GG

GG
Follow my Twitter : @lovbie_df

Selasa, 27 September 2016

BALIK HATIKU DALAM DUA MINGGU

Aku tidak ingin jadi guru, aku tidak bisa bicara di depan banyak orang







Aku ingat betul kalimat yang sering kuucapkan selama hampir 5 tahun terakhir. Semuanya terasa konyol saat aku sadar kalau aku sekarang sedang menempuh kuliah di fakultas tarbiyah dan ilmu keguruan. Bukankah kemungkinan nanti aku akan menjadi seorang guru dan mengajar di depan murid-murid dengan berbagai karakter?. Tapi bagaimanapun juga aku tetap menempuh kuliahku tanpa membuang kalimat itu dari pikiranku. Aku tidak peduli, aku hanya ingin mempelajari ilmu ini lebih mendalam, itu saja.
Kekonyolan itu tidak berhenti, bahkan tiba-tiba saja aku berminat untuk mengikuti program mengajar yang diadakan himpunan mahasiswa jurusanku. Program mengajar, bayangkan saja betapa konyolnya orang yang sebelumnya benci menjadi guru, tapi tiba-tiba menawarkan diri untuk menjadi guru. Entahlah, aku tidak tahu apa yang sedang melintas di otakku kala itu.
Setelah melewati beberapa tes, akhirnya aku lolos. Semua peserta yang lolos tes mengajar itu mendapatkan julukan sebagai volunteer. Namanya juga volunteer, tentu saja kami tidak dibayar, malahan kami harus benar-benar patuh dengan berbagai peraturan yang bahkan membuat kami harus sedikit tirakat.
“Hanya sekedar mengingatkan, untuk kegiatan tahun ini kita tidak hanya mengajar di sekolah saja, tapi kita juga diwajibkan untuk tinggal di pesantren dan ikut ngaji disana.”
Pesantren? Ah, tahu begini aku tidak usah ikut saja. Bukankah itu berarti aku harus bangun super pagi untuk antri mandi? Mana bisa?
***
            “Kita berbagi kamar dengan santriwati disini ya, setiap kamar diisi santriwati sama sepuluh volunteer. Tasnya nanti kita yang pindahin ke kamar. Kalian bisa lihat-lihat dulu pondoknya,” ujar salah satu panitia yang bernama Silvia, sekaligus ketua pelaksana kegiatan.
            Kami pun berkeliling pondok putri, aku dan Daisy memutuskan untuk memeriksa kamar mandi dulu, karena bagi kami kamar mandi adalah yang paling penting. Tarraaa…kami hanya bisa ternganga, persis seperti apa yang pernah kudengar dari orang-orang. Kamar mandi pondok ini hanya berbentuk bilik-bilik, yang sekatnya pun bahkan tidak sampai dada. Astaghfirullah, aku dan Daisy langsung saling berpandangan.
            “Teh, yakin ini kamar mandinya?” tanyaku pada Daisy. Aku memang suka memanggilnya dengan panggilan teteh, bahasa sunda yang artinya kakak perempuan.
            “Kenapa? Ada masalah?” tanya salah seorang panitia yang telah berdiri di belakang kami, Afi namanya.
            “Anu mbak, itu..apa kita harus mandi disini?” tanyaku sedikit ragu, sedikit berharap kalau saja ada kamar mandi lain yang lebih layak.
            “Oh, ada kok,” jawabnya seraya menuntun kami ke tempat yang dimaksud.
            Kami pun langsung menghela nafas lega karena telah menemukan kamar mandi yang sesungguhnya. Namun keterkejutan kami masih belum berakhir. Kami kembali ternganga begitu melihat tempat jemuran. Bagaimana tidak, kami bahkan tidak bisa melihat celah sedikitpun. Tempat jemuran penuh dengan baju-baju santriwati, tak hanya baju basah, baju kering pun masih tergantung disana.
            “Pulang yuk!” ajak Daisy tiba-tiba, sementara kini giliranku yang ternganga menatapnya.
            “Masa belum mulai udah mundur duluan gara-gara tempatnya. Ingat, kita disini tirakat. Terima apa yang ada, bersyukur,” celetuk salah satu volunteer kemudian berlalu di hadapan kami, entahlah aku belum tahu namanya.
             “Lebih baik kita istirahat sekarang, nanti malam katanya mau sowan ke ndalem,” ajak Lail yang telah berjalan mendahului kami. Dia adalah salah satu volunteer yang telah akrab dengan kami sejak hari pertama seleksi.
            Sampai di kamar, kami kembali mendengus. Apa-apaan ini, kamar hanya sekitar 5x7 meter dihuni manusia sebanyak ini. 10 santriwati, 10 volunteer, ditambah almari dan rak-rak buku, belum lagi tas-tas para volunteer yang lumayan besar dan memakan banyak tempat. Tapi rasanya aku masih enggan ambil pusing, aku ingin cepat-cepat tidur, lagipula panitia menyuruh kami istirahat agar nanti malam saat sowan tidak ada yang mengantuk. Dengar-dengar, abah pemilik pondok kalau dawuh suka panjang lebar.
            Belum sampai lima menit aku berbaring di lantai, aku pun terlelap. Padahal biasanya aku tidak bisa tidur kalau tanpa alas.
***
            Hari pertama mengajar sebagai volunteer rasanya campur aduk, antara senang karena untuk pertama kalinya mengajar di sekolah, penasaran dengan sikap murid-murid dengan kedatangan kami, hingga sulitnya menahan kantuk karena harus terjaga sampai lewat tengah malam di ndalem, mendengar dawuh abah yang panjang lebar seperti apa yang dikatakan santri-santri. Tidak masalah selama apapun itu, toh itu semua bermanfaat dan mendidik.
            Gugup, itulah yang kurasakan. Ini pertama kalinya berdiri di hadapan murid-murid, di tambah lagi partnerku yang semester atas dan beberapa panitia di luar tetap mengawasiku, aku hanya takut kalau sampai salah ucap.
            “Well, good morning,” sapaku.
            “Good morning,” jawab mereka serempak.
            “How’s life?krik krik krik…tidak ada jawaban, dan keringat dingin pun mulai meluncur bebas membasahi pipiku. “How are you?”
            “Fine, and youuu~?” hampir saja tawaku meledak mendengar jawaban mereka. Nada yang sama seperti apa yang pernah dicontohkan guru SD.
            “I’m very well, thank you. Oh ya, mungkin kalian bingung kenapa ada kakak-kakak disini. Jadi begini, kita diberi kesempatan untuk mengajar Bahasa Inggris di sini selama dua minggu, dan kami berdua bertugas untuk mengajar di kelas ini. Nama kakak Bianca, tapi agar lebih mudah panggilnya Miss Bi saja, okay?”
            “Kenapa enggak ustadzah saja?” tanya salah satu siswi yang duduk di bangku paling depan dekat pintu.
            Aduh, jawaban apa yang harus kulontarkan? Lagipula mereka memang terbiasa memanggil guru-guru mereka dengan ustadz dan ustadzah. “Ehm gini, kemampuan mengajar dan ilmu yang Miss Bi kuasai masih jauh dibawah ustadzah, jadi Miss Bi pikir akan lebih baik kalau memakai panggilan lain.”
            “Lagipula kita juga sedang belajar Bahasa Inggris, jadi kalau bisa kita biasakan berbicara dengan Bahasa Inggris. Kita bisa mulai dengan cara sederhana dengan membiasakan memanggil kami berdua Miss dan Mister,” imbuh partnerku, Bagus.
            “Yang ini kan Miss Bi, kalau Miss yang satunya namanya siapa?”
            “Adik-adik, Miss itu panggilan untuk perempuan, kalau laki-laki dipangil Mister,” mendengar jawabanku sontak tawa anak-anak satu kelas langsung meledak, sementara siswa yang bertanya tadi hanya cengengesan.
            “Kalian bisa panggil saya Mister Bagus.”
            “Oh, Mister Bagus.”
            Sesi perkenalan selesai. Karena waktu kami terbatas, kami pun kembali ke pondok. Waktu yang diberikan hanya 45 menit sebelum bel masuk, jadi tidak banyak yang banyak yang kami bicarakan.
            “How was it?” tanya Lail begitu aku menjatuhkan tubuhku di kasur tipis yang dipinjamkan santriwati kamar kepada kami.
            “Speechless,” jawabku. “Bahkan mereka tidak bisa membedakan siapa yang harus dipanggil Miss siapa yang harus dipanggil Mister.”
            “Kamu pegang kelas 8 kan?”
            “Hmm,” jawabku sambil kuanggukkan kepalaku dengan malas.
            “Tidak usah kaget mbak, anak-anak sini memang begitu. Terlalu cuek sama pelajaran umum, alasannya karena mereka ingin fokus ke kitab, cari perhatiannya abah,” ucap santriwati kamar kami, namanya Imah.
            “Kita sampaikan saja masalah ini saat evaluasi nanti,” usul Lail, sementara aku kembali mengangguk dengan malas dan mulai terlelap.
***
            Tanpa terasa tinggal satu hari lagi kegiatan ini berakhir, semua telah kami rasakan. Mulai dari kesalnya karena diabaikan siswa, paniknya saat kehilangan sandal jepit, beratnya menahan kantuk saat evaluasi malam, perihnya perut menahan lapar karena panitia terlambat memberikan jatah makan, bahkan saat kami harus bangun jam tiga pagi demi antri kamar mandi. Kamar mandi bilik kami gunakan jika kami sudah tidak sabar atau karena kami hampir terlambat ke sekolah. Namun kami bisa merasakan sejuknya hati saat kami mengaji bersama. Terkadang setelah mengaji kami terjaga sampai larut malam untuk mendengar banyolan-banyolan dari teman-teman.
Semuanya semakin menyenangkan terlebih siswa-siswi yang sebelumnya susah diatur dan masih bingung dengan ungkapan-ungkapan dasar dalam Bahasa Inggris, kini mereka telah menunjukkan perkembangan belajar mereka. Siswa yang semula cuek kini mulai mau memperhatikan. Hal itu pun terjadi di pondok. Mereka yang semula malu untuk berbincang ataupun sekedar menyapa, kini berani menyapa kami bahkan tak segan untuk menyuruh kami mampir ke kamar mereka.
            Pernah satu hari aku dan Daisy selesai mengajar les sore, salah seorang santriwati menyapa kami kemudian mempersilahkan kami untuk singgah sebentar. Kamar itu sangat ramai, beberapa santriwati dari kamar lain pun sebagian juga disana. Namun bukan itu yang membuatku tercengang, melainkan beberapa galon, botol air mineral, ember, gelas, dan rangkaian tutup botol seperti yang dimiliki pengamen-pengamen di jalanan.
“Untuk apa ini semua?” tanyaku seraya duduk di samping santriwati bertubuh tambun.
“Sebentar lagi ada lomba hadrah, kamar kami bergabung untuk ikut lomba,” jawabnya.
            “Hadrah?” aku kembali tercengang, setahuku alat musik untuk hadrah itu alat musik tabuh yang terbuat dari kayu dan kulit, tapi ini…
            “Jangan kaget miss, ya begini lah kami. Kami tidak punya uang untuk membeli alat musik hadrah untuk grup kami. Pondok punya tapi sudah dipinjam kamar lain.”
            “Kan bisa gantian,” sahut Daisy.
            “Takutnya pas kami mau latihan, mereka juga latihan. Ya sudah kami buat saja alat musik kami sendiri,” aku tersenyum mendengar jawaban mereka. Ya, memang seharusnya tidak menyerah hanya karena tidak ada alat musiknya, harus mandiri dan kreatif.
            “Ya sudah kalian lanjutkan latihannya, kami mau kembali ke kamar, sebentar lagi maghrib,” ucapku.
            “Miss puasa kan? Buka puasa disini saja, ini lho ada es teh,” kata Dian, santriwati kamar sebelah sekaligus muridku di kelas 8b. Ia pun mengambil baskom besar berisi teh, kemudian berlari keluar kamar, dan tak lama kemudian ia kembali dengan es batu di tangannya. “Silahkan miss,” ia menyodorkan gelas plastik bekas air mineral, kemudian menuangkan es teh ke gelasku tepat ketika adzan maghrib berkumandang.
            “Miss masih lama kan pulangnya?” tanya gadis berkacamata yang sedari tadi menyendiri di pojok dengan kitab di tangannya.
            “Besok kita pulang,” jawabku, namun tiba-tiba semua menghentikan aktifitas mereka dan menatap kami berdua. Tatapan macam apa ini, batinku.
            “Kita mulai akrab masa miss mau pulang,” bisik Dian dengan suara yang super pelan.
            “Kita disini kan emang cuma dua minggu, sebentar lagi kita masuk kuliah,” balas Daisy.
            Setelah mendengar jawaban Daisy, sontak mereka langsung beranjak, ada yang langsung berlari keluar, ada yang sibuk mengobrak abrik seisi almari, dan ada juga yang merogoh isi tas sampai tangannya tak terlihat. Kemudian dalam waktu yang bersamaan mereka kembali dengan berbagai benda di tangan mereka.
            “Ini kenang-kenangan dari kita miss. Bukan benda yang mahal sih, tapi semoga bermanfaat,” ujar Dian seraya menyodorkan sebuah kotak yang dibungkus kertas kado lucu. Teman-temannya pun melakukan hal yang sama padaku dan Daisy.
“Terima kasih ya. Miss terima hadiahnya. Sekarang siap-siap terus ke masjid,” kemudian kami pun pamit karena harus segera ke masjid untuk sholat maghrib.
***
            Hari ini, hari terakhir aku di pondok ini. Sembari menunggu bus kampus yang akan menjemput kami, tidak ada salahnya aku membuka beberapa kenang-kenangan dari santriwati-santriwati.
            “Teteh, aku penasaran dengan pemberian mereka.”
            “Kita buka sekarang?”
            “Oke”
            Kami pun mulai disibukkan dengan benda-benda dihadapan kami. Sesekali Daisy histeris ketika mendapat benda yang menurutnya terlalu mahal untuk dibeli oleh santriwati. Dari sekian benda yang kudapatkan, ada satu benda yang membuat hatiku tersentuh, bahkan senyuman tak lepas dari wajahku. Juz ‘Amma, buku kecil itu berhasil menarik perhatianku.
            “Miss, sesibuk apapun kegiatan Miss Bi, sempatkanlah untuk menghafal surat-surat pendek Al-Qur’an, atau hanya sekedar membaca saja pun tak masalah. Semoga Miss Bi selalu dalam lindungan Yang Maha Kuasa. Amin.”
            Tiba-tiba sebuah pelukan datang setelah aku membaca surat dari Dian. Tidak hanya satu, tangan-tangan lembut kini telah melingkar di leherku. Tanpa terasa air mata perlahan mengalir membentuk anak sungai di pipiku. Kuhapus air mataku dengan kasar, kemudian aku pun berbalik menghadap mereka, gadis-gadis cantik yang selama dua minggu ini telah menunjukkan padaku betapa menyenangkannya menjadi seorang guru. Mereka juga lah yang telah menunjukkan padaku bahwa kehidupan pesantren tidak sekeras yang orang lain pikir. Buktinya mereka masih bisa tertawa bersama dan melakukan hal-hal konyol bersama.
            Aku tidak akan pernah melupakan kalian semua, terima kasih telah menunjukkan bagaimana kehidupan pesantren yang sebenarnya. Terima kasih karena dalam dua minggu ini kalian telah membuatku mencintai apa yang kubenci


Tidak ada komentar:

Posting Komentar