BE MY EVERLASTING
LOVE
*
*
*
*
*
Sebuah mobil hitam mengkilap berhenti tepat di
depan gerbang SMA Kyungyong. Puluhan gadis bahkan telah berjejer rapi untuk
menyambut pangeran mereka. Jeritan-jeritan memekakkan telinga langsung
terdengar begitu pintu mobil terbuka. Namun, bukannya seorang pangeran, yang
keluar malah Ziyao, pemuda asal Cina yang dianggap sebagai si buruk rupa oleh
para siswi SMA Kyungyong. Kaki pendeknya berjalan melewati puluhan sorakan
kecewa gadis-gadis cantik itu. Namun dengan percaya diri, ia tetap menunjukkan
gigi putih bersinarnya yang berantakan.
Puluhan sumpah serapah masih mengiringi langkah
Ziyao. Sementara itu, sosok lain yang sedari tadi bersembunyi di semak-semak
pun langsung bersorak kegirangan dan menyelinap keluar sebelum mereka
benar-benar melompat padanya.
“Apa-apaan ini. Kau selamat?” tanya Taehyung yang
langsung melompat berdiri begitu Hoseok melangkah masuk. “Bagaimana mungkin?
Biasanya kau acak-acakan.”
“Ini karena aku punya doppelganger[1],”
ucap Hoseok dengan santai.
“Siapa?” tanya Seokjin yang mulai tertarik
dengan obrolan keduanya.
“Liu Ziyao,” sontak Jungkook langsung
menyemburkan air yang baru saja masuk ke dalam mulutnya. Jungkook melempar
tatapan tak percayanya pada Hoseok, sementara Hoseok dan yang lain menatap
Namjoon dengan tatapan ngeri sekaligus jijik.
“Liu Ziyao? Murid pindahan dari Cina itu?”
tanya Jungkook seraya menyodorkan kotak tisu pada Namjoon, tanpa menoleh.
“Kau bercanda? Apanya yang doppelganger?
Kau sengaja menjadikannya korban? Aku yakin dia akan dikeroyok gadis-gadis
mengerikan itu,” suara serak Yoongi terdengar begitu sosoknya muncul dari balik
selimut yang terbentang di atas sofa.
“Chajattda![2],” sorak Choi Jihee, gadis
paling populer di SMA Kyungyong. Ia langsung menghambur ke dalam pelukan Hoseok
begitu ia berhasil membuka pintu ruang kelas seni dengan paksa.
“Ya! Darimana kau tahu kami disini?” gumam
Namjoon.
“Asal kalian tahu, kemana pun Hoseok pergi,
aku pasti akan menemukannya. Hatiku akan selalu menuntunku.”
“Ugh, aku merinding,” ucap Taehyung sambil
bergidik, kemudian menyambar tasnya dan keluar.
“Apa hatimu juga akan menuntunmu kalau
Hoseok hyung sedang di toilet?” cibir Jimin seraya berlalu di antara
keduanya.
Hoseok melepaskan tangan Jihee yang sedari tadi
bergelayut manja di tangannya.
“Maaf, tapi aku tidak bisa mengizinkanmu
masuk, tuan Jung,” desis seorang siswi yang tengah membuka kedua tangannya,
menguasai pintu untuk menghalangi Hoseok.
“Ya! Apa yang kau lakukan?” protes
Jihee yang tak henti-hentinya memelototi gadis itu.
“Kau bisa masuk, tapi biarkan Jung Hoseok
tetap disini.”
“Apa maksudmu? Mana mungkin...” ucapannya
terhenti begitu Hoseok mendorong tubuh Jihee, membuat tubuh gadis itu tidak
sengaja membentur lengan Bona yang masih terbuka. “Ya! Kau sengaja mau
menyakitiku?”
“Asal kau tahu saja, posisi lenganku sudah
seperti ini dari tadi. Lagipula kalau ingin marah seharusnya kau memarahi
Hoseok. Dia yang mendorongmu.”
Jihee bersungut-sungut, berusaha menahan
malu sekaligus rasa sakitnya. Sementara Taehyung dan Jungkook tidak bisa
menghentikan tawa mereka.
“Kau harus tanggung jawab.”
“Memangnya apa yang sudah kulakukan padamu?”
“Bukan padaku, tapi dia,” jawab Bona sambil
menunjuk Ziyao yang kini melambaikan tangan pada mereka dengan senyum idiotnya.
Hoseok memandangi Ziyao yang benar-benar
berantakan. Rambut pemuda itu bahkan acak-acakan, kacamatanya patah, wajah
coklatnya penuh dengan memar-memar. Tak hanya itu, bajunya yang tidak pernah
disetrika itu semakin terlihat lusuh. Yang lebih parah lagi, Ziyao hanya
memakai sepatu untuk kaki kanannya saja.
“Apa kau ingin jadi Cinderella?” tanya
Hoseok sambil bergidik.
“Ah, gadis-gadis itu mengambil sepatuku dan
melemparnya entah kemana. Untung saja aku masih bisa mempertahankan sepatu
kananku,” jawabnya dengan tenang, sementara Taehyung, Jungkook, dan Seokjin
kembali terkikik.
“Liu Ziyao, sungguh aku minta maaf telah
membuatmu seperti ini.”
“Tidak...tidak apa-apa. Gadis-gadis itu yang
terlalu kejam memperlakukanku seperti ini. Lagipula aku sangat berterima kasih
karena kau sudah memberiku tumpangan,” Ziyao berdiri, kemudian meletakkan kedua
tangan di perutnya dan membungkuk. “Gamsahamnida[3],” ucapnya, kemudian ia
meringis, menampilkan deretan giginya yang tidak rata.
Hoseok kembali menatap Bona, “Kau lihat? Bahkan
dia berterima kasih padaku.”
Wajah Bona memerah. Ia benar-benar merasa
dipermalukan oleh orang paling menyebalkan yang pernah ia temui.
“Jadi, apa aku bisa masuk?” Dengan berat
hati, Bona menurunkan lengannya, membiarkan orang itu lolos bahkan ketika ia
telah menggenggamnya.
***
“Ketua kelas, tolong bantu aku untuk membawa
buku-buku ini ke mejaku,” pinta Bu guru Kim setelah kelas mereka usai.
“Ne,” jawab Bona. Ada nada kecewa di
wajahnya.
Ziyao buru-buru maju dan berniat membantu Bona,
namun Bona langsung menampik tangannya dan melangkah keluar.
“Kenapa kau tidak membantunya?” tanya Hoseok
seraya menepuk bahu Ziyao.
“Kau tidak lihat tadi aku sudah berniat
membantunya? Tapi dia malah memberiku tatapan -tidak usah sok baik-
padaku,” gumam Ziyao.
Hoseok segera berlari keluar. Tanpa ba-bi-bu
ia pun langsung mengambil tumpukan buku itu dari tangan Bona, kemudian berjalan
mendahuluinya. Namun, tiba-tiba saja Bona menahan lengan Hoseok dan...
Plakkk
Sebuah tamparan keras berhasil mendarat di
pipi kanan Hoseok. Bona segera mengambil kembali buku-buku itu, meninggalkan
Hoseok yang masih memegangi pipinya.
“Daebak.[4] Pangeran SMA Kyungyong
ditampar rakyat jelata,” gumam Jungkook yang tak henti-hentinya memandangi
punggung Bona yang semakin menjauh.
“Ya! Jaga ucapanmu. Siapa yang kau
panggil rakyat jelata, hah?” bentakan Hoseok mampu membuatnya terlonjak.
“Daebak. Murid paling tampan SMA
Kyungyong dibentak pangeran SMA Kyungyong,” gumam Taehyung begitu Hoseok telah
menjauh. Sementara Jungkook melempari Taehyung tatapan mematikan.
***
Bona berderap menyusuri gang sempit dekat
sekolah. Langkahnya sedikit tergesa, terlebih saat ia merasa seseorang telah
membuntutinya. Ia berhenti, lalu menoleh. Tidak ada siapapun. Namun perasaan
yang sama kembali muncul ketika ia melanjutkan langkahnya.
Hoseok terlonjak begitu Bona mendadak
berbalik dan menatapnya dengan tajam. “Kau?”
“Ya! Aku hanya ingin minta maaf.”
“Untuk apa?”
“Untuk apa?” Hoseok mulai menerawang,
menggaruk tengkuknya, dan kembali memandang Bona. “Aku tidak tahu apa
kesalahanku, tapi...”
“Lalu untuk apa kau minta maaf?” Bona
kembali melangkah, kali ini ia sedikit menghentakkan kakinya.
“Apa salahnya aku minta maaf?”
Bona yang masih terus melangkah, mau tak mau
harus berhenti begitu Hoseok menarik lengannya. Kini mereka berdiri berhadapan.
Hampir saja tangan Bona mendarat di pipi Hoseok kalau saja pemuda itu tidak
dengan sigap menghadangnya.
“Aku tidak tahu kenapa kau selalu dingin
padaku. Bahkan kau menyalahkanku karena Ziyao terluka. Apa aku sejahat itu?” Bona
tidak berani menatap Hoseok ketika pemuda itu mulai melonggarkan
cengkeramannya. “Apa salah kalau aku hanya ingin berteman?”
Bona menggigit bibirnya. Tidak pernah ia
melihat Hoseok seserius itu. Ia terdiam, tubuhnya mulai gemetar. Hoseok
menatapnya sebentar kemudian benar-benar melepas cengkeramannya.
“Aku hanya tidak ingin terlihat canggung di depanmu,”
gumam Bona begitu Hoseok tak lagi berdiri di hadapannya.
***
Bona menoleh ke jendela tiap kali
segerombolan murid laki-laki lewat dengan kegaduhan-kegaduhan kecil. Bukan
apa-apa, ia hanya belum siap menghadapi Hoseok setelah kejadian kemarin.
Saking sibuknya bolak-balik melongok ke arah
jendela, ia tidak sadar seseorang baru saja meletakkan sesuatu di mejanya.
“Yoghurt?” gumam Bona yang langsung
mengedarkan pandangan ke tiap inchi ruang kelasnya. Pandangannya berhenti pada
sosok Hoseok yang sebelumnya tidak ada di tempat duduknya. Ia pun melirik Jihee
dan semakin yakin yoghurt itu dari Hoseok karena wajah Jihee telah menjawabnya.
***
“Ayo cepat naik,” seru Hoseok yang telah
siap dengan sepedanya. Bona hanya menatapnya tidak percaya. “Apa kau perlu
bantuanku?”
“Tidak...Tidak,” Bona langsung duduk di
belakangnya, tapi Hoseok tak juga mengayuh sepedanya.
“Aku tidak akan bertanggung jawab kalau kau
jatuh dan terluka,” ucapnya pelan. Namun apa yang diinginkan Hoseok tak juga
terjadi. “Apa kau tidak paham maksudku?”
“Ah, mian[5].”
Hoseok pun mengulurkan tangannya ke
belakang, meraih lengan Bona dan melingkarkan tangan Bona di pinggangnya.
Keduanya tersenyum, kemudian Hoseok mulai mengayuh sepedanya.
Kedua mata Bona terpejam, senyumnya
mengembang begitu angin sore membelai pipinya dengan lembut. Tidak masalah
seberapa berantakan rambutnya sekarang, ia hanya ingin menikmati angin sore
yang menyapanya.
Keduanya menyusuri tepi sungai tanpa
menghapus senyuman di wajah mereka. Mereka kini berhenti, menatap hamparan air
yang mengalir tenang serta kilauannya di permukaan.
“Kim Bona.”
“Hmm?”
“Aku mengajakmu kesini karena...aku ingin
lebih lama bersamamu,” Bona menoleh, tatapannya penuh tanya sekarang.
“Kita ini sekelas. Kurasa kau memiliki
banyak waktu untuk hal-hal semacam ini.”
“Tidak. Waktuku tidak sebanyak itu,” gumam
Hoseok. Bona menggeser posisinya. Kini mereka saling berhadapan. “Aku akan ke
Amerika. Sebentar lagi.”
“Apa?”
“Aku takut tidak bisa kembali ke sini. Jadi
aku ingin bertemu denganmu.”
“Aku akan selalu menunggumu, jadi kau harus
kembali secepatnya.”
“Aku tidak yakin,” gumam Hoseok, mulai
memutar-mulai botol kecil di tangannya.
“Kau kesana karena itu?” Bona menunjuk botol
di tangan Hoseok.
“Sepertinya ketergantunganku pada obat ini
membuatku semakin gila.”
Bona menatapnya iba. Tak disangka, dibalik
sikapnya yang menyebalkan, ia berusaha keras melawan ketergantungan pada
obat-obat penenang itu, walau itu masih tidak berhasil.
“Aku menyerah. Aku tidak bisa melawannya
sendiri,” Hoseok langsung menunduk, ia pun memejamkan kedua matanya dan
berusaha menenangkan dirinya. “Aku akan kembali kalau kau berjanji akan selalu
menungguku.”
***
Kenangan dua tahun lalu masih saja muncul,
tapi Bona tetap saja tidak bisa melupakan janji mereka. Ia kini sedang mengayuh
sepeda menyusuri tepi sungai, persis seperti dua tahun lalu saat ia ke tempat
itu dengan Hoseok.
Bona terus memandangi name tag-nya.
Bagaimanapun juga ia akan segera lulus dari SMA Kyungyong, tapi tak ada kabar
apapun dari Hoseok. Ia sempat berpikir Jung Hoseok telah melupakan janjinya,
dan memutuskan untuk pindah sekolah, bertemu dengan gadis-gadis cantik,
memacari mereka, kemudian...
“Ya!” Bona terlonjak. Ia mengerjap
pelan dan tiba-tiba saja bergidik ngeri.
“Apa Jung Hoseok tahu aku sedang
membicarakannya?” Bona semakin bergidik ngeri membayangkan Hoseok memiliki
kekuatan super yang mampu membaca pikiran orang lain. Tapi suara itu...
“Ya! Kim Bona,” suara itu terdengar
lagi. Kali ini Bona merasakan pandangan seseorang padanya. Seseorang tengah
berdiri disana begitu ia berbalik. Seseorang yang tengah memandangnya.
Bibir Bona bergetar, matanya memerah, dan
dalam sekejap tangisnya pun pecah. Hoseok yang panik dengan tangisan Bona pun
berlari menghampirinya dan dengan gerakan refleks, ia menarik Bona ke dalam
pelukannya. Paling tidak itu bisa meredam suara tangisan Bona yang berhasil
menarik perhatian orang-orang sekitar.
Hampir lima menit berlalu setelah Bona
menghentikan tangisannya. Mereka duduk di atas rerumputan hijau yang menghadap
ke sungai, persis seperti dua tahun lalu.
“Ya! Kau membuang ponselmu?”
“Huh?”
“Aku sudah menghubungimu lebih dari 20
kali,” kali ini Hoseok benar-benar kesal.
Bona mengambil ponselnya dan menjerit. Ia
menatap Hoseok, ponselnya, kembali ke Hoseok, ponselnya, terus begitu sampai
Hoseok menahan kepalanya.
“Kau pikir aku datang untuk melihatmu
mematahkan lehermu sendiri?” Bona menurunkan tangan Hoseok dari kepalanya dan
menunduk.
“Kupikir kau tidak akan kembali.”
“Mana mungkin? Aku tidak bisa membiarkan
milikku diambil orang lain jika aku terlalu lama disana.”
“Kau masih mengkhawatirkan mobilmu? Dasar
orang kaya,” gumam Bona sambil menggerutu tidak jelas.
Hoseok terkekeh, kemudian menoleh menatap Bona
yang masih menunduk. “Milikku ada disini.”
Bona menoleh, mengerutkan keningnya dan
mulai mengedarkan pandangan ke sekitar mereka. “Ah, sepeda itu. Ya! Aku
hanya meminjamnya. Lagipula itu ada di gudang sekolah. Apa aku...”
“Ya! Apa kau tidak bisa berhenti
membicarakannya benda-benda mati itu? Milikku yang kumaksud itu hidup, bisa
bernapas, bisa berjalan, dan bahkan bisa terlonjak saat aku mencium pipinya,”
Hoseok langsung mengecupnya singkat.
“Jung Hoseok...”
“Wae? Kau masih belum tahu siapa yang
kumaksud? Mau kuulangi lagi?”
“Tidak, aku...aku sudah tahu.”
“Jadi, kau menerimaku sebagai kekasihmu atau
tidak?”
“Ya! Apa-apaan? Beginikah caramu
menyatakan perasaanmu? Sangat-sangat tidak romantis,” cibir Bona.
“Jadi kau ingin aku melakukan apa? Mengajakmu
makan malam romantis? Memberimu ribuan bunga? Membacakan puisi romantis? Aku
bukan orang yang bisa melakukan hal-hal semacam itu,” gerutu Hoseok yang
langsung bangkit dan berjalan menjauh.
“Ey...aku hanya bercanda,” Bona menyusul
Hoseok dan langsung menggenggam tangan Hoseok.
Hoseok berhenti dan menoleh. “Apa ini? Kau
menerimaku?” tanyanya seraya mengangkat tangannya yang digenggam Bona.
“Aku tidak mengatakan apapun. Hanya ingin
melakukannya.”
“Dasar curang.”
“Kau yang lebih dulu berbuat curang.”
“Mau kukembalikan?” goda Hoseok.
“Tidak, terima kasih,” tolak Bona yang
langsung menjauhkan wajahnya.
“Ya! Kau melupakan sepedaku.” Bona
kembali menggerutu begitu Hoseok memintanya kembali untuk mengambil sepedanya.
“Jangan menggerutu, itu sepeda mahal.”
“Kau masih memikirkan kekayaanmu?”
“Tentu saja. Itu milik orang tuaku, aku
harus melindunginya.”
“Baiklah...baiklah, aku akan melindunginya
untukmu.” Bona melangkah dengan kesal. Bibirnya terus menggerutu sampai Hoseok
memeluknya dari belakang.
Ya, begitulah Jung Hoseok. Dia akan
melindungi apa yang menjadi miliknya. Selain melindungi harta orang tuanya,
alasan ia pulang adalah untuk melindungi miliknya sendiri, Kim Bona.
Ah ya, kisahnya hanya sampai disini. Untuk
kelanjutan kisah mereka, sepertinya hanya Tuhan dan mereka yang tahu. Dan
mungkin teman-teman mereka.
THE END
"...I hope that you remember, that you always
have a place in my heart." -S.E.S (Remember)-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar