STALKER
Kepalanya berdenyut, rasa sakit masih menguasainya
sejak semalam. Namun ia segera bangkit dan menyeret kakinya ke luar. Ia kembali
begitu sesuatu terlupakan. Puluhan bahkan ratusan foto seorang pria terpampang
di dinding kamarnya. Senyuman tak henti-hentinya terlukis di wajahnya, tapi
perhatian itu langsung teralihkan begitu ponselnya bergetar.
“Jadwal hari ini? Oke aku berangkat,”
gumamnya.
Buru-buru ia berlari ke kamar mandi dan
keluar setelah hampir sepuluh menit. Diambilnya sembarang jaket, kamera, dan
bahkan ia tidak peduli untuk berpikir dulu mana sepatu yang akan ia pakai. Ia
langsung menyambar sepatu berwarna merah menyala. Benar-benar tidak cocok
dengan kaos hijau dan jaket abu-abunya.
“Hoyyy Song,” Hima mendengus begitu
seseorang melambaikan tangan ke arahnya. Sebenarnya dari tadi Hima berusaha
menutupi wajahnya agar gadis yang tengah melambaikan tangannya itu tidak
melihatnya.
“Langsung saja, aku harus kerja,” kata Hima
seraya menyerobot segelas jus jeruk dari tangan Yongbin.
“Lagi?” pekiknya. Ia mendesah begitu Hima
mengangguk dan nyengir, menampakkan gigi-giginya yang rapi.
Yongbin tidak akan sekaget itu kalau 'kerja'
yang Hima maksud adalah kerja pada umumnya. Karena kerja yang Hima maksud
adalah saat dimana ia mengikuti seseorang dan mengambil beberapa foto
targetnya, atau sekedar mengikuti targetnya kemanapun sampai bulan menggantikan
posisi si matahari. Hima tidak mengikuti sembarang orang, karena ia konsisten
pada satu target. Park Chanyeol, si rapper terkenal dari group ternama
yang kini disanjung di seluruh dunia. Ya, Park Chanyeol adalah target tetap
Song Hima. Ia mungkin menganggapnya sebagai pekerjaan, tapi orang lain mungkin
akan menganggapnya sebagai...
“Ya! Aku bukan stalker. Ini
benar-benar pekerjaan,” protes Hima.
“Kau menganggapnya pekerjaan sementara kau
tidak dibayar,” cibir Yongbin.
“Ya! Lee Yongbin, paling tidak rasa
penasaranku sudah terbayar,” bantahnya. “Aku harus pergi sebelum dia tidak
terdeteksi.”
Hima langsung beranjak setelah mengembalikan
gelas kosong itu pada Yongbin, sementara Yongbin terus protes agar Hima
mengganti jusnya.
***
Pria berkaca mata hitam, lengkap dengan
masker, sedari tadi hanya duduk dengan gitar bertengger indah di kursi, tepat
di samping kirinya. Dengan sikap angkuh dan dinginnya itu, orang lain tidak
akan sadar kalau ia adalah seorang superstar yang memiliki kepribadian lain
saat di depan kamera. Di depan kamera dan fans, ia adalah orang paling
ceria, paling konyol, dan paling mudah membuat orang lain tertawa. Namun ketika
semua telah berakhir, ia akan muncul dengan pribadi yang lain. Pria angkuh,
sombong, dengan segala lelucon yang membosankan.
“Baiklah, semua itu hanya konsep,” dengus
Hima yang masih duduk tenang dengan kamera di depannya, mengarah tepat ke tempat
Chanyeol duduk.
Hima bergegas mengemasi barang-barangnya
karena Chanyeol meraih gitar dan beranjak. Ia mengikuti sang superstar menjauh
dari keramaian. Chanyeol berkali-kali menoleh begitu merasa seseorang
mengikutinya, dan saat itu juga Hima berhasil lolos setelah pura-pura berkutat
dengan kameranya.
“Ya!”
“Wah! Ada lily,” serunya, berlari melewati
Chanyeol, berharap pria itu tidak menyadari kalau ia sedang berusaha melarikan
diri.
“Ya!”
Hima menoleh ke kedua sisinya, kemudian
mengerjap, menatap Chanyeol dan mengarahkan jari telunjuk pada dirinya sendiri,
bertanya apakah ia yang dipanggil.
“Siapa lagi? Tidak ada orang lain di sini,”
desisnya.
“Baiklah, ini tidak menyenangkan lagi,”
gumamnya.
“Kau pikir selama ini aku tidak tahu? Aku
tidak bisa membiarkanmu lagi sekarang.”
“Apa yang akan kau lakukan?” tanya Hima,
mulai was-was.
“Menurutmu? Apa aku harus mengambil
keputusan yang menyenangkan? Haruskah aku membawamu ke kantor polisi?”
“Tidak, jangan. Kumohon. Aku akan melakukan
apa saja. Kumohon jangan polisi,” jerit Hima.
“Apa saja? Kau yakin?” Hima semakin was-was.
Apa itu lebih baik dari polisi? “Kalau begitu biarkan aku ke rumahmu. Aku perlu
menghindari orang-orang sepertimu.”
“Ke rumahku? Tidak, kau tidak bisa kesana.”
Terlalu mengerikan membayangkan Chanyeol melihat ratusan potret dirinya
terpajang di dinding dengan berbagai ekspresi.
“Baiklah, polisi.”
“Tidaaak. Baiklah, kau akan ke rumahku, tapi
tunggu di luar. Kamarku terlalu berantakan.”
“Tidak masalah.” Chanyeol semakin dingin,
sementara Hima mulai merutuki dirinya sendiri dan berharap mendapat kekuatan
untuk bisa menghilangkan ingatan pria di hadapannya itu.
***
“Chanyeol belum kembali,” celetuk Minseok.
“Biarkan saja. Aku tidak ingin berurusan
dengan orang itu,” sahut Baekhyun seraya mengetuk-ngetuk meja sementara
Kyungsoo berkali-kali mendengus melihat bahan-bahan masakannya melompat-lompat
karena ulah Baekhyun.
“Ya! Ada apa dengan kalian? Kenapa semuanya
jadi membenci Chanyeol?” tanya Junmyeon.
“Bukankah dia yang mulai? Dia selalu
menyalahkan kita atas kematian anjingnya,” protes Jongin.
“Padahal anjing itu kabur dan tertabrak.
Kita sama sekali tidak terlibat di dalamnya,” imbuh Sehun.
“Dia semakin menyebalkan. Padahal itu sudah
lebih dari setahun,” gerutu Baekhyun.
Suasana kembali hening, hanya suara pisau
Kyungsoo yang terdengar, memotong wortel yang sedari tadi diambil Baekhyun.
Semua terlalu sibuk dengan ponselnya masing-masing, sampai akhirnya semua
kepala melongok menatap ponsel Jongin yang tiba-tiba berdering.
“Siapa?”
“Wae?” tanya Jongin, mengabaikan
pertanyaan Baekhyun dan menjauh dari teman-temannya. “Tidak biasanya kau
menghubungiku.”
“...”
“Apa? Kau serius? Aku akan memberitahu yang
lain.” Jongin kembali ke dapur begitu ia telah mengakhiri percakapannya. “Aku
tahu dimana bocah itu.”
***
Hima mendelik, walaupun ada rasa malu di
balik sikap tenangnya. Chanyeol masih berkeliling, mengamati potret-potret
wajahnya yang memenuhi dinding. Berkali-kali Chanyeol terkikik, tersenyum puas,
bahkan protes saat melihat potret dirinya.
“Ehm, emm...Park Chanyeol. Apa alasanmu
ingin ke rumahku? Bukankah seharusnya kau takut karena mungkin saja aku akan
melukaimu. Aku punya pisau di sana,” ucap Hima ragu, lagipula ia juga tidak
mungkin melukai Chanyeol.
“Bagaimana mungkin seseorang yang takut
dengan benda tajam akan melukaiku dengan pisau,” kali ini Chanyeol berbalik dan
menampilkan senyum jahatnya.
“A-apa? Darimana kau tahu...”
“Karena aku mengenalmu, nona Song.” Hima
terdiam, tubuhnya serasa membeku. Sebagian dirinya memang senang karena pria
itu mengenalnya. Tapi sebagian yang lain malah sebaliknya, ia merasa telah
gagal dalam 'pekerjaan'nya.
“Song Hima,” keduanya terlonjak begitu suara
lain terdengar. Jongin, dengan napasnya yang memburu, langsung mengguncang
tubuh Hima. “Kau baik-baik saja?”
“Kau pikir aku orang jahat?” protes
Chanyeol. Wajahnya tidak lagi semenyebalkan tadi. Malah tampang kesal lah yang
muncul. “Tempatmu sudah tidak menyenangkan lagi,” Chanyeol menyambar gitarnya
dan bergegas pergi setelah membanting pintu.
Jongin menghempaskan tubuhnya ke sofa begitu
melihat dinding yang penuh dengan wajah Chanyeol. “Kau masih melakukannya?
Bagaimana mungkin kau mengidolakan manusia bermuka dua seperti dia.”
“Kau pikir kau berbeda dengannya? Kalian
sama saja. Saling bercanda, tertawa, terlihat akrab di depan kamera. Tapi
nyatanya semua hanya sandiwara. Aku yakin bahkan kalian akan saling membunuh
kalau terus dibiarkan.”
***
Satu hal yang paling Hima benci adalah
dering ponselnya di pagi hari, bahkan ketika kedua matanya belum terbuka
sempurna. Sayangnya itulah yang terjadi sekarang. Ingin rasanya melempar benda
yang sedari tadi menjerit itu, tapi nama yang tertera di layar ponselnya
berhasil membuatnya terlonjak.
“A-appa[1],” bisik Hima. Ia
mulai mendengus begitu ayahnya memintanya untuk pulang. Hima terus merengek. Ia
tidak ingin pulang ke rumah ayahnya. Ia bersikeras untuk hidup sendiri sejak
ayahnya itu memutuskan untuk menikah lagi.
Diletakkannya ponsel itu di tepi meja
riasnya. Begitu lima menit berlalu, Hima mulai mendengus, berteriak, menjambak
rambutnya sendiri, bahkan menggaruk dinding kamarnya, tidak, sebenarnya hanya
membelai foto Chanyeol. Seberapa pun bencinya ia pada keluarganya itu, tapi
sekali ayahnya memanggil, ia harus segera datang atau dua pria berbadan kekar
akan menyeretnya.
Hima memandangi sekelilingnya. Sepertinya
tidak ada yang berubah sejak ia pergi tahun lalu. Tidak, ternyata ada yang
berubah. Bunga yang pernah ia tanam tidak ada disana. Hima tersenyum kecut
begitu ia berpikir ia tidak lagi dianggap di tempat ini.
“Oh, noona,” seorang bocah laki-laki
muncul dari balik pintu. “Kau benar-benar Hima noona kan? Wah, akhirnya
kau pulang.”
“Kau pikir aku akan tinggal dengan kalian
selamanya? Aku kesini karena ayah memanggilku,” jawab Hima ogah-ogahan. “Dan
lagi, aku bukan noona-mu, jadi berhenti bersikap seolah kita akrab,”
imbuhnya.
“Ah, dia mulai lagi,” gerutu Jaemin begitu
punggung Hima telah menghilang dari pandangannya.
Suasana di meja makan sungguh menyebalkan
setelah Ibu tiri Hima menyinggung baju baru yang harus Hima pakai nanti sore.
Hima terus menolak, perdebatan terus berlangsung sampai ayahnya mengatakan
kalau nanti keluarga calon suaminya akan datang. Calon suami. Ya, Hima sedang
dijodohkan.
“Noona, tenang saja. Aku sudah bertemu dengannya. Dia
benar-benar keren. Aku yakin kau akan menyukainya,” Jaemin mengacungkan dua ibu
jarinya dan cengengesan.
Hima segera beranjak setelah menggebrak
meja, sempat membuat Jaemin menyemburkan airnya.
“Sepertinya itu tidak akan berhasil,” gumam
Jaemin pasrah, sementara kedua orang tuanya memberinya tatapan tajam agar ia
diam.
***
Di lantai bawah, suara-suara lain terdengar.
Hima terdiam karena tiba-tiba sesuatu melintas di benaknya.
“Perjodohan?”
Langkahnya tak karuan. Ia terus
mondar-mandir dan sesekali melirik balkon. Setelah mendapat firasat kalau akan
ada yang datang ke kamarnya, Hima langsung menyambar tasnya dan melompati
pagar. Tidak setinggi yang ia bayangkan, tapi cukup sakit kalau sampai
terjatuh. Mungkin akan terkilir, atau patah.
Ia ragu begitu memikirkan resiko terburuk
yang akan menimpanya. Namun, terlambat. Ia tidak bisa mundur lagi karena
posisinya yang sudah bergelantungan disana. Belum lagi memikirkan bagaimana
caranya mendarat dengan indah, tangannya yang penuh keringat tidak mampu lagi
menahan berat tubuhnya.
Bughhh...
Hima merintih pelan, mengusap kaki kanannya
yang terus berdenyut. Dengan mengendap-endap, ia menyeret kakinya keluar
melewati pagar yang anehnya secara kebetulan tidak ada yang menjaga. Ia berniat
untuk bersorak sampai akhirnya ia menyadari seseorang datang.
“Apa yang anda lakukan disini? Bukankah anda
seharusnya ada didalam?”
“Ah, itu...emm...aku harus membeli buah.”
“Tapi aku baru saja membelikannya,” Hima
tercekat begitu Paman Lee menunjukkan kantong plastik berisi buah-buahan di
tangan kanannya.
“Paman, tidak bisakah aku pergi? Aku harus
kerja,” rengek Hima, terus-terusan menarik lengan Paman Lee.
“Kurasa tuan sudah meminta izin agar anda
cuti hari ini.”
“Ey...tidak mungkin. Ayahku bahkan tidak
tahu aku kerja dimana.”
“Tidak, tuan sangat tahu. Tuan sangat tahu
kalau pekerjaan yang anda maksud adalah membuntuti idol dan mengambil
foto secara diam-diam. Apa sebutannya? Emm...stalker? Ya, tuan tahu
kalau anda adalah stalker,” ucap Paman Lee sambil tersenyum. Entah sadar
atau tidak, senyumnya benar-benar membuat orang lain ingin melempar apa saja ke
wajahnya.
Dengan terpaksa, Hima menurut begitu ia
dituntun masuk. Kepalanya terus menunduk. Tentu saja ia cukup malu karena
usahanya untuk kabur gagal.
“Noona, kapan kau keluar? Aku tidak
melihatmu lewat sini tadi,” celetuk Jaemin. Namun ia tidak mengharapkan jawaban
begitu ibunya mencubit lengannya pelan.
“Appa. Aku harus kerja sekarang,
kumohon lepaskan aku.”
“Apa aku mengikatmu? Ya! Lagipula
pekerjaan macam apa itu, membuntuti orang lain dan mengambil fotonya
diam-diam.”
Hima mulai gondok. Ditatapnya kedua mata
sang ayah yang kini balas menatapnya dengan tatapan menyebalkan. “Appa,
bisa tidak hanya garis besarnya saja? Itu terlalu jelas,” protes Hima. Ia
langsung berpaling begitu seseorang terkikik pelan.
Kedua bola matanya yang besar itu kini
benar-benar seperti memaksa keluar. Mulutnya ternganga melihat sosok pria
tampan yang duduk di sofa rumahnya. Tidak tahan dengan tingkah kakaknya, Jaemin
langsung memasukkan potongan kue ke dalam mulut Hima, membuat gadis itu
tersedak sebelum akhirnya melotot tajam pada Jaemin.
“Paling tidak aku sudah menyelamatkanmu dari
lalat-lalat yang siap dengan kuda-kuda mereka,” Pembelaan Jaemin membuat tawa
semua orang meledak, tentu saja kecuali Hima yang masih menggerutu tidak jelas.
Setelah suasana kembali tenang, dua keluarga
mulai membahas rencana pertunangan keduanya. Namun Chanyeol yang masih dengan
status idol-nya itu meminta waktu dan sedikit syarat, untuk merahasiakan
hubungan mereka, karena agensinya belum mengizinkannya untuk berkencan.
“Kenapa kau tidak menolak?” tanya Hima
setelah mereka menjauh dari rumah.
“Aku tidak bisa menolak untuk menikah dengan
cinta pertamaku,” manik mata Chanyeol memandang manik mata Hima yang masih
tampak kosong.
“Cinta pertama apanya? Kau tidak pernah
menyatakan cintamu. Dan lagi, kita ngobrol pun masih kemarin.”
“Ya! Apa kau menghapus ingatanmu
setelah lulus SD?”
“Ey...siapa juga yang mau mengingat
saat-saat kelam itu? Aku selalu saja jadi korban, sampai akhirnya seorang
pangeran menyelamatkanku. Bukan pangeran berkuda putih, tapi dia cukup unik.
Dia bertelinga lebar dan memperkenalkan dirinya sebagai Channie. Dia bertingkah
sok imut dengan nama itu, padahal nama aslinya...” Hima terdiam, tawanya
menghilang. Kini ia memandang Chanyeol, tidak tahu harus berkata apa.
Chanyeol mengangkat alis kirinya dan
tersenyum, “Bukankah dia memang imut?”
Hima menjauh begitu Chanyeol mengedipkan
matanya. “Kau...kau Chanyeol yang itu? Channie?”
“Ya, aku Channie. Cinta pertamamu.”
Chanyeol tertawa melihat Hima yang langsung
membekap mulutnya. Hampir saja Hima pingsan kalau saja Chanyeol tidak
menangkapnya dan mencubit pipinya. Takdirnya yang mencengangkan benar-benar
membuatnya hampir gila.
THE END
[1]
(Kr) Ayah.
________________________________
Ngebut.....kenapa? karena mau KKN cuyyy..doain sukses ye....
Song Hima itu temen ane, kakak tercintahhh, visual paling cetarrrrr...suaranya pun cetarrrr....
Kak Ohim...special for you. Hope you like it :*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar