KIMBAB
***
Segelintir benda terbungkus aluminium foil
bertengger di atas meja kasir, bersebelahan dengan sekotak kecil susu coklat.
Seorang gadis yang tengah terlelap dibalik meja kasir langsung terlonjak begitu
mendengar suara kucing mengeong cukup keras. Matanya terbelalak begitu melihat
jarum jam di.dinding menunjuk ke angka 10.
Gadis itu menoleh ke pintu dan mulai menghitung, “Satu...dua...tiga,”
kemudian ia tersenyum begitu seorang pemuda menarik gagang pintu dan
menghampirinya.
“Apa ini?” tanya Kyungsoo ketika Lee In menyodorkan
kotak susu dan segulung kimbab yang sedari tadi masih di atas meja.
“Kimbab di toko ini sudah habis. Jadi aku beli di
kedai seberang jalan.”
“Kenapa kau repot-repot? Aku bisa beli sendiri.”
“Kau bercanda? Kedai itu tutup satu jam sebelum
kucing di sebelah mengeong.”
“Ah, benarkah? Ya![1]
Cepat bungkus ini,” pinta Kyungsoo.
“Tidak disini?”
“Tidak. Aku harus cepat pulang atau kau besok tidak
sarapan,” ancamnya, sementara Lee In langsung mendelik sambil memasukkan kimbab
dan susu ke dalam kantong plastik. “In-a[2], kau mau makan
apa?” tanyanya begitu ia sampai di ambang pintu.
“Haruskah kau menanyakan pertanyaan yang sama
setiap hari?” geram Lee In, sementara Kyungsoo hanya meringis, kemudian segera
berlari sebelum Lee In menghujaninya dengan kaleng bekas.
***
Kyungsoo terdiam begitu melihat rumahnya yang
seperti kapal pecah, seakan baru saja terjadi perang di sana. Botol-botol
kosong berserakan, bungkus makanan ringan dimana-mana, sementara isinya telah
berhamburan memenuhi hampir seluruh permukaan sofa. Yang lebih membuatnya
tercekat adalah sebuah tas besar yang sedikit terbuka yang memperlihatkan
berlembar-lembar kertas seukuran uang di dalamnya. Tidak, itu memang uang
sungguhan. Kyungsoo baru saja memastikannya.
“Hyung...hyung. Jongsoo hyung.”
Sesosok pria tengah menggeliat begitu Kyungsoo memanggil-manggil kakaknya. Baru
saja ia berniat mengguncang tubuh berselimut itu, sebuah suara berhasil
menghentikannya.
“Wae?[3]”
“Hyung? Lalu dia siapa?” Kyungsoo menunjuk
tubuh yang berkali-kali menggeliat tidak nyaman.
“Ah, dia temanku. Jangan ganggu dia.”
“Apa yang terjadi?” bisik Kyungsoo.
“Oh itu. Tenang saja, nanti kubereskan. Aku janji
semuanya akan bersih.”
“Aku tidak membicarakan sampah itu. Aku hanya ingin
tahu darimana kau mendapat uang sebanyak itu. Kau...merampok?”
“Ya! Jangan sembarang bicara. Kalau tidak
tahu apa-apa lebih baik diam,” bentak Jongsoo yang langsung melempar handuknya
sembarangan.
Kyungsoo mengerjap begitu alarm ponselnya berbunyi.
Ia langsung berlari keluar karena harus segera membuat sarapan untuk Lee In
sebagai ganti makan malamnya. Namun ia mendengus begitu melihat keadaan ruangan
yang masih sama kotornya seperti semalam.
Bel rumahnya berbunyi ketika ia mulai membersihkan
sofa dari remahan-remahan keripik kentang. “Hyung. Aku yang bersihkan
sampah-sampahmu, sebagai gantinya tolong bukakan pintu,” teriaknya.
Tidak ada tanda-tanda langkah kaki Jongsoo,
sementara bel rumah tak kunjung berhenti menjerit. Dengan beribu gerutuan dan
langkah gontai, Kyungsoo membuka pintu dengan hentakan cukup keras.
“Do Kyungsoo?”
“Ne.[4]”
***
Lee In merintih, ia bahkan menjerit begitu perutnya
kembali terasa perih. Eunbi yang sedari tadi duduk di depannya semakin panik.
Berkali-kali ia menoleh ke pintu, berharap sosok mungil Kyungsoo akan muncul
dengan kotak bekal di tangannya.
“Tidak biasanya dia terlambat,” bisik Eunbi, masih
menatap Lee In dengan iba. “Kau bisa makan ini,” ucapnya seraya menyodorkan
sebungkus roti coklat dengan topping keju yang meleleh sempurna.
“Tidak, ini jatah makan siangmu,” tolak Lee In,
masih merintih menahan perih.
“Aku tidak ingin makan apapun hari ini. Aku akan
membelikanmu minuman. Pastikan roti itu habis saat aku kembali.”
Lee In berusaha menolak, tapi sayangnya Eunbi telah
menghilang, menerobos kerumunan murid yang tengah bergosip.
Eunbi kembali tepat ketika guru telah masuk kelas
dan mulai mengomel karena murid-muridnya tidak berusaha keras agar mendapat
nilai yang memuaskan di ujian nanti. Tapi Lee In tidak mempedulikan itu semua.
Pikirannya melayang, mencoba mencari jawaban atas pertanyaannya sendiri,
“Dimana Kyungsoo?” yang masih berputar-putar di kepalanya.
***
“Kami mendapat laporan kalau seseorang telah
merampok bank,” kata seorang pria dengan wajah garang yang menyebalkan.
“Lalu apa hubungannya denganku?”
“Ada yang melihat si perampok masuk ke rumahmu.”
“Dan apa itu berarti aku yang merampok? Aku...”
“Karena seseorang mengatakan kalau hanya ada satu
orang yang menghuni tempat tinggalmu.”
“Aku tinggal disana dengan kakakku,” bantah
Kyungsoo, ia mulai geram.
“Tidak, timku sudah memastikan sendiri. Rumahmu
memang memiliki dua kamar, tapi hanya kamarmu yang terlihat berpenghuni,”
terang si pria menyebalkan yang kini memainkan sebatang rokok ditangannya,
kemudian memasukkan rokok itu ke dalam mulutnya. Tidak ada api, ia hanya
memainkan rokok itu seperti lolipop yng
manis.
“Ah sial. Dia sudah merencanakan semua itu? Dia
menjebakku?”
“Apa? Aku tidak mendengarmu.”
“Aku dijebak. Kakakku yang membawa uang itu.”
“Jelas-jelas uang itu ada di kamarmu.”
“Kamarku?”
“Hei nak, jangan pura-pura bodoh. Kau harus tahu
kalau menjadi bodoh itu sangat menjengkelkan.”
Kyungsoo diam, perasaanya tak karuan, terlebih
setelah si pria penanya menyebalkan itu memberitahunya kalau CCTV telah dirusak
dan satu-satunya saksi yang mungkin melihat wajah si perampok adalah pegawai
bank yang kini masih tak sadarkan diri.
***
Lee In terbangun begitu pintu toko terbuka. Ia
berharap itu Kyungsoo, tapi tidak mungkin karena kucing di sebelah tidak
mengeong sama sekali. Apa Kyungsoo tidak memberinya makan? Sepertinya bukan
itu. Lagipula ini masih jam 9.
“Kau pasti kelelahan,” kata Jihee, pegawai toko
yang lain.
“Eonni[5],
ini masih jam 9,” bisik Lee In sambil menggosok kedua matanya.
“Pemilik toko sudah memutuskan untuk memotong jam
kerjamu. Tidak, bukan karena kau tidk bekerja dengan baik, tapi karena kau masih
murid SMA. Bukannya kau harus kembali ke rumah sebelum jam 10?”
“Eyyy...tetap saja aku tidak bisa pulang sebelum
jam 10,” gerutunya.
“Wae? Kau menunggu bocah laki-laki itu? Wah,
apa kalian pacaran?” goda Jihee.
“Tidak, itu hanya bagian dari transaksi.”
“Transaksi? Transaksi apa?”
“Aku harus membelikannya kimbab dan susu untuk
makan malam. Sebagai gantinya, dia akan memasakkan sarapan untukku.”
“Ey, kalian sudah seperti pasangan suami istri
saja.”
“Eonni...” Jihee terkikik begitu melihat
semburat merah di pipi Lee In.
“Baiklah. Tunggu di dalam saja. Di luar sangat
dingin.”
Jam sudah menunjukkan pukul 10, tapi tidak ada
tanda-tanda kehadiran Kyungsoo, bahkan kucing di sebelah masih tidak bersuara.
“In-a, lebih baik kau pulang sekarang atau
kau akan terlambat besok,” tegur Jihee.
Lee In tergagap kemudian menoleh ke arah pintu.
Tidak ada siapapun. “Ya, sepertinya aku memang harus pulang sekarang. Mungkin
dia merasa bersalah tidak membuatkanku sarapan tadi.” Lee In berkemas, kemudian
pamit.
“In-a,” Lee In terlonjak, begitu pula Jihee
yang kini menatap mereka berdua.
Kyungsoo menarik lengan Lee In sebelum gadis itu
sempat membuka mulutnya.
***
Udara pagi terasa menusuk. Di luar hujan terus
mengguyur, sungguh berbeda dari ramalan cuaca di radio. Lee In hampir saja
membangunkan Kyungsoo saat tangannya hampir menyenggol vas bunga di atas meja.
Kyungsoo menggeliat pelan begitu bel berbunyi.
Tanpa kecurigaan apapun, Lee In langsung membuka pintu, membuat si pria penanya
menerobos masuk dan menyeret Kyungsoo keluar. Kyungsoo yang masih setengah
terlelap tidak bisa melawan. Ia hanya menampik cengkeraman si pria penanya,
walau ia tahu itu tidak akan membebaskannya.
“Tunggu, dia mau dibawa kemana?”
“Kami harus memastikan sesuatu. Kami akan
membawanya ke rumah sakit.”
Lee In melihat Kyungsoo baru saja didorong mendekat
ke tempat tidur pasien. Wanita yang duduk di ranjangnya itu menatap Kyungsoo,
kemudian melirik si pria penanya sebelum akhirnya membuang muka dan
menggumamkan sesuatu. Sepertinya itu pertanda buruk, karena si pria penanya
langsung memukul tengkuk Kyungsoo dan menyeretnya keluar, melewati Lee In yang
berusaha meraih lengannya.
Pintu ruang rawat pasien terbuka. Lee In kembali
setelah membeli beberapa makanan dan duduk di samping tempat tidur pasien,
wanita yang sebelumnya ditemui Kyungsoo.
“Aku tidak tahu kenapa sesuatu yang buruk terjadi
pada orang yang baik,” ucap Lee In, mulai mengeluarkan beberapa gulung kimbab
yang masih utuh terbungkus aluminium foil.
Wanita itu kebingungan. Ia memandangi Lee In yang
masih berkutat dengan kimbabnya. “Kau siapa?”
“Aku? Aku adalah orang yang berusaha mencari
kebenaran.” Lee In tersenyum dan mulai memotong-motong kimbabnya. “Temanku
harus makan kimbab dan minum susu sebagai santapan malamnya. Dia tidak akan
bisa tidur tanpa makan-makanan itu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi
nanti.”
“Bisakah kau bicara dengan jelas? Aku tidak tahu
apa yang sedang kau bicarakan,” geramnya, memandang Lee In dengan tatapan yang
memintanya untuk keluar sekarang juga.
Lee In mengabaikannya. Ia berhenti dan
mengutak-atik ponselnya. “Temanku baru saja menemuimu.”
“Cukup. Aku sudah mengatakan hal ini pada polisi
tadi. Aku tidak yakin tapi kurasa memang benar bocah tadi,” ucapnya tidak
sabar.
“Kurasa aku bisa membantu menambah ketidakyakinanmu,”
Lee In menunjukkan ponselnya. Ia tersenyum begitu wanita itu menatapnya tidak
percaya.
***
Tiga gulung kimbab, lengkap dengan tiga kotak susu
berjajar rapi di atas meja kecil di tengah tanah lapang. Rumput-rumput hijau
bergemerisik begitu angin membelai lembut. Dua anak manusia itu kini tengah
menengadah ke langit dengan kedua mata terpejam, membiarkan angin membelai
lembut pipi mereka.
“Akhirnya, pasukan kimbabku berhasil
menyelamatkanmu,” gumam Lee In tanpa menoleh, sementara Kyungsoo langsung
membuka mata dan menoleh pada gadis di sampingnya. “Aku membawa kimbab-kimbab
itu dan akhirnya dia mengatakan bukan kau pelakunya,” ucapnya seraya terkikik.
“Aku benar-benar menyesal karena kau yang
menyelamatkanku.”
“Kau menyesal? Kau ingin dipenjara, begitu?”
desisnya.
“Tidak, hanya saja aku telah dipermalukan di depanmu.”
“Kau hanya dijebak. Tidak masalah. Jangan
dipikirkan. Cepat makan sebelum bel berbunyi.”
“Ini pertama kalinya aku makan kimbab untuk
sarapan. Thanks. Sebagai gantinya, aku akan membuatkan sarapan spesial
untukmu besok.”
“Semua makanan buatanmu pasti spesial,” gumam Lee
In selagi Kyungsoo melahap kimbabnya.
“Apa?”
“Tidak. Cepat habiskan!”
“Kimbab benar-benar yang terbaik.”
THE END
[1]
(Kr) Hei!
[2]
(Kr) –a : tambahan di belakang nama (berakhiran huruf konsonan). Digunakan
untuk teman sebaya (menunjukkan keakraban).
[3]
(Kr) Kenapa?
[4]
(Kr) Ya.
Akhirnyaaaaaa....Setelah sekian lama gak nulis FF. Ada yang kangen? kagak? yaudah yang penting ane nulis. BTW, Lee In itu temen ane. Yang jadi BFF seiring berjalannya waktu *eakkkkk. Bahkan tu anak yang awalnya 100% K-Drama lover, sekarang rada nikung ke EXO ama SEVENTEEN. Hohohoho.
Selamat menikmati ke-comeback-an author tercintahhh...bentar lagi ada FF baru...See you *kissalaJin
Btw, ini FF ditolak penerbit (*iyalah, ff receh gini -.-)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar