Bel pulang telah berbunyi beberapa menit lalu dan aku telah berlari keluar kelas menerjang rintik hujan, meninggalkan Kyla yang mungkin sedang uring-uringan di belakang. Bagaimanapun juga aku harus mencapai tembok cinta sesegera mungkin.
Ah
ya, aku lupa bercerita soal tembok cinta. Di pesantrenku ada sebuah dinding tua
yang memisahkan antara dapur pondok putri dan dapur pondok putra. Dinding itu
sudah penuh dengan lumut dan ada lubang di beberapa bagiannya. Dari beberapa
tahun yang lalu, tempat itu sudah dipakai para santri dan santriwati untuk
melepas rindu. Bagian-bagian yang tembok yang berlubang memudahkan mereka untuk
bebas bercakap-cakap atau sekedar berbisik-bisik agar tidak ketahuan. Kalaupun
ketahuan, kebanyakan si pemergok tidak akan melaporkan ke pihak pondok karena
dia juga tidak ingin dilaporkan kalau ketahuan. Tapi akan lain cerita kalau mbak-mbak
pengurus pondok yang memergoki.
“Ai,” aku menyebutkan namaku sendiri, itulah kode yang
kugunakan untuk mengecek apakah si dia sudah datang atau belum.
“Vi,” senyum langsung terlukis diwajahku begitu mendengar
suaranya, itu adalah kode darinya, untuk meyakinkan kalau itu benar-benar dia.
Lagipula walaupun tanpa menyebutkan namanya terlebih dahulu aku sudah yakin
kalau itu Vian.
Aku
sudah menjalin hubungan dengannya sebelum kami masuk ke pesantren ini, tepatnya
ketika kami duduk di bangku kelas 2 SMP. Tiga tahun itu cukup untuk membuatku
hafal dengan suara beratnya.
“Ai?”
“Hmm?”
“Kamu
baik-baik saja?” suaranya terdengar agak cemas, namun itu malah membuatku
tersenyum.
“Ya,
aku…”
“Siapa
itu? Irene?” jantungku mencelos, keringat dingin mulai meluncur membasahi
seluruh tubuhku. Suara itu, aku hafal suara itu. Itu suara. . .
“Eh,
Mbak Luna.” bisikku. Mbak Luna berjalan ke arahku tepat ketika aku mendengar
langkah kaki menjauh. Syukurlah, Vian telah pergi.
“Ngapain
kamu disini? Pacaran?” tanya Mbak Luna dengan sinis. Pengurus pondok yang satu
ini memang terkenal dengan kesinisannya dan sindiran-sindiran yang selalu tepat
sasaran.
“Anu
mbak, itu…”
“Ayo
ikut ke ruangan pengurus sekarang,” ajaknya dengan paksa seraya menarik lengan
kananku.
Sesampainya
di kantor pengurus pondok putri, Mbak Luna mendorongku, cara yang terlalu kasar
untuk mempersilahkan duduk. Tak lama kemudian muncullah Mbak Mina dari
ruangannya.
“Mbak, Irene ketahuan pacaran, saya yang memergoki
dia di didekat tembok belakang,” ucap Mbak Luna seraya mendelik ke arahku.
“Memangnya Mbak Luna punya bukti apa kalau
saya pacaran? Memangnya cuma berdiri disana saja berarti saya pacaran, begitu?”
“Sudahlah
Ai, itu sudah jadi rahasia umum kalau mereka yang ada disana pasti sedang
pacaran.”
“Sudah
sudah. Irene, mbak enggak menyalahkan, tapi kamu pikirkan lagi baik-baik. Mbak
enggak tahu kamu pacaran atau tidak. Mbak hanya ingin mengingatkan kalau Islam
tidak mengajarkan kita untuk pacaran, Islam hanya mengajarkan ta’aruf. Ya, mbak
yakin kamu tahu bagaimana harus bersikap.”
“Ya
anggap saja kalau kami sedang ta’aruf.”
“Halah,
masih kecil saja sudah berani ngomongin ta’aruf,” cibir Mbak Luna.
“Eh
Mbak Luna, memangnya ta’aruf itu berarti untuk pernikahan? Ta’aruf kan berarti
perkenalan, jadi berapapun usianya tidak ada salahnya kan ta’aruf untuk mencari
teman,” aku sudah mulai panas sekarang, tapi sepertinya Mbak Luna masih ingin
mempermalukanku di depan Mbak Mina.
“Sudah
sudah, jangan diperpanjang lagi. Irene, kamu bisa kembali ke kamarmu. Luna, tolong
kamu bantu mbak mendata santriwati baru,” ucap Mbak Mina seraya beranjak dari
tempat duduk dan kembali ke ruangannya, sementara Mbak Luna beranjak tanpa
melepaskan pandangan sinisnya ke arahku.
***
“Ai, kamu kenapa? tadi Yuli lihat kamu sama Mbak Luna ke
kantor pengurus. Kenapa?” tanya Kyla.
Aku masih malas menjawab pertanyaannya, tapi kalau tidak kujawab sekarang ia
tidak akan tenang. Pernah waktu itu aku baru saja dari UKS, dia tanya aku sakit
apa tapi tidak kujawab, esoknya dia tertidur di kelas karena tidak tidur
semalam. Saat kutanya mengapa, katanya ia tidak bisa tidur karena penasaran.
Kadang temanku yang satu ini memang konyol.
“Aku ketahuan,” jawabku dengan malas, dan saat itu juga
Kyla langsung menjerit histeris. “Kalau mbak Mina sampai mengatakan larangan
pacaran, aku bisa apa. Suaranya memang lembut, tapi kan itu penuh dengan
kritikan, sindiran, dan semacamnya.”
“Hei hei hei, ayo ke halaman masjid sekarang,” ajak Fany
dari ambang pintu. “Fei, dia kepergok ketemuan di tembok cinta,” jawab Fany
yang langsung berlari menyusul teman-temannya.
Sontak Kyla langsung menoleh kearahku, “Ai…”
“Kita kesana saja dulu,” ucapku tenang. Tidak, lebih
tepatnya berusaha tenang.
Halaman masjid sudah penuh dengan para santri dan
santriwati. Para santri berkumpul di sebelah selatan dan santriwati di sebelah
utara. Sementara dua sejoli yang mendadak jadi aktor dan aktris hari ini
berdiri di tengah. Kami bisa melihat dengan jelas wajah Fei yang sudah basah
oleh air mata. Kekasihnya, aku tidak tahu namanya, masih berdiri tegak. Aku
tidak tahu bagaimana ekspresinya karena posisinya yang membelakangi kami.
“Rasul tidak pernah mengajarkan kepada kita tentang
pacaran karena bisa menjerumuskan kita kepada hal-hal yang negatif, jadi untuk
apa manusia malah melakukannya. Manusia dibekali otak untuk berpikir,
seharusnya mereka mampu memikirkan konsekuensi dari perbuatan mereka, bukannya
malah membuat malu diri mereka sendiri,” kata Ustadz Haikal dengan nada tenang
yang dibuat-buat, malahan itu membuat amarahnya semakin kentara.
Tak lama kemudian datanglah dua santri yang masing-masing
membawa seember air, kemudian Ustadz Haikal mengambil alih ember tersebut dan
mengguyur dua sejoli yang berdiri di tengah-tengah mereka. Sebagian santriwati
berusaha menahan jeritan mereka, sebagian bergidik jijik. Memang biasanya air
yang digunakan adalah air yang biasanya dipakai untuk cuci kaki saat akan masuk
atau keluar dari kamar mandi.
Fei kembali menangis, isakannya terdengar semakin keras.
Aku tidak sengaja melirik ke arah Mbak Luna, dan pemandangan tak menyenangkan
langsung tertangkap indera penglihatanku. Mbak Luna tengah memandangku dengan
wajah penuh cibiran lengkap dengan senyum sinisnya. Mungkin ia akan mengirimku
untuk menggantikan posisi Fei.
Ustadz Haikal kembali memberi nasihat-nasihat tanpa
membiarkan Fei dan kekasihnya beranjak dari sorotan ratusan pasang mata. “Fei,
Yoni, kalau sampai hal itu terulang kembali, saya tidak akan segan-segan
mengambil tindakan tegas. Peringatan juga untuk yang lain. Sekarang bubar!”
Kami pun segera meninggalkan halaman masjid, Fei dan
santri yang dipanggil Yoni masih disana. Bisik-bisik terus terdengar di
sepanjang lorong pondok putri, ada yang mencaci maki Fei, ada juga yang
menyangkal kalau itu semua hanya fitnah.
“Masa cuma ketemu di tembok cinta langsung dihukum
seperti itu?” celetuk Ital. Jujur itu juga yang mengganjal di hatiku. Kami kan
tidak bertemu secara langsung, tidak bisa melihat wajahnya pula. Haruskah kami
dihukum padahal hanya mengobrol?
“Hukumannya bukan karena itu,” jawab Yuli.
Rosi yang semula fokus dengan catatan untuk ujiannya kini
langsung duduk bersimpuh di dekat Yuli. “Kalau bukan itu lalu apa?”
“Si Yoni itu melompati tembok dan masuk ke area pondok
putri, dan mereka berdua asik ngobrol di dekat tembok cinta. Mungkin saking
asiknya sampai-sampai mereka tidak sadar kalau waktunya pengurus untuk
keliling. Mbak Luna yang menyadari absennya Fei langsung mencari ke setiap
sudut pondok dengan Mbak Mina dan Mbak Viki. Dan akhirnya mereka ketahuan,
katanya mereka lagi pegangan tangan,” terang Yuli seraya mempraktekkannya
dengan memegang tangan Rosi
“Jadi bukan karena ngobrol berseberangan?” tanyaku.
“Bukanlah, kalau itu sih mbak-mbak pengurus masih memberi
sedikit kelonggaran asal enggak lama-lama terus ada tujuannya. Misal mau pinjam
buku atau ngasih apa gitu,” jawab Mbak Viki yang baru saja melangkahkan kaki
masuk ke kamar kami, membuat kami menatapnya dengan tatapan sedikit horror.
Ada kelonggaran kenapa Mbak Luna terlalu keras padaku?
Vian kan tidak sampai melompat ke pondok putri.
“Lagian biar aman ya enggak usah pacaran, iya kan?” ucap
mbak Viki yang disambut senyum tipis dari teman-temanku.
***
Malam ini masih sama seperti sebelum-sebelumnya,
dinginnya benar-benar menusuk tulang. Kulirik Kyla yang masih berkutat dengan
buku IPA-nya. Tugasku sudah selesai dari tadi sore, jadi aku masih punya waktu
untuk sekedar melamun.
“Kalau mau curhat bilang saja,” ucap Kyla tanpa menoleh
padaku. Ah, temanku yang satu ini memang paling peka. “Langsung saja!”
lagi-lagi ia tidak menatapku, ia masih sibuk menggoreskan tinta penanya.
“Haruskah aku sudahi saja? Maksudku kalau aku memang
berjodoh dengannya pasti nanti akan kembali seperti semula kan,” suaraku
semakin pelan, jujur aku sendiri tidak yakin dengan ucapanku.
“Kamu yakin Ai?” kali ini Kyla meletakkan penanya dan
menatapku.
“Lagipula kami masih terlalu muda untuk memikirkan
hubungan serius.”
“Jadi maumu?”
“Mauku untuk sekarang sudah dulu. Kalau ternyata jodoh,
saat aku memutuskan untuk bersamanya ya saat itu juga aku akan benar-benar
serius dan menikah. Bisakah aku melakukannya?”
“Kamu harus yakinkan dirimu dulu. Kalau ada niat pasti
bisa kok,” ucap Kyla seraya menggenggam tanganku dan tersenyum.
“Baiklah, besok aku akan mengatakan hal ini padanya.”
***
Pintu kantor pengurus masih tertutup, tapi aku masih
setia menunggu demi ini semua. Kuharap bukan Mbak Luna yang datang atau aku
akan diserbu ribuan pertanyaan yang akan memojokkanku.
“Irene? Ada apa pagi-pagi sudah kesini?” huh, untunglah
Mbak Mina yang datang.
“Saya mau ngomong sesuatu mbak,” jawabku pelan.
“Ya sudah, ayo masuk dulu,” ucap Mbak Mina seraya membuka
pintu kantor.
“Saya mau minta izin ke tembok belakang untuk ketemu Vian
mbak,” kataku begitu Mbak Mina telah mempersilahkanku untuk duduk. “Bukan
ketemu secara langsung, hanya ngobrol sebentar.”
“Kenapa enggak nulis surat saja? Nanti bisa dititipkan ke
pengurus pondok putra.”
“Tidak semuanya bisa dituangkan dalam tulisan mbak,” aku
mulai tertunduk, takut kalau aku tidak mendapatkan izin.
“Baiklah, tapi jangan lama-lama. Mbak boleh mengawasi
kalian?” tanyanya setelah berpikir hampir lima menit.
“Tentu saja mbak, tidak ada rahasia kok,” Mbak Mina
tersenyum kemudian beranjak untuk menelepon seseorang. Kurasa itu pengurus
pondok putra untuk menyampaikan pesanku pada Vian kalau aku ingin bertemu
dengannya. Setelah selesai dengan panggilan teleponnya, Mbak Mina menatapku dan
tersenyum, kemudian mengajakku untuk segera ke belakang.
Aku
dan Mbak Mina duduk di kursi yang ada di belakang dapur untuk menunggu Vian,
sesekali berbincang tentang keadaan pondok. Percakapan kami terhenti begitu aku
mendengar suara langkah kaki mendekat ke tembok. Aku bergegas mendekat ke
tembok, berusaha menajamkan pendengaranku.
“Vi,”
suara berat itu terdengar pelan. Aku menoleh ke arah Mbak Mina yang kini
tersenyum padaku. Tanpa kusadari akupun membalas senyumnya.
“A…Ai,”
balasku gugup.
“Ada
apa Ai? Tidak biasanya kamu seperti ini.”
“Vi,
aku ingin mengatakan sesuatu yang penting. Ini tentang kita,” oh tidak, aku
semakin gugup mengatakan ini. “Kita masih muda dan perjalanan untuk hubungan
yang serius masih terlalu jauh. Bukankah kita seharusnya melepas status pacaran
ini saja? Toh kalaupun kita berjodoh nantinya pasti ada jalan. Ketika kita
nanti dipertemukan lagi untuk suatu hubungan serius, saat itu juga aku ingin
kita benar-benar serius dan menikah. Bukankah itu lebih baik?”
Aku
mulai takut, tidak ada balasan dari Vian, yang kudengar hanyalah deru nafasnya
yang terdengar berat. Namun setelah hampir lima menit berlalu, akhirnya Vian
menghela nafas panjang.
“Aku
akan menunggu saat itu tiba Ai, semoga kita ditakdirkan untuk berjodoh.”
“Amin.
Terima kasih Vi,” akhirnya, aku merasa lega mendengar jawabannya.
“Kembalilah
sekarang sebelum ada yang melihatmu.”
“Ada
Mbak Mina disini.”
“Benarkah?
Assalamu’alaikum Mbak Mina”
“Wa’alaikumsalam
Vian,” balas Mbak Mina seraya berjalan mendekat.
“Ya
sudah, saya pamit dulu mbak. Ai, jaga diri baik-baik ya, jangan sampai sakit.
Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam,”
balas kami bersamaan.
Kami
kembali ke pondok begitu suara langkah kaki Vian semakin menjauh. Tak henti-hentinya
Mbak Mina menoleh dan tersenyum.
“Semoga kalian memang berjodoh,” bisik Mbak Mina, kemudian aku tersenyum
dan mengamini ucapannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar