SOUL
Pintu kediaman keluarga Xi terbanting.
Akhir-akhir ini memang ada sedikit konflik disana. Terkait datangnya kabar
diterimanya anak perempuan mereka, Xi Jihan, di universitas ternama di Korea.
“Kenapa di Korea? Kau kan juga mendapat surat dari
universitas lain. Kenapa harus kesana?” bentak ibunya.
“Kihan ge[1] diizinkan, kenapa aku
tidak?” protes Jihan, membuat wajah ibunya semakin memerah dikuasai amarah.
“Itulah kenapa aku melarangmu. Aku menyesal
mengizinkannya kesana.”
Jihan diam. Percuma untuk menggertak karena
ibunya pasti akan punya jawaban untuk membalasnya. Disambarnya kunci mobil di
meja, dan menghilang. Ia sama sekali tidak menoleh ketika ibunya menjerit-jerit
tak karuan. Tidak peduli seberapa keras ia dilarang ke Korea, ia harus tetap
kesana, kuliah, dan bertemu idolanya kalau bisa.
Kepalanya penuh dengan angan-angan untuk
sampai bandara secepatnya. Ia terlalu bersemangat sampai ia tidak menyadari
sebuah mobil baru saja menghantam mobilnya. Cukup keras, membuatnya tersadar
lima menit kemudian.
Jihan mengerjap, matanya melebar melihat
sosok yang ia kenal tengah berdiri di seberangnya.
“Kihan ge?” gumamnya. Namun sosok itu
hanya menatapnya dingin, kemudian dalam sekejap mata, sosok itu telah berdiri
di hadapannya, bahkan telah membawa Jihan keluar dari mobilnya.
“Siapa yang mengizinkanmu bisa melihatku?”
“Shenme?[2]” Jihan memandang
sekeliling. Orang-orang tengah mengerumuni mobilnya. Satu yang membuat
jantungnya mencelos, Jihan bisa melihat tubuhnya sendiri, tubuh lemah tak
berdaya yang masih ada di dalam mobil.
“Biarkan mereka yang mengurusnya. Sekarang
kau harus ikut denganku.” Kihan menarik lengan adiknya menjauh dari lokasi
kecelakaan. Entah bagaimana caranya, mereka tiba-tiba berdiri di tempat asing.
Jihan kembali mengedarkan pandangannya.
Matanya terkesiap melihat papan-papan di jalan yang menampilan aksara lain,
bukan aksara China.
“Gege, apa ini...Korea?” pekiknya
seraya mencengkeram lengan Kihan. Cengkeramannya semakin kuat begitu Kihan
mengangguk.
“Walaupun kau hanya roh, tetap saja kau
tidak bisa kemana-mana sesukamu. Karena kau masih hidup. Jadi sekarang kau
harus tinggal di suatu tempat sampai kau bangun.” Jihan sempat murung mendengar
ucapan kakaknya. “Kau tidak bisa menghilang sepertiku. Dan jangan sampai orang
lain mendengar suaramu. Satu lagi, jangan pikir kau bisa menakuti mereka,”
imbuhnya begitu Jihan mulai tersenyum licik.
“Baiklah, dimana aku harus tinggal?”
“Ada sesuatu di sepatumu.”
Jihan menunduk, kemudian mendengus karena ia
merasa telah dibodohi. “Apa-apaan, tidak ada...wah...” kedua matanya melebar.
Mereka telah berpindah tempat dalam sekejap.
Kakak-adik itu telah berdiri di rumah
seseorang, seperti apartemen, tapi entah milik siapa karena Kihan langsung
menghilang.
“Gege...Kihan ge. Padahal aku
belum sempat melepas rindu. Aku terlalu kaget sampai tidak sempat memelukmu
tadi.”
Tiba-tiba sebuah pelukan singkat datang.
Sosok Kihan pun muncul lagi. “Aku sudah memelukmu sekarang. Selamat
bersenang-senang. Pemilik rumah akan datang.” Dan dalam sekejap, ia menghilang
lagi, secepat kedatangannya.
Cklek...
Suara itu berhasil membuat Jihan bungkam,
terlebih ketika terdengar suara langkah kaki seseorang. Tidak, itu lebih sari
satu. Dua? Tiga? Empat? Dan itu masih berlanjut.
“Hyung, taruh saja bajumu disana.
Nanti kucuci.” Suara itu, Jihan seperti mengenal suara itu. Tapi siapa?
“Jungkook-a, tolong bawakan tasku.”
Jungkook? Jeon Jungkook? Dan suara tadi.
“Park Jimin?”
Ketujuh pemuda itu berhenti, hanya kepala
mereka yang menoleh mencari sumber jeritan itu. Bahkan Yoongi yang baru saja
akan menuang air pun langsung berhenti.
“Jimin-a, ada yang memanggilmu?”
tanya Yoongi dengan was-was.
“Tidak mungkin ada yang masuk kesini. Lalu siapa?”
Taehyung membulatkan kedua matanya begitu
Jimin terus bertanya-tanya.
“Ya! Kim Taehyung. Kau tidak akan
mengatakan kalau itu hantu kan?” Taehyung meringis begitu Jimin siap dengan
tinjunya. “Ah, sudahlah, mungkin salah dengar,” celetuk Jimin seraya berlalu.
“Salah dengar? Kita semua?” gumam Seokjin.
Begitu pemuda-pemuda itu menyebar entah
kemana, Jihan baru bisa melemaskan otot-ototnya yang tegang karena ulahnya
sendiri.
Park Jimin? Aku bertemu Park Jimin? Tidak
masalah kalau aku harus seperti ini lebih lama.
***
Pagi yang cerah, menambah kesan manis pada
senyum Jihan. Usahanya menyelinap ke kamar Jimin benar-benar berjalan sesuai
rencana.
Suara gaduh di bawah semakin tak terkendali,
namun Park Jimin tak juga melepaskan selimutnya. Ia tidak bangun, malah
keringat dingin terus mengalir, membasahi wajahnya.
Jihan berjingkat ke samping meja, berjongkok,
dan berbisik, “Kihan ge...”
Kihan hadir bersamaan dengan hembusan angin
yang menggelitik telinga Jihan. Ia terkikik melihat adiknya yang tiba-tiba
merinding. “Wei shenme?[3]”
“Aku tidak bisa menyentuh benda apapun, jadi
aku butuh bantuanmu,” bisik Jihan pelan, sangat pelan, sampai ia sendiri yakin
Jimin tidak akan mendengarnya. “Buatkan bubur untuk Jimin. Aku akan
memberitahumu caranya. Kau hanya perlu menjadi tanganku, oke?”
Setelah Kihan menyetujui, dan setelah
teman-teman Jimin pergi, keduanya pun mulai beraksi. Sesekali Jihan geram,
bahkan menggertak kakaknya ketika sesuatu tidak sesuai dengan apa yang ia
inginkan.
Perang keduanya selesai. Kini saatnya Jihan
memastikan Jimin masih menutup matanya atau ia akan pingsan melihat mangkuk
melayang. Setelah dirasa aman, Kihan pun masuk, membawa mangkuk yang jika
dilihat orang akan seperti melayang itu.
Kihan berhenti, kemudian melirik Jihan dan
berbisik, “Seseorang sudah membuatkannya bubur.”
“Ah, benar. Seharusnya aku tahu kalau Jin ge
pasti sudah membuatkan bubur untuknya.” Jihan terus memutar otak sampai
akhirnya ia menatap kakaknya dan tersenyum. “Gege, kau lapar kan? Taruh
bubur itu di meja dan kau bisa makan bubur buatan artis.”
“Tidak, aku lebih suka buatanku sendiri.”
“Tetap saja itu buatanku. Itu resepku,”
bantah Jihan yang hampir saja menjatuhkan ponsel Jimin ketika hendak memukul
lengan Kihan.
Keduanya terdiam, saling berpandangan begitu
Jimin baru saja mengubah posisi tidurnya. Tapi bukan itu yang membuat mereka
terdiam, melainkan tangan Jihan yang bisa menyentuh ponsel Jimin. Seharusnya
Jihan tidak bisa menyentuh benda apapun.
“Gege, bukankah kau bilang kalau
belum meninggal tidak bisa menyentuh apapun?” gumam Jihan. Ia terlalu takut
untuk tahu apa yang sedang terjadi.
“Tenang saja, aku akan cari tahu apa yang
terjadi.” Kihan segera meletakkan mangkuk bubur di samping mangkuk yang telah
lebih dulu menghuni meja.
Belum sempat Jihan memindahkan salah satu
mangkuk itu, tiba-tiba Jimin menggosok kedua matanya dan duduk. Alisnya
terangkat melihat dua mangkuk bubur di atas mejanya.
“Jimin-a...kau sudah bangun?” teriak
Taehyung yang diiringi suara kakinya yang berlari menaiki anak tangga. Jimin
hanya menoleh dan tersenyum begitu Taehyung telah berpose di pintu.
“Hyung, aku tahu kau
mengkhawatirkanku, tapi kurasa kau tidak perlu membuat dua mangkuk bubur,” ucap
Jimin ketika Seokjin melongok ke kamarnya.
“Aku? Apa maksudmu? Aku hanya membuat
seporsi. Untuk apa aku membuatkanmu sebanyak itu padahal kau tidak terlalu
menyukai bubur buatanku.” bantah Seokjin. Namun kedua matanya melebar begitu
Jimin menunjuk dua mangkuk di mejanya, salah satunya telah kosong.
Seokjin mengedikkan kepalanya kemudian
keluar, seakan-akan itu bukanlah sesuatu yang perlu dibahas lebih jauh. Berbeda
dengan Seokjin, Taehyung terus mendesak Jimin untuk memberitahunya sesuatu yang
mungkin saja akan menjadi hal yang menarik.
“Ini aneh. Kau kemarin juga dengar seseorang
memanggilku kan?” Taehyung mengangguk penuh antusias. “Hari ini aku mendapat
dua mangkuk bubur padahal Seokjin hyung hanya membuat satu. Dan hari ini
aku mendengar suara perempuan itu lagi, dari lantai bawah. Dia seperti sedang
mengajari seseorang memasak. Tapi aku tidak mendengar ada suara lain.”
“Kau tidak takut?” Taehyung mulai bergidik.
“Yang perlu kulakukan hanyalah pura-pura
tidak mendengar.”
Jihan membekap mulutnya. Ia lupa kalau
suaranya masih bisa didengar. Dan orang
yang ia kira sedang tertidur pulas, ternyata telah mendengarnya.
***
Riuh rendah terdengar dari lantai bawah.
Ketujuh pemuda itu entah sedang membahas apa sampai tawa mereka tidak berhenti
juga. Sementara Jihan masih meringkuk dengan gusar. Kakaknya belum juga muncul,
padahal rasa penasaran telah mencapai ubun-ubun.
“Mei?[4]” bisik Kihan yang baru
saja muncul tepat di samping tempat tidur Jimin.
“Ge..” bisik Jihan. Kihan berbalik
dan segera menghampiri adiknya yang gemetar ketakutan.
“Jangan khawatir, kau masih disana. Tapi
keadaanmu memang memburuk.” Jihan mulai terisak. Ia tidak bisa menahan air
matanya sampai Kihan mengingatkan kalau seseorang bisa mendengar suaranya.
***
Jimin membolak-balik bajunya, omelannya
keluar begitu baju-baju itu terlihat aneh di tubuhnya. Kedua matanya melebar
begitu sesosok manusia tertangkap penglihatannya tengah meringkuk di samping
lemari pakaiannya.
“Hyuuuuuuung...” Jimin langsung
berlari keluar setelah melempar pakaiannya, sementara Jihan tergagap begitu
baju itu menutupi sebagian wajahnya.
“Wae?” Seokjin segera mematikan
kompornya, sementara Yoongi yang sedari tadi berkutat dengan kertas dan penanya
hanya menoleh, kemudian mendengus begitu Jimin langsung memeluknya.
“Ya! Wae?” tanyanya tak sabar.
“Gwisin,[5] hyung...gwisin,”
Jimin tak juga melonggarkan pelukannya, membuat Yoongi terus-terusan memukul
lengan Jimin.
Jimin semakin panik, namun tak ada reaksi
apapun dari mereka, bahkan Seokjin kembali menghidupkan kompornya. Taehyung
yang baru saja bergabung langsung mengernyit melihat Jimin yang masih dalam
posisi memeluk Yoongi.
“Tidak ada hantu disini. Kalau pun ada, aku
yakin dia tidak akan mencoba mengintip roti sobekmu,” bantah Taehyung.
Sisi kekanak-kanakan Jimin semakin terlihat
begitu ia melepas pelukannya, menghentakkan kaki kanannya, kemudian berlari
menaiki anak tangga, mengabaikan Yoongi yang memintanya untuk berhati-hati agar
tidak terpeleset. Pintu kamar langsung dibantingnya. Ia terlalu kesal sekarang,
sampai-sampai lupa kalau di kamarnya lah sosok si hantu yang ia maksud.
Rasa takutnya kembali begitu sosok Jihan
tertangkap ekor matanya. Jihan bahkan menatap Jimin sekarang, membuat pemuda
itu kembali membeku.
“Jangan takut, aku tidak akan melukaimu.
Aku...penggemarmu,” Jihan ragu, ia tidak berani menatap Jimin sekarang. Pemuda
itu masih terdiam, terlebih karena seorang hantu baru saja berbicara dengannya,
tidak, sebuah hantu? Sekelebat hantu? entah bagaimana penyebutannya.
“Siapa kau?” entah dari mana Jimin mendapat
keberanian untuk berbicara dengan sesuatu yang ia sebut hantu.
Jihan menengadah dan tersenyum, untung saja
ia bisa berbahasa Korea. “Namaku Jihan, aku dari China. Jangan takut.
Sebenarnya aku baru saja kecelakaan dan aku masih koma, jadi aku bukan hantu.”
“Tapi tetap saja kau sesuatu yang tidak bisa
disentuh.” Jimin terlonjak begitu tangan dingin Jihan menyentuh tangannya. “Apa
kau yang membuatkan bubur untukku?”
“Ya, sebenarnya tidak. Aku hanya memberitahu
kakakku caranya. Dia yang menjadi tanganku.”
Obrolan mereka terhenti begitu seseorang
membuka pintu kamar Jimin. Refleks Jihan melompat ke belakang tubuh Jimin.
“Kudengar kau melihat hantu? Dimana hyung?”
tanya Jungkook, mencari-cari di sekeliling ruangan, di bawah tempat tidur, di
dalam lemari, dan di luar jendela.
“T-tidak. Siapa bilang?”
“Kau sendiri. Aku mendengarmu berteriak
tadi.”
“Ah tidak, kurasa aku tadi salah lihat.”
Jungkook sempat ragu, tapi kemudian mengangguk dan melangkah keluar.
“Baiklah, aku akan membiarkanmu tinggal
disini, tapi kau tidak boleh melihat apa yang seharusnya tidak kau lihat.”
“Kau bicara dengan siapa hyung?” Jungkook
kembali melongokkan kepalanya.
“Tidak, aku hanya latihan.”
“Latihan apa yang kau maksud, kau bahkan
tidak mendapat tawaran drama,” bisik Jungkook sebelum akhirnya benar-benar
pergi. Jimin bisa mendengar dengan jelas langkah kaki bocah itu menuruni anak
tangga.
Jimin kembali menoleh menatap Jihan. Ia tak
bisa menahan senyum melihat gadis itu melompat kegirangan dengan pipinya yang
kemerahan.
***
Hampir sebulan Jihan tinggal dengan ketujuh
pemuda tampan itu. Jimin yang sering dianggap penakut itu bahkan telah terbiasa
dengan kehadiran Jihan, lebih-lebih ia selalu menutupi kekacauan yang tidak
sengaja Jihan lakukan.
“Aku akan ke China hari ini. Beijing,” gumam
Jimin, masih mengemasi barang-barang.
Mata Jihan berbinar, bagaimanapun juga ia
merindukan kampung halamannya. Jimin yang menyadari sikap Jihan pun ikut
tersenyum.
“Hyung, kau sehat?” tanya Jungkook
begitu ia memergoki Jimin yang masih senyum-senyum sendiri. Jimin hanya
mendongak, kemudian mengangkat bahunya dan tersenyum lebar. “Ayo berangkat.”
Jungkook keluar setelah mengambil beberapa pasang kaos kaki dari lemari Jimin.
“Ni zhunbei haole ma?”[6] Jihan mengangguk penuh
antusias. Entah ada angin apa, tiba-tiba Jimin meraih tangan Jihan dan
menggenggamnya. Ia sedikit tersentak merasakan tangan Jihan yang super dingin,
tapi akhirnya ia malah menggenggam tangan gadis itu lebih erat.
Jimin memilih untuk berpisah dari
teman-temannya, hanya untuk menghindari mereka yang mungkin akan menyadari
kehadiran Jihan. Mereka sempat protes, tapi semuanya kembali tenang begitu ia
mengatakan ingin mampir ke suatu tempat.
“Dari mana?” tanya Namjoon begitu Jimin
telah berdiri di hadapan mereka.
“Bibiku mampir jadi aku harus menemuinya
sebentar.”
“Bibi? Kau tidak pernah cerita apapun
tentang bibimu,” bantah Taehyung penuh selidik.
“Kau punya pacar?” tanya Seokjin.
“Ey, hyung. Apa maksudmu?” protes
Jimin.
“Mungkin saja kan kau menemui pacarmu
sebelum berangkat. Itu yang biasa dilakukan orang-orang yang punya pacar,”
terang Seokjin.
“Terserah kau saja, yang pasti aku tidak punya
pacar sekarang.”
“Ah sudahlah, ayo berangkat. Jangan hiraukan
Seokjin hyung. Sebenarnya dia yang ingin punya pacar,” celetuk Yoongi, sebelum
akhirnya mendapatkan hadiah pukulan ringan di punggungnya.
Jimin masih tetap menggenggam tangan Jihan,
namun semakin lama ia semakin merasakan tangan Jihan menghilang. Jimin menoleh,
mendapati Jihan yang menatapnya panik. Gadis itu berusaha berteriak, namun
tidak ada suara yang keluar. Jimin berusaha meraihnya, namun sia-sia. Gadis itu
benar-benar telah menghilang dari pandangannya.
“Jihan-a...Xi Jihan...” Jimin terus
berteriak. Tidak peduli walaupun ia mendapat tatapan aneh orang-orang sekitar,
bahkan teman-temannya sendiri.
***
Kihan masih menatap adiknya yang belum juga
menunjukkan tanda-tanda akan kembali, sementara kedua orang tuanya tak
henti-henti merutuki diri mereka sendiri karena gagal menjaga Jihan.
“Gege...” Kihan menoleh, kedua
matanya bergetar. Perasaannya campur aduk sekarang.
Kemunculan Jihan yang mendadak membawa dua
kemungkinan, ia akan segera bangun, atau keadaannya akan memburuk dan ia akan
menghilang selamanya. Dan yang sering Kihan temui adalah seseorang yang
mendadak kembali dan kemudian menghilang selamanya. Ia hanya takut Jihan akan
mengalami hal yang sama.
“Apa yang terjadi? Kenapa aku tiba-tiba ada
disini?”
“Jangan keras-keras, mereka bisa
mendengarmu,” ucapnya, walau ia tahu suara Jihan tidak terdengar lagi.
“Gege, aku...gege...Kihan ge,
apa yang terjadi. Gege...” Jihan terus berteriak sampai sosoknya
benar-benar menghilang, sementara Kihan hanya bisa menangis sambil menunggu apa
yang akan terjadi selanjutnya.
Ia mendongak begitu suara gaduh memenuhi
ruangan. Orang tuanya menangis, sambil menggenggam tangan Jihan, bahkan ibunya
terus memeluk tubuh Jihan. Kihan terkulai lemas dengan pemandangan yang ada di
hadapannya. Tangisnya semakin tak tertahankan, sampai akhirnya ia melihat
jari-jari Jihan bergerak. Ternyata itu bukan tangis duka, melainkan tangisan
untuk menyambut Jihan yang telah kembali.
“Gege...” kata itu yang pertama ia
ucapkan, membuat kedua orang tuanya hanya bisa saling berpandangan dalam diam.
“Jihan? Ni neng ting dao wo ma?[7]” tanya ibunya, masih
terisak.
Jihan mulai membuka kedua matanya dan
menggerakkannya ke kanan dan kiri, “Mama? Baba?”[8] Keduanya tersenyum dan
memeluk Jihan bergantian. Jihan bisa melihat dengan jelas sosok lain melewati
bahu ibunya. Jihan mengedip pelan dan bergumam, “Gege?” kemudian
tersenyum begitu sosok itu tersenyum padanya.
***
Taehyung bersorak begitu mereka telah keluar
dari bandara, sementara Jimin langsung berlari menjauh setelah menitipkan
kopernya pada Jungkook. Ia tidak mempedulikan teriakan teman-temannya yang
memintanya untuk berhenti. Ia tidak boleh buang-buang waktu sekarang. Ia harus
segera mencari rumah sakit tempat Jihan dirawat.
Setelah memaksa sopir taksi untuk menaikkan
kecepatannya, akhirnya ia sampai di rumah sakit yang pernah Jihan sebutkan.
Langkahnya tidak bisa diperlambat lagi. Ia bahkan harus adu mulut dengan
resepsionis karena ia tidak mau menunggu lebih lama lagi. Jimin melesat begitu
si resepsionis memberitahukan ruangan dimana Jihan dirawat.
Langkahnya melambat, didekatinya pintu itu.
Ragu. Itulah yang ia rasakan sekarang.
“Wo de tou hao tong.”[9] Jimin mendongak. Suara itu
benar-benar suara Jihan.
Ditariknya pintu yang ada di hadapannya.
Seketika tiga pasang mata, dan sepasang mata lain, tertuju padanya. Ibu Jihan
tertegun, wajahnya penuh dengan tanda tanya. Jihan ternganga, ditatapnya sosok
Jimin yang masih berdiri menatapnya. Berbeda dengan keduanya, ayah Jihan
menyambut kehadiran Jimin dengan senyum cerah.
Menyadari sikap Jimin yang terlihat
canggung, ayah Jihan pun langsung menarik lengan ibu Jihan. Sempat menggumamkan
sesuatu saat melewati Jimin, “Kami titip Jihan sebentar.”
“Ni hao,”[10] sapa Jimin. Aneh, kenapa
tiba-tiba jadi canggung.
“Park Jimin?” Jihan menatapnya lekat-lekat,
kemudian terbelalak begitu Jimin menariknya ke dalam pelukannya.
Untuk pertama kalinya Jihan menyukai sosok
Jimin, bukan rasa kagum seorang penggemar pada idolanya, tapi rasa suka antara
pria dan wanita biasa. Rasa suka yang semakin tumbuh menjadi cinta.
THE END
[1]
(Cn) Gege : Kakak laki-laki.
_____________________________
Baru nyadar, posting FF kaya minum obat, 3x sehari. Tapi kagak mama papa lah, demi temen-temenku tercintah, eh salah..kakak-kakakku tercintah. Kak Jihan, my chim, semoga suka. Kak Kihan, sorry perannya jadi anu...peace bro. Jimin, roti sobek ente aman kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar