“Aku tidak ingin jadi
guru, aku tidak bisa bicara di depan banyak orang”
Aku ingat betul kalimat yang sering kuucapkan selama hampir 5 tahun terakhir. Semuanya terasa konyol saat aku sadar kalau aku sekarang sedang menempuh kuliah di fakultas tarbiyah dan ilmu keguruan. Bukankah kemungkinan nanti aku akan menjadi seorang guru dan mengajar di depan murid-murid dengan berbagai karakter?. Tapi bagaimanapun juga aku tetap menempuh kuliahku tanpa membuang kalimat itu dari pikiranku. Aku tidak peduli, aku hanya ingin mempelajari ilmu ini lebih mendalam, itu saja.
Kekonyolan itu tidak berhenti,
bahkan tiba-tiba saja aku berminat untuk mengikuti program mengajar yang
diadakan himpunan mahasiswa jurusanku. Program mengajar, bayangkan saja betapa
konyolnya orang yang sebelumnya benci menjadi guru, tapi tiba-tiba menawarkan
diri untuk menjadi guru. Entahlah, aku tidak tahu apa yang sedang melintas di
otakku kala itu.
Setelah
melewati beberapa tes, akhirnya aku lolos. Semua peserta yang lolos tes
mengajar itu mendapatkan julukan sebagai volunteer. Namanya juga volunteer,
tentu saja kami tidak dibayar, malahan kami harus benar-benar patuh dengan
berbagai peraturan yang bahkan membuat kami harus sedikit tirakat.
“Hanya
sekedar mengingatkan, untuk kegiatan tahun ini kita tidak hanya mengajar di
sekolah saja, tapi kita juga diwajibkan untuk tinggal di pesantren dan ikut
ngaji disana.”
Pesantren?
Ah, tahu begini aku tidak usah ikut saja. Bukankah itu berarti aku harus bangun
super pagi untuk antri mandi? Mana bisa?
***
“Kita berbagi kamar dengan santriwati disini ya, setiap
kamar diisi santriwati sama sepuluh volunteer. Tasnya nanti kita yang pindahin
ke kamar. Kalian bisa lihat-lihat dulu pondoknya,” ujar salah satu panitia yang
bernama Silvia, sekaligus ketua pelaksana kegiatan.
Kami pun berkeliling pondok putri, aku dan Daisy
memutuskan untuk memeriksa kamar mandi dulu, karena bagi kami kamar mandi
adalah yang paling penting. Tarraaa…kami
hanya bisa ternganga, persis seperti apa yang pernah kudengar dari orang-orang.
Kamar mandi pondok ini hanya berbentuk bilik-bilik, yang sekatnya pun bahkan
tidak sampai dada. Astaghfirullah, aku dan Daisy langsung saling berpandangan.
“Teh, yakin ini kamar mandinya?” tanyaku pada Daisy. Aku
memang suka memanggilnya dengan panggilan teteh, bahasa sunda yang artinya
kakak perempuan.
“Kenapa? Ada masalah?” tanya salah seorang panitia yang
telah berdiri di belakang kami, Afi namanya.
“Anu mbak, itu..apa kita harus mandi disini?” tanyaku
sedikit ragu, sedikit berharap kalau saja ada kamar mandi lain yang lebih
layak.
“Oh, ada kok,” jawabnya seraya menuntun kami ke tempat
yang dimaksud.
Kami pun langsung menghela nafas lega karena telah
menemukan kamar mandi yang sesungguhnya. Namun keterkejutan kami masih belum
berakhir. Kami kembali ternganga begitu melihat tempat jemuran. Bagaimana
tidak, kami bahkan tidak bisa melihat celah sedikitpun. Tempat jemuran penuh
dengan baju-baju santriwati, tak hanya baju basah, baju kering pun masih
tergantung disana.
“Pulang yuk!” ajak Daisy tiba-tiba, sementara kini
giliranku yang ternganga menatapnya.
“Masa belum mulai udah mundur duluan gara-gara tempatnya.
Ingat, kita disini tirakat. Terima apa yang ada, bersyukur,” celetuk salah satu
volunteer kemudian berlalu di hadapan kami, entahlah aku belum tahu namanya.
“Lebih baik kita
istirahat sekarang, nanti malam katanya mau sowan ke ndalem,” ajak Lail yang
telah berjalan mendahului kami. Dia adalah salah satu volunteer yang telah
akrab dengan kami sejak hari pertama seleksi.
Sampai di kamar, kami kembali mendengus. Apa-apaan ini,
kamar hanya sekitar 5x7 meter dihuni manusia sebanyak ini. 10 santriwati, 10
volunteer, ditambah almari dan rak-rak buku, belum lagi tas-tas para volunteer
yang lumayan besar dan memakan banyak tempat. Tapi rasanya aku masih enggan
ambil pusing, aku ingin cepat-cepat tidur, lagipula panitia menyuruh kami
istirahat agar nanti malam saat sowan tidak ada yang mengantuk. Dengar-dengar,
abah pemilik pondok kalau dawuh suka panjang lebar.
Belum sampai lima menit aku berbaring di lantai, aku pun
terlelap. Padahal biasanya aku tidak bisa tidur kalau tanpa alas.
***
Hari pertama mengajar sebagai volunteer rasanya campur
aduk, antara senang karena untuk pertama kalinya mengajar di sekolah, penasaran
dengan sikap murid-murid dengan kedatangan kami, hingga sulitnya menahan kantuk
karena harus terjaga sampai lewat tengah malam di ndalem, mendengar dawuh abah
yang panjang lebar seperti apa yang dikatakan santri-santri. Tidak masalah
selama apapun itu, toh itu semua bermanfaat dan mendidik.
Gugup, itulah yang kurasakan. Ini pertama kalinya berdiri
di hadapan murid-murid, di tambah lagi partnerku yang semester atas dan
beberapa panitia di luar tetap mengawasiku, aku hanya takut kalau sampai salah
ucap.
“Well, good morning,”
sapaku.
“Good morning,”
jawab mereka serempak.
“How’s life?” krik krik krik…tidak ada jawaban, dan
keringat dingin pun mulai meluncur bebas membasahi pipiku. “How are you?”
“Fine, and youuu~?”
hampir saja tawaku meledak mendengar jawaban mereka. Nada yang sama seperti apa
yang pernah dicontohkan guru SD.
“I’m very well,
thank you. Oh ya, mungkin kalian bingung kenapa ada kakak-kakak disini.
Jadi begini, kita diberi kesempatan untuk mengajar Bahasa Inggris di sini
selama dua minggu, dan kami berdua bertugas untuk mengajar di kelas ini. Nama
kakak Bianca, tapi agar lebih mudah panggilnya Miss Bi saja, okay?”
“Kenapa enggak ustadzah saja?” tanya salah satu siswi
yang duduk di bangku paling depan dekat pintu.
Aduh, jawaban apa yang harus kulontarkan? Lagipula mereka
memang terbiasa memanggil guru-guru mereka dengan ustadz dan ustadzah. “Ehm
gini, kemampuan mengajar dan ilmu yang Miss
Bi kuasai masih jauh dibawah ustadzah, jadi Miss
Bi pikir akan lebih baik kalau memakai panggilan lain.”
“Lagipula kita juga sedang belajar Bahasa Inggris, jadi
kalau bisa kita biasakan berbicara dengan Bahasa Inggris. Kita bisa mulai
dengan cara sederhana dengan membiasakan memanggil kami berdua Miss dan
Mister,” imbuh partnerku, Bagus.
“Yang ini kan Miss
Bi, kalau Miss yang satunya namanya
siapa?”
“Adik-adik, Miss
itu panggilan untuk perempuan, kalau laki-laki dipangil Mister,” mendengar jawabanku sontak tawa anak-anak satu kelas
langsung meledak, sementara siswa yang bertanya tadi hanya cengengesan.
“Kalian bisa panggil saya Mister Bagus.”
“Oh, Mister
Bagus.”
Sesi perkenalan selesai. Karena waktu kami terbatas, kami
pun kembali ke pondok. Waktu yang diberikan hanya 45 menit sebelum bel masuk,
jadi tidak banyak yang banyak yang kami bicarakan.
“How was it?”
tanya Lail begitu aku menjatuhkan tubuhku di kasur tipis yang dipinjamkan
santriwati kamar kepada kami.
“Speechless,”
jawabku. “Bahkan mereka tidak bisa membedakan siapa yang harus dipanggil Miss siapa yang harus dipanggil Mister.”
“Kamu pegang kelas 8 kan?”
“Hmm,” jawabku sambil kuanggukkan kepalaku dengan malas.
“Tidak usah kaget mbak, anak-anak sini memang begitu.
Terlalu cuek sama pelajaran umum, alasannya karena mereka ingin fokus ke kitab,
cari perhatiannya abah,” ucap santriwati kamar kami, namanya Imah.
“Kita sampaikan saja masalah ini saat evaluasi nanti,”
usul Lail, sementara aku kembali mengangguk dengan malas dan mulai terlelap.
***
Tanpa terasa tinggal satu hari lagi kegiatan ini
berakhir, semua telah kami rasakan. Mulai dari kesalnya karena diabaikan siswa,
paniknya saat kehilangan sandal jepit, beratnya menahan kantuk saat evaluasi
malam, perihnya perut menahan lapar karena panitia terlambat memberikan jatah
makan, bahkan saat kami harus bangun jam tiga pagi demi antri kamar mandi.
Kamar mandi bilik kami gunakan jika kami sudah tidak sabar atau karena kami
hampir terlambat ke sekolah. Namun kami bisa merasakan sejuknya hati saat kami
mengaji bersama. Terkadang setelah mengaji kami terjaga sampai larut malam
untuk mendengar banyolan-banyolan dari teman-teman.
Semuanya
semakin menyenangkan terlebih siswa-siswi yang sebelumnya susah diatur dan
masih bingung dengan ungkapan-ungkapan dasar dalam Bahasa Inggris, kini mereka
telah menunjukkan perkembangan belajar mereka. Siswa yang semula cuek kini
mulai mau memperhatikan. Hal itu pun terjadi di pondok. Mereka yang semula malu
untuk berbincang ataupun sekedar menyapa, kini berani menyapa kami bahkan tak
segan untuk menyuruh kami mampir ke kamar mereka.
Pernah satu hari aku dan Daisy selesai mengajar les sore,
salah seorang santriwati menyapa kami kemudian mempersilahkan kami untuk
singgah sebentar. Kamar itu sangat ramai, beberapa santriwati dari kamar lain
pun sebagian juga disana. Namun bukan itu yang membuatku tercengang, melainkan
beberapa galon, botol air mineral, ember, gelas, dan rangkaian tutup botol
seperti yang dimiliki pengamen-pengamen di jalanan.
“Untuk
apa ini semua?” tanyaku seraya duduk di samping santriwati bertubuh tambun.
“Sebentar
lagi ada lomba hadrah, kamar kami bergabung untuk ikut lomba,” jawabnya.
“Hadrah?” aku kembali tercengang, setahuku alat musik
untuk hadrah itu alat musik tabuh yang terbuat dari kayu dan kulit, tapi ini…
“Jangan kaget miss,
ya begini lah kami. Kami tidak punya uang untuk membeli alat musik hadrah untuk
grup kami. Pondok punya tapi sudah dipinjam kamar lain.”
“Kan bisa gantian,” sahut Daisy.
“Takutnya pas kami mau latihan, mereka juga latihan. Ya
sudah kami buat saja alat musik kami sendiri,” aku tersenyum mendengar jawaban
mereka. Ya, memang seharusnya tidak menyerah hanya karena tidak ada alat
musiknya, harus mandiri dan kreatif.
“Ya sudah kalian lanjutkan latihannya, kami mau kembali
ke kamar, sebentar lagi maghrib,” ucapku.
“Miss puasa
kan? Buka puasa disini saja, ini lho ada es teh,” kata Dian, santriwati kamar
sebelah sekaligus muridku di kelas 8b. Ia pun mengambil baskom besar berisi
teh, kemudian berlari keluar kamar, dan tak lama kemudian ia kembali dengan es
batu di tangannya. “Silahkan miss,”
ia menyodorkan gelas plastik bekas air mineral, kemudian menuangkan es teh ke
gelasku tepat ketika adzan maghrib berkumandang.
“Miss masih
lama kan pulangnya?” tanya gadis berkacamata yang sedari tadi menyendiri di
pojok dengan kitab di tangannya.
“Besok kita pulang,” jawabku, namun tiba-tiba semua
menghentikan aktifitas mereka dan menatap kami berdua. Tatapan macam apa ini,
batinku.
“Kita mulai akrab masa miss mau pulang,” bisik Dian dengan suara yang super pelan.
“Kita disini kan emang cuma dua minggu, sebentar lagi
kita masuk kuliah,” balas Daisy.
Setelah mendengar jawaban Daisy, sontak mereka langsung
beranjak, ada yang langsung berlari keluar, ada yang sibuk mengobrak abrik
seisi almari, dan ada juga yang merogoh isi tas sampai tangannya tak terlihat.
Kemudian dalam waktu yang bersamaan mereka kembali dengan berbagai benda di
tangan mereka.
“Ini kenang-kenangan dari kita miss. Bukan benda yang mahal sih, tapi semoga bermanfaat,” ujar
Dian seraya menyodorkan sebuah kotak yang dibungkus kertas kado lucu.
Teman-temannya pun melakukan hal yang sama padaku dan Daisy.
“Terima
kasih ya. Miss terima hadiahnya.
Sekarang siap-siap terus ke masjid,” kemudian kami pun pamit karena harus
segera ke masjid untuk sholat maghrib.
***
Hari ini, hari terakhir aku di pondok ini. Sembari
menunggu bus kampus yang akan menjemput kami, tidak ada salahnya aku membuka
beberapa kenang-kenangan dari santriwati-santriwati.
“Teteh, aku penasaran dengan pemberian mereka.”
“Kita buka sekarang?”
“Oke”
Kami pun mulai disibukkan dengan benda-benda dihadapan
kami. Sesekali Daisy histeris ketika mendapat benda yang menurutnya terlalu
mahal untuk dibeli oleh santriwati. Dari sekian benda yang kudapatkan, ada satu
benda yang membuat hatiku tersentuh, bahkan senyuman tak lepas dari wajahku.
Juz ‘Amma, buku kecil itu berhasil menarik perhatianku.
“Miss, sesibuk
apapun kegiatan Miss Bi, sempatkanlah untuk menghafal surat-surat pendek
Al-Qur’an, atau hanya sekedar membaca saja pun tak masalah. Semoga Miss Bi
selalu dalam lindungan Yang Maha Kuasa. Amin.”
Tiba-tiba sebuah pelukan datang setelah aku membaca surat
dari Dian. Tidak hanya satu, tangan-tangan lembut kini telah melingkar di
leherku. Tanpa terasa air mata perlahan mengalir membentuk anak sungai di
pipiku. Kuhapus air mataku dengan kasar, kemudian aku pun berbalik menghadap
mereka, gadis-gadis cantik yang selama dua minggu ini telah menunjukkan padaku
betapa menyenangkannya menjadi seorang guru. Mereka juga lah yang telah
menunjukkan padaku bahwa kehidupan pesantren tidak sekeras yang orang lain pikir.
Buktinya mereka masih bisa tertawa bersama dan melakukan hal-hal konyol
bersama.
Aku tidak akan pernah
melupakan kalian semua, terima kasih telah menunjukkan bagaimana kehidupan
pesantren yang sebenarnya. Terima kasih karena dalam dua minggu ini kalian telah
membuatku mencintai apa yang kubenci
Tidak ada komentar:
Posting Komentar