengatasnamakan
agama. Terorisme bermotif agama mendominasi wacana tentang terorisme. Kesan
yang muncul, Islam telah mendorong umatnya berlaku sadis atau melakukan aksi
teror.
Ted Robert Gurr, merupakan pakar konflik dan terorisme modern yang
menyebutkan bahwa penyebab umum munculnya terorisme ialah, rasa tertindas dan
rasa diperlakukan secara tidak adil yang berlangsung lama, rasa tertekan
dibawah sistem yang korup, kolonialisme, fanatisme ideologi, ras maupun etnik.
Istilah terorisme pertama muncul dalam kamus berbahasa Inggris tahun 1974 yang
merujuk pada kekerasan berbagai bentuk untuk menimbulkan dan menyebar rasa
takut. Kerja sama global diperlukan dalam memerangi terorisme modern.
Mark Juergensmeyer mengemukakan tiga jenis gerakan keagamaan yang bisa
mengarah pada aksi terorisme, pertama ialah nasionalisme etnik keagamaan
(ethnic religious nationalism), yang merupakan gerakan keagamaan yang berpadu
dengan etnik untuk mewujudkan suatu negara atau kelompok yang terikat oleh ras,
sejarah dan agama, dan sama-sama merasakan penindasan atau pembatasan oleh
kelompok atau sistem yang lebih besar. Contoh, perseteruan antara kaum Chechnya
dan Tajikistan. Kedua ialah nasionalisme ideologis keagamaan (ideological
religious nationalism), kelompok yang menjadikan agama sebagai ideologi yang
berlawanan dengan ideologi disekitarnya. Contoh, gerakan revolusioner Iran.
Ketiga ialah nasionalisme etnik-ideologis keagamaan (ethno-ideological
religious nationalism), yang merupakan kelompok yang menggabungkan aspek etnik
dan ideologi yang mengandung unsur keagamaan dalam gerakannya. Contoh Hammas di
Palestina, kelompok ini menjadikan Islam sebagai ideologi untuk diaplikasikan
dalam kelompok etnik tertentu. Hal tersebut terlihat dari semangat Hammas
mengatakan bahwa Palestina yang sesungguhnya adalah negara Islam.
2.4
Hak Asasi Manusia (HAM)
Ada tiga prinsip kehidupan bernegara yakni, demokrasi, negara hukum, dan
perlindungan hak asasi manusia. Sebelum seorang individu dilahirkan dan setelah
meninggal dunia, mereka mempunyai hak-hak yang diformulasikan dan dilindungi
oleh hukum.
1. Hak Hidup
Hidup adalah karunia yang diberikan oleh Allah yang Maha Tinggi dan Suci
kepada setiap manusia. Seseorang tidak berkuasa sama sekali untuk
melenyapkannya tanpa kehendak Allah, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Quran
surat al-Hijr ayat 23,
وَإِنَّا لَنَحْنُ نُحْيِي وَنُمِيتُ وَنَحْنُ
الْوَارِثُونَ
yang artinya: “Sesungguhnya
Kamilah yang menghidupkan serta mematikan kami pula yang mewarisi (segala
sesuatu).”
Hak untuk melenyapkan hidup seseorang itu oleh Allah hanya diberikan kepada
negara (pemerintah) saja, sesuai dengan hukum tindak pidana. Kepentingannya
ialah semata-mata untuk kemaslahatan masyarakat dan melindungi hidup setiap
jiwa yang ada. Allah berfirman dalam Al-Quran surat al-Maidah ayat 32,
مَنْ
قَتَلَ نَفْساً بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّما قَتَلَ
النَّاسَ جَميعاً وَ مَنْ أَحْياها فَكَأَنَّما أَحْيَا النَّاسَ جَميعاً
yang artinya: “Barang siapa membunuh suatu
jiwa bukan karena balasan bunuh atau karena maksud mengadakan kekacauan diatas
bumi, maka ia seolah-olah membunuh seluruh manusia. Dan barang siapa yang
menghidupkan jiwa tadi, maka ia seolah-olah menghidupi seluruh manusia.”
Apabila pelanggaran atas kehidupan seseorang itu dilakukan oleh para hakim
yang sewenang-wenang, sehingga mereka membenarkan (penjahat-penjahat) membunuh
manusia-manusia yang tidak berdosa, juga membuat ketakutan didalam hati banyak
rakyat, maka perbuatan yang sedemikian itu didalam pandangan Al-Quran merupakan
suatu penganiayaan yang besar.
2. Hak Kemerdekaan
Kata “kemerdekaan” menurut istilah ahli bahasa ialah lepas dari
perbudakan. Maka kalau seseorang mengatakan: “Dia merdeka” maksudnya ialah dia
bukannya diperbudak atau bukan hamba sahaya yang dikekang kemerdekaannya, dapat
juga diartikan sebagai lepas dari segala macam belenggu. Untuk perincian arti
kemerdekaan dapat dibagi dalam beberapa bagian, sebagaimana dibawah ini:
a. Kemerdekaan kemanusiaan
Maksud dari kata diatas ialah seseorang manusia itu tidak diperbudak dan
dikekang kebebasannya oleh orang lain, baik kebebasan mengenai diri pribadinya sendiri,
yang berhubungan dengan negeri dan tanah airnya, sebagaimana dibawah ini:
1. Manusia itu sejak
dilahirkan oleh ibunya adalah merdeka, bukan menjadi milik siapapun juga.
2. Manusia tidak boleh diperhamba oleh seorang manusiapun, tetapi ia
hanyalah menjadi hamba dari Allah yang Maha Esa sendiri, Tuhan Maha Pencipta
kehidupan dengan segala apa dan siapa yang ada didunia ini.
3. Seseorang manusia yang merdeka bukanlah menjadi milik dari kaumnya,
bangsanya, masyarakatnya ataupun negaranya sekalipun, sebab ia adalah sama
kedudukannya sebagai manusia yang merdeka diantara kaumnya, bangsanya atau
dikalangan masyarakatnya.
4. Sesuatu umat atau bangsa adalah merdeka didalam tanah airnya yang
disitu hidupnya. Bangsa itu tidak boleh diperhamba oleh bangsa lain.
b. Kemerdekaan beragama
Islam menentukan adanya kemerdekaan beragama ini menurut dasar yang dapat
menjamin tegaknya kebebasan menganut agama dan wujud kemerdekaan itu nyata
dalam praktek dan bukan hanya sebagai pengakuan yang digembar-gemborkan saja.
Kemerdekaan beragama ini meliputi:
1. Dibebaskannya akal fikiran manusia dari segala sesuatu yang
berbentuk khurafat, katakhayulan agar supaya setiap seseorang itu dengan
mudahnya dapat memilih keyakinan atau aqidah yang dianggapnya cocok.
2. Dibebaskannya setiap manusia dari cengkeraman bertaqlid(menuruti
tradisi) secara membuta dan tanpa menggunakan akal fikiran sama sekali.
3. Setiap manusia dituntut dan diperintah menggunakan akal fikirannya.
4. Kemerdekaan beragama bagi seseorang itu haruslah tidak dengan cara
paksaan atau ancaman.
5. Selain kaum muslimin yang beragama Yahudi dan Nasrani wajib diberi
kebebasan dalam menganut agamanya.
c. Kemerdekaan dibidang ilmu pengetahuan
Islam memberi kesempatan seluas-luasnya kepada ummat manusia untuk
menyelidiki segala macam pengetahuan yang ada didalam alam semesta ini, dari
bawah bumi sampai atas langit. Semua ilmu-ilmu yang beraneka macam itu harus
diselidiki oleh akal, harus difikirkan dan dipecahkan. Dengan menempuh suasana
kemerdekaan dalam penyelidikan ilmu pengetahuan semacam inilah, maka akal
fikiran manusia itu dapat maju pesat dilapangan kebudayaan, falsafah dan
pengetahuan-pengetahuan yang lainnya. Semuanya itu berdasarkan firman Allah
Ta’ala dalam Al-Quran surat az-Zumar ayat 17-18, yang artinya: “Berilah
kebahagiaan kepada hamba-hamba-Ku yang suka mendengarkan suatu ucapan, lalu mengikuti
mana yang terbaik, mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah
dan mereka itu pulalah orang-orang yang berakal”. Dari ayat tersebut kita
memperoleh suatu gambaran yang baru dalam perkembangan fikiran sejarahnya.
Terutama dalam hal keagamaan, yakni bahwa orang-orang yang suka
mempertimbangkan segala macam pendapat, kemudian mengikuti mana yang dianggap
terbaik, maka mereka itulah yang sebenarnya berhak dinamakan sebagai
orang-orang yang berakal. Yang berakal itulah yang pasti akan mendapatkan
petunjuk Allah, serta berhak untuk menerima pujian dan ganjaran Allah.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Islam kontemporer merupakan
gagasan untuk melakukan kajian mengenai kemampuan Islam dalam memberikan solusi
kepada temuan-temuan disemua dimensi kehidupan dari masa lampau hingga
sekarang. Sedangkan Pluralisme merupakan
tantangan, akan tetapi bila tantangan tersebut tidak diperhatikan dengan
sungguh-sungguh maka agama-agama akan kehilangan persepsi yang benar tentang
dunia dan masyarakat tempat di mana mereka hidup. Pluralisme telah menjadi ciri
dari dunia dan masyarakat sekarang. Sementara di dalam Terorisme terdapat
beberapa faktor yang dijadikan alasan mengapa tindakan tersebut bisa terjadi,
seperti persamaan dalam perolehan perlakuan yang tidak sesuai HAM. Dan yang
terakhir ialah HAM, yaitu, hak-hak yang dimiliki oleh individu sebelum
dilahirkan dan setelah meninggal dunia serta dilindungi oleh hukum.
3.2
Saran
Dengan tersusunnya makalah
dengan pembahasan Dinamika Islam Kontemporer ini diharapkan para pembaca dapat
memahami apa yang dimaksud Islam kontemporer itu sendiri serta isu-isu yang ada
di dalamnya seperti pluralisme, terorisme, dan HAM, dimana masing- masing
memiliki pemahaman yang berbeda. Meskipun banyak kekurangan dalam pembahasan
maupun referensi yang kami dapatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Asfar, Muhammad. 2003. Islam Lunak Islam
Radikal. Surabaya: JP Press.
Assiba'i, Mustafa Husni. 1993. Kehidupan Sosial Menurut Islam.
Bandung: C.V Diponegoro.
Khoiriyah. 2013. Memahami Metodologi Studi
Islam. Yogyakarta: Teras.
Rahmat, M. Imdadun. 2003. Islam Pribumi: Mendialogkan Agama Membaca
Realitas. Jakarta: Erlangga.
Romli, Asep Syamsul M. 2000. Demonologi islam.
Jakarta: Gema Insani Press.
Thoha, Anis Malik. 2005. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis.
Jakarta: Perspektif.
Zubaedi. 2012. Islam & Benturan
Antarperadaban. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar