GG

GG
Follow my Twitter : @lovbie_df

Selasa, 15 September 2015

Dinamika Islam Kontemporer


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Islam selalu mengalami perkembangan. Dimana perkembangan tersebut mengundang berbagai persoalan, dan Islam hadir dengan membawa tatanan baru dalam masyarakat, budaya, tatanan politik dan tradisi keagamaan. Dalam perkembangannya ini diharapkan dapat menjawab problematika kemasyarakatan yang terjadi saat ini.
Pluralisme dikaitkan dengan istilah yang penuh janji, janji tentang kehidupan damai dan rukun antar masyarakat yang berbeda, terutama agama, aliran kepercayaan ras, etnik, kelas sosial dan kelas ekonomi. Nyatanya, setiap agama mengklaim dirinya yang paling benar dan yang lain sesat, yang kemudian lahir "Doctrine of Salvation" (Doktrin Keselamatan) yang menyatakan bahwa keselamatan atau pencerahan ataupun surga merupakan hak pengikut agama tertentu, sedangkan yang lain akan celaka. Hal inipun kemudian berlaku pada penganut antar sekte atau aliran dalam agama yang sama.
Dunia kini menghadapi globalisasi, dimana hal itu memiliki efek ganda, yaitu menciptakan kesadaran akan kemajuan teknologi, serta menciptakan pertentangan yang dapat melahirkan terorisme. Kaum teroris merupakan kelompok yang meyakini bahwa, "Kami selalu baik, dan mereka selalu buruk dan harus dihabisi."
Selama hidup di dunia manusia memiliki berbagai hak agar manusia mampu hidup dengan tenang dan mampu bersosialisasi dengan baik. Hak-hak yang dimaksud ialah hak yang disebut sebagai Hak Asasi Manusia, hak tersebut sudah termasuk hak hidup dan hak beragama.
Islam yang ada sekarang diharapkan mampu mengatasi masalah-masalah kontemporer  yang terjadi seperti pluralisme, terorisme, dan HAM, yang akan dibahas dalam makalah ini.
1.2    Rumusan Masalah
1.         Apa yang dimaksud dengan Islam kontemporer?
2.         Bagaimana definisi mengenai pluralisme?
3.         Bagaimana definisi mengenai terorisme?
4.         Bagaimana definisi mengenai HAM dan macamnya?

1.3    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Islam kontemporer.
2.      Untuk mengetahui tentang pluralisme.
3.      Untuk mengetahui tentang terorisme.
4.      Untuk mengetahui definisi dan beberapa macam HAM.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pengertian Islam Kontemporer
Kontemporer memiliki arti dari masa atau waktu ke waktu. Sejarah Islam kontemporer merupakan suatu ilmu yang mempelajari kebudayaan Islam pada masa lampau dari waktu ke waktu yang di mulai dari masa Rasulullah. Islam kontemporer adalah agama yang di ajarkan oleh Nabi Muhammad SAW pada masa lampau dan berkembang hingga sekarang.
Islam kontemporer dapat diartikan sebagai gagasan untuk mengkaji kemampuan Islam dalam memberikan solusi kepada temuan-temuan disemua dimensi kehidupan dari masa lampau hingga sekarang. Setiap pemeluk agama yang taat memilih sikap menjauhi fanatisme buta, dan membangun ketaatannya berdasarkan pengetahuan yang benar terhadap agama-agama yang di peluk. Selain itu, harus memiliki kesadaran yang utuh akan aspek-aspek yang terkandung dalam setiap agama. Pengetahuan yang benar tentang Islam akan menjelaskan bahwa agama ini menentang segala bentuk radikalisme maupun terorisme. Kasih sayang merupakan salah satu bagian terpenting dalam ajaran Islam.
Dalam studi islam kontemporer, Islam memiliki perbedaan paham yang tidak sedikit. Studi Islam kontemporer tersebut harus disesuaikan dengan apa yang telah ditetapkan oleh AL-Quran dan Hadits, sehingga tidak adanya kekeliruan dalam pemahaman tentang Islam.
2.2    Pluralisme
Karena Islam yang benar adalah agama yang tidak menutup diri, mengajak pada keterbukaan, menganut prinsip kebebasan penuh toleransi, maka kaum muslimin berkewajiban mempertahankan tradisi pluralisme, toleransi, dan kebebasan dalam beragama. Tradisi pluralisme ialah tradisi qur'ani, tradisi sunnah Nabi Muhammad SAW sehingga wajib diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat. Begitu juga dalam kehidupan kewarganegaraan. Pluralisme menjadi pra-kondisi bagi proses kemunculan opini dan hasil ijtihad yang terbaik bagi masyarakat. Dilihat dari perspektif pluralisme, kehadiran mazhab-mazhab dipandang sebagai salah satu bentuk positif pluralisme. Mazhab-mazhab merupakan pluralisme dalam bidang fikih, sosial, serta politik. Kelompok seperti khawarij, syi'ah, sunni, dan sebagainya merupakan salah satu bentuk pluralisme yang dikenal dalam Islam. Islam tidak hanya menerima pluralisme tapi juga menganggap pluralisme sebagai pusat kepercayaan Islam. Hubungan Islam dan pluralisme terletak pada semangat humanitas serta universalitas Islam. Humanitas merupakan Islam sebagai agama kemanusiaan yang peduli pada urusan kemasyarakatan, sementara universalitas Islam merupakan agama Islam sebagai rahmatan lil alamin dengan sikap kepasrahan, kepatuhan, dan perdamaian.
Fenomena pluralisme merupakan sebuah realitas sosial yang tidak dapat diingkari, karena pluralisme juga merupakan hukum Allah yang harus dihadapi masyarakat modern. Pluralisme berasal dari bahasa Inggris, yaitu pluralism yang berarti jamak.[1] Secara filosofis, pluralisme memiliki arti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Pluralisme agama dikatakan sebagai kondisi hidup bersama antar agama yang berbeda-beda dalam satu komunitas, tapi tetap memperhatikan ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama. Majelis Ulama Indonesia mendefinisikan pluralisme agama sebagai suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan kebenaran setiap agama adalah relatif. Jadi, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim hanya agamanya saja yang benar sementara agama lain salah. Kehidupan yang plural diartikan bahwa hidup tidak selalu bercorak tunggal. Maka Allah menegaskan bentuk pluralisme dalam Q.S. As-Syura ayat 8,
وَلَوْ شَاء اللَّهُ لَجَعَلَهُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِن يُدْخِلُ مَن يَشَاءُ فِي رَحْمَتِهِ وَالظَّالِمُونَ مَا لَهُم مِّن وَلِيٍّ وَلَا نَصِي
Yang artinya, "Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat (saja), tapi Dia memasukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zalim tidak ada bagi mereka seorang pelindungpun dan tidak pula seorang penolong."
Serta dalam Q.S. Al-Maidah ayat 48,
... وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَات...
Yang artinya, "...Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan..."
Allah sengaja menjadikan kita bermacam-macam golongan untuk menguji berkenaan dengan apa yang dianugerahkan dan mempersilakan hamba-Nya berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan. John Hick menegaskan bahwa sejatinya semua agama adalah merupakan manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian, semua agama sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain.[2]
Pemikiran pluralisme muncul pada masa yang disebut sebagai Pencerahan (enlightenment) Eropa, pada abad ke-18 M, yang biasa disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Masa ini diwarnai wacana baru pemikiran manusia yang berorientasi pada akal dan pembebasan akal dari kungkungan agama. Gagasan pluralisme agama merupakan upaya peletakan landasan teoritis dalam teologi Kristen untuk berinteraksi secara toleran dengan agama lain.
Dalam pemikiran Islam, pluralisme agama masih merupakan hal baru dan tidak memiliki akar ideologis. Gagasan pluralisme agama yang muncul dalam wacana pemikiran Islam baru muncul pada masa-masa pasca Perang Dunia kedua, ketika muncul kesempatan bagi pemuda-pemuda muslim untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas barat.
Gagasan pluralisme agama menembus dan menyusup ke wacana pemikiran Islam melalui karya-karya pemikir barat muslim seperti Rene Guenon (Abdul Wahid Yahya) dan Frithjof Schuon (Isa Nuruddin Ahmad), karya-karya mereka menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh kembangnya wacana pluralisme agama di kalangan Islam. Seyyed Hossein Nasr merupakan tokoh muslim Syi'ah yang dianggap paling bertanggung jawab dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama di kalangan Islam tradisional. Nasr mengemukakan bahwa memeluk atau meyakini satu agama dan melaksanakan ajarannya secara keseluruhan dan sungguh-sungguh berarti juga memeluk seluruh agama, karena semua berporos pada proses yang sama, yaitu kebenaran hakiki.[3]
Teori mengenai pluralisme agama muncul karena beberapa faktor, namun secara umum dapat diklasifikasikan dalam faktor internal dan faktor eksternal.
1.      Faktor Internal (Ideologis)
Berupa keyakinan seseorang yang serba mutlak bahwa apa yang diyakininya dan diimani itu paling benar. Keyakinan tersebut dalam hal aqidah, madzhab, dan ideologi (dari wahyu Allah ataupun sumber lain).
A.     Kontradiksi Seputar Masalah Teologis
Teologi (aqidah) merupakan unsur yang tidak dapat ditinggalkan. Tidak ada agama tanpa teologi, bahkan aliran-aliran atau ideologi yang telah berkembang menjadi berfungsi seperti agama dalam memberi makna dan nilai dalam setiap perilaku para pengikutnya.
-         Aqidah Ketuhanan, dalam wacana pemikiran manusia, hal ini telah mengundang kontroversi pemahaman yang beragam dan banyak. Kontroversi tersebut muncul karena beberapa permasalahan. Pertama ialah perbedaan pemahaman zat gaib atau kekuatan yang bersifat metafisika yang sering dikenal sebagai Tuhan. Bagi agama yang mengakui adanya Tuhan, mereka mengatakan itulah eksistensi Tuhan. Sedangkan pengikut agama yang tidak mengakui adanya Tuhan, ada yang mengatakan Tuhan itu murni tidak ada, ada juga yang hanya diam atau bimbang. Perbedaan esensi dan bilangan Tuhan timbul dari keyakinan mereka seperti yang tertulis dalam kitab-kitab suci mereka. Islam hadir dengan aqidah yang murni dan hal tersebut terwujud dalam " لاَ اِلٰهَ اِلاَّ الله" (Tiada Tuhan selain Allah), yang merupakan pemurnian dan pelurusan terhadap bentuk penyelewengan yang terjadi pada umat terdahulu. Kalimat tersebut juga sebagai pernyataan keberadaan Allah yang satu.
-         Aqidah Keterpilihan (The Divine Chosennes), keyakinan sebagai bangsa terpilih oleh Tuhan merupakan aqidah yang hampir didapati dalam semua ajaran. Namun perlu disadari bahwa keterpilihan umat Islam tidak mutlak tanpa syarat. Umat Islam senantiasa tergolong sebagai umat terpilih selama tetap beriman kepada Allah SWT. Begitu juga terpilihnya Bani Israil (Yahudi maupun Nasrani) atas umat lainnya. Selama mereka masih berpegang teguh pada apa yang telah ditetapkan dalam Taurat, yaitu iman pada Allah dan taat pada-Nya serta mengikuti segala perintah-Nya, termasuk iman pada seorang Nabi akhir zaman, dan menjauhi larangan-Nya. Bagaimana pun juga, mereka tidak berhak atas keistimewaan tersebut. Apalagi menurut ajaran Islam keistimewaan kaum terdahulu bersifat temporal, yaitu dibatasi waktu.

B.     Konflik-Konflik Sejarah
Masalah kesejarahan yang dimaksud bukan sembarang kejadian sejarah, karena setiap agama memiliki latar belakang sejarah agama yang berbeda, peristiwa sejarah yang erat kaitannya dengan salah satu rukun iman menurut sebagian agama tersebut. Konflik sejarah yang mengandung polemik antara lain pertentangan antara Kristen dan Islam atas pengangkatan atau kenaikan Isa Al-Masih a.s ke langit. Islam meyakini Isa Al-Masih a.s diangkat langsung ke langit menjelang penyaliban, tapi Kristen meyakini Isa Al-Masih a.s dikubur dahulu selama tiga hari kemudian dibangkitkan dan duduk bersama para sahabatnya, berbincang dan memberi pemberkatan pada mereka kemudian naik ke langit.
Jenis-jenis konflik aqidah yang berkenaan dengan masalah seputar kesejarahan merupakan konflik yang upaya untuk menyelesaikannya tidak ada artinya, baik upaya secara religius ataupun ilmiah. Sebab masalah tersebut tergantung pada keyakinan dan keimanan mereka.
2. Faktor Eksternal
a. Faktor Sosio-politis.
Diantara faktor yang mendorong munculnya teori pluralisme agama adalah berkembangnya wacana sosio-politis, demokrasi, dan nasionalisme yang mengarah pada globalisasi yang merupakan hasil sebuah proses sosial dan politis yang berlangsung kurang lebih tiga abad. Akan tetapi situasi politik global saat ini menjelaskan betapa dominannya kepentingan politik ekonomi barat terhadap dunia. Maka pluralisme agama hanya merupakan instrumen kekuatan politik global untuk menghalangi munculnya kekuatan lain. Alih-alih menjadi wasit netral diantara kelompok agama tersebut, demokrasi malah berperan menjadi salah satu kelompok tersebut.
b. Faktor Keilmuan: Gerakan Kajian Ilmiah Modern Terhadap Agama.
Faktor keilmuan yang berkaitan langsung dengan pluralisme agama ialah studi perbandingan agama. Beberapa tokoh agama dan para teolog mulai mengambil kesimpulan yang dicapai para sarjana perbandingan agama, sehingga akhirnya menjadi sulit membedakan kelompok perbandingan agama dan kelompok filsafat agama dan Teologi.
2.3    Terorisme
Seiring dengan meningkatnya aktivitas gerakan atau kelompok-kelompok pejuang Islam, dimana kekerasan dominan sebagai reaksi atas tindakan kekerasan yang mereka terima, terorisme pun lekat dengan Islam. Terorisme merupakan fenomena sosial politik yang terjadi di berbagai belahan dunia serta melibatkan berbagai latar belakang etnik, suku, agama, dan kelas sosial. Namun fenomena tersebut semakin muncul ke permukaan ketika World Trade Center (WTC) di New York runtuh oleh ulah teroris. Terorisme dianggap sebagai bentuk perjuangan yang berbahaya. Argumen-argumen mengenai terorisme semakin meluas dan mengatasnamakan Islam. Bahkan negara-negara Barat dianggap bermusuhan dengan Islam dan lebih pro-Yahudi. Agama dan terorisme memang tidak memiliki keterkaitan, tapi banyak aksi-aksi terorisme yang terjadi dengan mengatasnamakan agama. Terorisme bermotif agama mendominasi wacana tentang terorisme. Kesan yang muncul, Islam telah mendorong umatnya berlaku sadis atau melakukan aksi teror.
Ted Robert Gurr, merupakan pakar konflik dan terorisme modern yang menyebutkan bahwa penyebab umum munculnya terorisme ialah, rasa tertindas dan rasa diperlakukan secara tidak adil yang berlangsung lama, rasa tertekan dibawah sistem yang korup, kolonialisme, fanatisme ideologi, ras maupun etnik. Istilah terorisme pertama muncul dalam kamus berbahasa Inggris tahun 1974 yang merujuk pada kekerasan berbagai bentuk untuk menimbulkan dan menyebar rasa takut. Kerja sama global diperlukan dalam memerangi terorisme modern.
Mark Juergensmeyer mengemukakan tiga jenis gerakan keagamaan yang bisa mengarah pada aksi terorisme, pertama ialah nasionalisme etnik keagamaan (ethnic religious nationalism), yang merupakan gerakan keagamaan yang berpadu dengan etnik untuk mewujudkan suatu negara atau kelompok yang terikat oleh ras, sejarah dan agama, dan sama-sama merasakan penindasan atau pembatasan oleh kelompok atau sistem yang lebih besar. Contoh, perseteruan antara kaum Chechnya dan Tajikistan. Kedua ialah nasionalisme ideologis keagamaan (ideological religious nationalism), kelompok yang menjadikan agama sebagai ideologi yang berlawanan dengan ideologi disekitarnya. Contoh, gerakan revolusioner Iran. Ketiga ialah nasionalisme etnik-ideologis keagamaan (ethno-ideological religious nationalism), yang merupakan kelompok yang menggabungkan aspek etnik dan ideologi yang mengandung unsur keagamaan dalam gerakannya. Contoh Hammas di Palestina, kelompok ini menjadikan Islam sebagai ideologi untuk diaplikasikan dalam kelompok etnik tertentu. Hal tersebut terlihat dari semangat Hammas mengatakan bahwa Palestina yang sesungguhnya adalah negara Islam.

2.4    Hak Asasi Manusia (HAM)
Ada tiga prinsip kehidupan bernegara yakni, demokrasi, negara hukum, dan perlindungan hak asasi manusia. Sebelum seorang individu dilahirkan dan setelah meninggal dunia, mereka mempunyai hak-hak yang diformulasikan dan dilindungi oleh hukum.
1.      Hak Hidup
Hidup adalah karunia yang diberikan oleh Allah yang Maha Tinggi dan Suci kepada setiap manusia. Seseorang tidak berkuasa sama sekali untuk melenyapkannya tanpa kehendak Allah, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Quran surat al-Hijr ayat 23,
 وَإِنَّا لَنَحْنُ نُحْيِي وَنُمِيتُ وَنَحْنُ الْوَارِثُونَ
yang artinya: Sesungguhnya Kamilah yang menghidupkan serta mematikan kami pula yang mewarisi (segala sesuatu).
Hak untuk melenyapkan hidup seseorang itu oleh Allah hanya diberikan kepada negara (pemerintah) saja, sesuai dengan hukum tindak pidana. Kepentingannya ialah semata-mata untuk kemaslahatan masyarakat dan melindungi hidup setiap jiwa yang ada. Allah berfirman dalam Al-Quran surat al-Maidah ayat 32,
مَنْ قَتَلَ نَفْساً بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّما قَتَلَ النَّاسَ جَميعاً وَ مَنْ أَحْياها فَكَأَنَّما أَحْيَا النَّاسَ جَميعاً
 yang artinya: “Barang siapa membunuh suatu jiwa bukan karena balasan bunuh atau karena maksud mengadakan kekacauan diatas bumi, maka ia seolah-olah membunuh seluruh manusia. Dan barang siapa yang menghidupkan jiwa tadi, maka ia seolah-olah menghidupi seluruh manusia.”
Apabila pelanggaran atas kehidupan seseorang itu dilakukan oleh para hakim yang sewenang-wenang, sehingga mereka membenarkan (penjahat-penjahat) membunuh manusia-manusia yang tidak berdosa, juga membuat ketakutan didalam hati banyak rakyat, maka perbuatan yang sedemikian itu didalam pandangan Al-Quran merupakan suatu penganiayaan yang besar.

2.      Hak Kemerdekaan
Kata “kemerdekaan” menurut istilah ahli bahasa ialah lepas dari perbudakan. Maka kalau seseorang mengatakan: “Dia merdeka” maksudnya ialah dia bukannya diperbudak atau bukan hamba sahaya yang dikekang kemerdekaannya, dapat juga diartikan sebagai lepas dari segala macam belenggu. Untuk perincian arti kemerdekaan dapat dibagi dalam beberapa bagian, sebagaimana dibawah ini:
a.       Kemerdekaan kemanusiaan
Maksud dari kata diatas ialah seseorang manusia itu tidak diperbudak dan dikekang kebebasannya oleh orang lain, baik kebebasan mengenai diri pribadinya sendiri, yang berhubungan dengan negeri dan tanah airnya, sebagaimana dibawah ini:
1. Manusia itu sejak dilahirkan oleh ibunya adalah merdeka, bukan menjadi milik siapapun juga.
2.  Manusia tidak boleh diperhamba oleh seorang manusiapun, tetapi ia hanyalah menjadi hamba dari Allah yang Maha Esa sendiri, Tuhan Maha Pencipta kehidupan dengan segala apa dan siapa yang ada didunia ini.
3.  Seseorang manusia yang merdeka bukanlah menjadi milik dari kaumnya, bangsanya, masyarakatnya ataupun negaranya sekalipun, sebab ia adalah sama kedudukannya sebagai manusia yang merdeka diantara kaumnya, bangsanya atau dikalangan masyarakatnya.
4.  Sesuatu umat atau bangsa adalah merdeka didalam tanah airnya yang disitu hidupnya. Bangsa itu tidak boleh diperhamba oleh bangsa lain.
b.    Kemerdekaan beragama
Islam menentukan adanya kemerdekaan beragama ini menurut dasar yang dapat menjamin tegaknya kebebasan menganut agama dan wujud kemerdekaan itu nyata dalam praktek dan bukan hanya sebagai pengakuan yang digembar-gemborkan saja. Kemerdekaan beragama ini meliputi:
1.  Dibebaskannya akal fikiran manusia dari segala sesuatu yang berbentuk khurafat, katakhayulan agar supaya setiap seseorang itu dengan mudahnya dapat memilih keyakinan atau aqidah yang dianggapnya cocok.
2.  Dibebaskannya setiap manusia dari cengkeraman bertaqlid(menuruti tradisi) secara membuta dan tanpa menggunakan akal fikiran sama sekali.
3.  Setiap manusia dituntut dan diperintah menggunakan akal fikirannya.
4.  Kemerdekaan beragama bagi seseorang itu haruslah tidak dengan cara paksaan atau ancaman.
5.  Selain kaum muslimin yang beragama Yahudi dan Nasrani wajib diberi kebebasan dalam menganut agamanya.
c.    Kemerdekaan dibidang ilmu pengetahuan
Islam memberi kesempatan seluas-luasnya kepada ummat manusia untuk menyelidiki segala macam pengetahuan yang ada didalam alam semesta ini, dari bawah bumi sampai atas langit. Semua ilmu-ilmu yang beraneka macam itu harus diselidiki oleh akal, harus difikirkan dan dipecahkan. Dengan menempuh suasana kemerdekaan dalam penyelidikan ilmu pengetahuan semacam inilah, maka akal fikiran manusia itu dapat maju pesat dilapangan kebudayaan, falsafah dan pengetahuan-pengetahuan yang lainnya. Semuanya itu berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam Al-Quran surat az-Zumar ayat 17-18, yang artinya: “Berilah kebahagiaan kepada hamba-hamba-Ku yang suka mendengarkan suatu ucapan, lalu mengikuti mana yang terbaik, mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itu pulalah orang-orang yang berakal”. Dari ayat tersebut kita memperoleh suatu gambaran yang baru dalam perkembangan fikiran sejarahnya. Terutama dalam hal keagamaan, yakni bahwa orang-orang yang suka mempertimbangkan segala macam pendapat, kemudian mengikuti mana yang dianggap terbaik, maka mereka itulah yang sebenarnya berhak dinamakan sebagai orang-orang yang berakal. Yang berakal itulah yang pasti akan mendapatkan petunjuk Allah, serta berhak untuk menerima pujian dan ganjaran Allah.

BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Islam kontemporer merupakan gagasan untuk melakukan kajian mengenai kemampuan Islam dalam memberikan solusi kepada temuan-temuan disemua dimensi kehidupan dari masa lampau hingga sekarang. Sedangkan  Pluralisme merupakan tantangan, akan tetapi bila tantangan tersebut tidak diperhatikan dengan sungguh-sungguh maka agama-agama akan kehilangan persepsi yang benar tentang dunia dan masyarakat tempat di mana mereka hidup. Pluralisme telah menjadi ciri dari dunia dan masyarakat sekarang. Sementara di dalam Terorisme terdapat beberapa faktor yang dijadikan alasan mengapa tindakan tersebut bisa terjadi, seperti persamaan dalam perolehan perlakuan yang tidak sesuai HAM. Dan yang terakhir ialah HAM, yaitu, hak-hak yang dimiliki oleh individu sebelum dilahirkan dan setelah meninggal dunia serta dilindungi oleh hukum.
3.2    Saran
Dengan tersusunnya makalah dengan pembahasan Dinamika Islam Kontemporer ini diharapkan para pembaca dapat memahami apa yang dimaksud Islam kontemporer itu sendiri serta isu-isu yang ada di dalamnya seperti pluralisme, terorisme, dan HAM, dimana masing- masing memiliki pemahaman yang berbeda. Meskipun banyak kekurangan dalam pembahasan maupun referensi yang kami dapatkan.


DAFTAR PUSTAKA

Asfar, Muhammad. 2003. Islam Lunak Islam Radikal. Surabaya: JP Press.
Assiba'i, Mustafa Husni. 1993. Kehidupan Sosial Menurut Islam. Bandung: C.V Diponegoro.
Khoiriyah. 2013. Memahami Metodologi Studi Islam. Yogyakarta: Teras.
Rahmat, M. Imdadun. 2003. Islam Pribumi: Mendialogkan Agama Membaca Realitas. Jakarta: Erlangga.
Romli, Asep Syamsul M. 2000. Demonologi islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Thoha, Anis Malik. 2005. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Jakarta: Perspektif.
Zubaedi. 2012. Islam & Benturan Antarperadaban. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.


[1]Khoiriyah, Memahami Metodologi Studi Islam, (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 208.
[2]Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif, 2005), hlm. 15.
[3]Ibid., hlm. 24.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar