GG

GG
Follow my Twitter : @lovbie_df

Kamis, 06 Juli 2017

[FF] STALKER




STALKER

Kepalanya berdenyut, rasa sakit masih menguasainya sejak semalam. Namun ia segera bangkit dan menyeret kakinya ke luar. Ia kembali begitu sesuatu terlupakan. Puluhan bahkan ratusan foto seorang pria terpampang di dinding kamarnya. Senyuman tak henti-hentinya terlukis di wajahnya, tapi perhatian itu langsung teralihkan begitu ponselnya bergetar.
“Jadwal hari ini? Oke aku berangkat,” gumamnya.
Buru-buru ia berlari ke kamar mandi dan keluar setelah hampir sepuluh menit. Diambilnya sembarang jaket, kamera, dan bahkan ia tidak peduli untuk berpikir dulu mana sepatu yang akan ia pakai. Ia langsung menyambar sepatu berwarna merah menyala. Benar-benar tidak cocok dengan kaos hijau dan jaket abu-abunya.
“Hoyyy Song,” Hima mendengus begitu seseorang melambaikan tangan ke arahnya. Sebenarnya dari tadi Hima berusaha menutupi wajahnya agar gadis yang tengah melambaikan tangannya itu tidak melihatnya.
“Langsung saja, aku harus kerja,” kata Hima seraya menyerobot segelas jus jeruk dari tangan Yongbin.
“Lagi?” pekiknya. Ia mendesah begitu Hima mengangguk dan nyengir, menampakkan gigi-giginya yang rapi.
Yongbin tidak akan sekaget itu kalau 'kerja' yang Hima maksud adalah kerja pada umumnya. Karena kerja yang Hima maksud adalah saat dimana ia mengikuti seseorang dan mengambil beberapa foto targetnya, atau sekedar mengikuti targetnya kemanapun sampai bulan menggantikan posisi si matahari. Hima tidak mengikuti sembarang orang, karena ia konsisten pada satu target. Park Chanyeol, si rapper terkenal dari group ternama yang kini disanjung di seluruh dunia. Ya, Park Chanyeol adalah target tetap Song Hima. Ia mungkin menganggapnya sebagai pekerjaan, tapi orang lain mungkin akan menganggapnya sebagai...
“Ya! Aku bukan stalker. Ini benar-benar pekerjaan,” protes Hima.
“Kau menganggapnya pekerjaan sementara kau tidak dibayar,” cibir Yongbin.
“Ya! Lee Yongbin, paling tidak rasa penasaranku sudah terbayar,” bantahnya. “Aku harus pergi sebelum dia tidak terdeteksi.”
Hima langsung beranjak setelah mengembalikan gelas kosong itu pada Yongbin, sementara Yongbin terus protes agar Hima mengganti jusnya.
 ***
Pria berkaca mata hitam, lengkap dengan masker, sedari tadi hanya duduk dengan gitar bertengger indah di kursi, tepat di samping kirinya. Dengan sikap angkuh dan dinginnya itu, orang lain tidak akan sadar kalau ia adalah seorang superstar yang memiliki kepribadian lain saat di depan kamera. Di depan kamera dan fans, ia adalah orang paling ceria, paling konyol, dan paling mudah membuat orang lain tertawa. Namun ketika semua telah berakhir, ia akan muncul dengan pribadi yang lain. Pria angkuh, sombong, dengan segala lelucon yang membosankan.
“Baiklah, semua itu hanya konsep,” dengus Hima yang masih duduk tenang dengan kamera di depannya, mengarah tepat ke tempat Chanyeol duduk.
Hima bergegas mengemasi barang-barangnya karena Chanyeol meraih gitar dan beranjak. Ia mengikuti sang superstar menjauh dari keramaian. Chanyeol berkali-kali menoleh begitu merasa seseorang mengikutinya, dan saat itu juga Hima berhasil lolos setelah pura-pura berkutat dengan kameranya.
Ya!”
“Wah! Ada lily,” serunya, berlari melewati Chanyeol, berharap pria itu tidak menyadari kalau ia sedang berusaha melarikan diri.
Ya!”
Hima menoleh ke kedua sisinya, kemudian mengerjap, menatap Chanyeol dan mengarahkan jari telunjuk pada dirinya sendiri, bertanya apakah ia yang dipanggil.
“Siapa lagi? Tidak ada orang lain di sini,” desisnya.
“Baiklah, ini tidak menyenangkan lagi,” gumamnya.
“Kau pikir selama ini aku tidak tahu? Aku tidak bisa membiarkanmu lagi sekarang.”
“Apa yang akan kau lakukan?” tanya Hima, mulai was-was.
“Menurutmu? Apa aku harus mengambil keputusan yang menyenangkan? Haruskah aku membawamu ke kantor polisi?”
“Tidak, jangan. Kumohon. Aku akan melakukan apa saja. Kumohon jangan polisi,” jerit Hima.
“Apa saja? Kau yakin?” Hima semakin was-was. Apa itu lebih baik dari polisi? “Kalau begitu biarkan aku ke rumahmu. Aku perlu menghindari orang-orang sepertimu.”
“Ke rumahku? Tidak, kau tidak bisa kesana.” Terlalu mengerikan membayangkan Chanyeol melihat ratusan potret dirinya terpajang di dinding dengan berbagai ekspresi.
“Baiklah, polisi.”
“Tidaaak. Baiklah, kau akan ke rumahku, tapi tunggu di luar. Kamarku terlalu berantakan.”
“Tidak masalah.” Chanyeol semakin dingin, sementara Hima mulai merutuki dirinya sendiri dan berharap mendapat kekuatan untuk bisa menghilangkan ingatan pria di hadapannya itu.
***
“Chanyeol belum kembali,” celetuk Minseok.
“Biarkan saja. Aku tidak ingin berurusan dengan orang itu,” sahut Baekhyun seraya mengetuk-ngetuk meja sementara Kyungsoo berkali-kali mendengus melihat bahan-bahan masakannya melompat-lompat karena ulah Baekhyun.
“Ya! Ada apa dengan kalian? Kenapa semuanya jadi membenci Chanyeol?” tanya Junmyeon.
“Bukankah dia yang mulai? Dia selalu menyalahkan kita atas kematian anjingnya,” protes Jongin.
“Padahal anjing itu kabur dan tertabrak. Kita sama sekali tidak terlibat di dalamnya,” imbuh Sehun.
“Dia semakin menyebalkan. Padahal itu sudah lebih dari setahun,” gerutu Baekhyun.
Suasana kembali hening, hanya suara pisau Kyungsoo yang terdengar, memotong wortel yang sedari tadi diambil Baekhyun. Semua terlalu sibuk dengan ponselnya masing-masing, sampai akhirnya semua kepala melongok menatap ponsel Jongin yang tiba-tiba berdering.
“Siapa?”
Wae?” tanya Jongin, mengabaikan pertanyaan Baekhyun dan menjauh dari teman-temannya. “Tidak biasanya kau menghubungiku.”
“...”
“Apa? Kau serius? Aku akan memberitahu yang lain.” Jongin kembali ke dapur begitu ia telah mengakhiri percakapannya. “Aku tahu dimana bocah itu.”
***
Hima mendelik, walaupun ada rasa malu di balik sikap tenangnya. Chanyeol masih berkeliling, mengamati potret-potret wajahnya yang memenuhi dinding. Berkali-kali Chanyeol terkikik, tersenyum puas, bahkan protes saat melihat potret dirinya.
“Ehm, emm...Park Chanyeol. Apa alasanmu ingin ke rumahku? Bukankah seharusnya kau takut karena mungkin saja aku akan melukaimu. Aku punya pisau di sana,” ucap Hima ragu, lagipula ia juga tidak mungkin melukai Chanyeol.
“Bagaimana mungkin seseorang yang takut dengan benda tajam akan melukaiku dengan pisau,” kali ini Chanyeol berbalik dan menampilkan senyum jahatnya.
“A-apa? Darimana kau tahu...”
“Karena aku mengenalmu, nona Song.” Hima terdiam, tubuhnya serasa membeku. Sebagian dirinya memang senang karena pria itu mengenalnya. Tapi sebagian yang lain malah sebaliknya, ia merasa telah gagal dalam 'pekerjaan'nya.
“Song Hima,” keduanya terlonjak begitu suara lain terdengar. Jongin, dengan napasnya yang memburu, langsung mengguncang tubuh Hima. “Kau baik-baik saja?”
“Kau pikir aku orang jahat?” protes Chanyeol. Wajahnya tidak lagi semenyebalkan tadi. Malah tampang kesal lah yang muncul. “Tempatmu sudah tidak menyenangkan lagi,” Chanyeol menyambar gitarnya dan bergegas pergi setelah membanting pintu.
Jongin menghempaskan tubuhnya ke sofa begitu melihat dinding yang penuh dengan wajah Chanyeol. “Kau masih melakukannya? Bagaimana mungkin kau mengidolakan manusia bermuka dua seperti dia.”
“Kau pikir kau berbeda dengannya? Kalian sama saja. Saling bercanda, tertawa, terlihat akrab di depan kamera. Tapi nyatanya semua hanya sandiwara. Aku yakin bahkan kalian akan saling membunuh kalau terus dibiarkan.”
***
Satu hal yang paling Hima benci adalah dering ponselnya di pagi hari, bahkan ketika kedua matanya belum terbuka sempurna. Sayangnya itulah yang terjadi sekarang. Ingin rasanya melempar benda yang sedari tadi menjerit itu, tapi nama yang tertera di layar ponselnya berhasil membuatnya terlonjak.
A-appa[1],” bisik Hima. Ia mulai mendengus begitu ayahnya memintanya untuk pulang. Hima terus merengek. Ia tidak ingin pulang ke rumah ayahnya. Ia bersikeras untuk hidup sendiri sejak ayahnya itu memutuskan untuk menikah lagi.
Diletakkannya ponsel itu di tepi meja riasnya. Begitu lima menit berlalu, Hima mulai mendengus, berteriak, menjambak rambutnya sendiri, bahkan menggaruk dinding kamarnya, tidak, sebenarnya hanya membelai foto Chanyeol. Seberapa pun bencinya ia pada keluarganya itu, tapi sekali ayahnya memanggil, ia harus segera datang atau dua pria berbadan kekar akan menyeretnya.

Hima memandangi sekelilingnya. Sepertinya tidak ada yang berubah sejak ia pergi tahun lalu. Tidak, ternyata ada yang berubah. Bunga yang pernah ia tanam tidak ada disana. Hima tersenyum kecut begitu ia berpikir ia tidak lagi dianggap di tempat ini.
“Oh, noona,” seorang bocah laki-laki muncul dari balik pintu. “Kau benar-benar Hima noona kan? Wah, akhirnya kau pulang.”
“Kau pikir aku akan tinggal dengan kalian selamanya? Aku kesini karena ayah memanggilku,” jawab Hima ogah-ogahan. “Dan lagi, aku bukan noona-mu, jadi berhenti bersikap seolah kita akrab,” imbuhnya.
“Ah, dia mulai lagi,” gerutu Jaemin begitu punggung Hima telah menghilang dari pandangannya.

Suasana di meja makan sungguh menyebalkan setelah Ibu tiri Hima menyinggung baju baru yang harus Hima pakai nanti sore. Hima terus menolak, perdebatan terus berlangsung sampai ayahnya mengatakan kalau nanti keluarga calon suaminya akan datang. Calon suami. Ya, Hima sedang dijodohkan.
Noona,  tenang saja. Aku sudah bertemu dengannya. Dia benar-benar keren. Aku yakin kau akan menyukainya,” Jaemin mengacungkan dua ibu jarinya dan cengengesan.
Hima segera beranjak setelah menggebrak meja, sempat membuat Jaemin menyemburkan airnya.
“Sepertinya itu tidak akan berhasil,” gumam Jaemin pasrah, sementara kedua orang tuanya memberinya tatapan tajam agar ia diam.
***
Di lantai bawah, suara-suara lain terdengar. Hima terdiam karena tiba-tiba sesuatu melintas di benaknya.
“Perjodohan?”
Langkahnya tak karuan. Ia terus mondar-mandir dan sesekali melirik balkon. Setelah mendapat firasat kalau akan ada yang datang ke kamarnya, Hima langsung menyambar tasnya dan melompati pagar. Tidak setinggi yang ia bayangkan, tapi cukup sakit kalau sampai terjatuh. Mungkin akan terkilir, atau patah.
Ia ragu begitu memikirkan resiko terburuk yang akan menimpanya. Namun, terlambat. Ia tidak bisa mundur lagi karena posisinya yang sudah bergelantungan disana. Belum lagi memikirkan bagaimana caranya mendarat dengan indah, tangannya yang penuh keringat tidak mampu lagi menahan berat tubuhnya.
Bughhh...
Hima merintih pelan, mengusap kaki kanannya yang terus berdenyut. Dengan mengendap-endap, ia menyeret kakinya keluar melewati pagar yang anehnya secara kebetulan tidak ada yang menjaga. Ia berniat untuk bersorak sampai akhirnya ia menyadari seseorang datang.
“Apa yang anda lakukan disini? Bukankah anda seharusnya ada didalam?”
“Ah, itu...emm...aku harus membeli buah.”
“Tapi aku baru saja membelikannya,” Hima tercekat begitu Paman Lee menunjukkan kantong plastik berisi buah-buahan di tangan kanannya.
“Paman, tidak bisakah aku pergi? Aku harus kerja,” rengek Hima, terus-terusan menarik lengan Paman Lee.
“Kurasa tuan sudah meminta izin agar anda cuti hari ini.”
“Ey...tidak mungkin. Ayahku bahkan tidak tahu aku kerja dimana.”
“Tidak, tuan sangat tahu. Tuan sangat tahu kalau pekerjaan yang anda maksud adalah membuntuti idol dan mengambil foto secara diam-diam. Apa sebutannya? Emm...stalker? Ya, tuan tahu kalau anda adalah stalker,” ucap Paman Lee sambil tersenyum. Entah sadar atau tidak, senyumnya benar-benar membuat orang lain ingin melempar apa saja ke wajahnya.
Dengan terpaksa, Hima menurut begitu ia dituntun masuk. Kepalanya terus menunduk. Tentu saja ia cukup malu karena usahanya untuk kabur gagal.
Noona, kapan kau keluar? Aku tidak melihatmu lewat sini tadi,” celetuk Jaemin. Namun ia tidak mengharapkan jawaban begitu ibunya mencubit lengannya pelan.
Appa. Aku harus kerja sekarang, kumohon lepaskan aku.”
“Apa aku mengikatmu? Ya! Lagipula pekerjaan macam apa itu, membuntuti orang lain dan mengambil fotonya diam-diam.”
Hima mulai gondok. Ditatapnya kedua mata sang ayah yang kini balas menatapnya dengan tatapan menyebalkan. “Appa, bisa tidak hanya garis besarnya saja? Itu terlalu jelas,” protes Hima. Ia langsung berpaling begitu seseorang terkikik pelan.
Kedua bola matanya yang besar itu kini benar-benar seperti memaksa keluar. Mulutnya ternganga melihat sosok pria tampan yang duduk di sofa rumahnya. Tidak tahan dengan tingkah kakaknya, Jaemin langsung memasukkan potongan kue ke dalam mulut Hima, membuat gadis itu tersedak sebelum akhirnya melotot tajam pada Jaemin.
“Paling tidak aku sudah menyelamatkanmu dari lalat-lalat yang siap dengan kuda-kuda mereka,” Pembelaan Jaemin membuat tawa semua orang meledak, tentu saja kecuali Hima yang masih menggerutu tidak jelas.
Setelah suasana kembali tenang, dua keluarga mulai membahas rencana pertunangan keduanya. Namun Chanyeol yang masih dengan status idol-nya itu meminta waktu dan sedikit syarat, untuk merahasiakan hubungan mereka, karena agensinya belum mengizinkannya untuk berkencan.

“Kenapa kau tidak menolak?” tanya Hima setelah mereka menjauh dari rumah.
“Aku tidak bisa menolak untuk menikah dengan cinta pertamaku,” manik mata Chanyeol memandang manik mata Hima yang masih tampak kosong.
“Cinta pertama apanya? Kau tidak pernah menyatakan cintamu. Dan lagi, kita ngobrol pun masih kemarin.”
Ya! Apa kau menghapus ingatanmu setelah lulus SD?”
“Ey...siapa juga yang mau mengingat saat-saat kelam itu? Aku selalu saja jadi korban, sampai akhirnya seorang pangeran menyelamatkanku. Bukan pangeran berkuda putih, tapi dia cukup unik. Dia bertelinga lebar dan memperkenalkan dirinya sebagai Channie. Dia bertingkah sok imut dengan nama itu, padahal nama aslinya...” Hima terdiam, tawanya menghilang. Kini ia memandang Chanyeol, tidak tahu harus berkata apa.
Chanyeol mengangkat alis kirinya dan tersenyum, “Bukankah dia memang imut?”
Hima menjauh begitu Chanyeol mengedipkan matanya. “Kau...kau Chanyeol yang itu? Channie?”
“Ya, aku Channie. Cinta pertamamu.”
Chanyeol tertawa melihat Hima yang langsung membekap mulutnya. Hampir saja Hima pingsan kalau saja Chanyeol tidak menangkapnya dan mencubit pipinya. Takdirnya yang mencengangkan benar-benar membuatnya hampir gila.

THE END




[1] (Kr) Ayah.

________________________________
 Ngebut.....kenapa? karena mau KKN cuyyy..doain sukses ye....
Song Hima itu temen ane, kakak tercintahhh, visual paling cetarrrrr...suaranya pun cetarrrr....
Kak Ohim...special for you. Hope you like it :*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar