GG

GG
Follow my Twitter : @lovbie_df

Selasa, 27 September 2016

Tembok Cinta Di Pesantren Tercinta









            Bel pulang telah berbunyi beberapa menit lalu dan aku telah berlari keluar kelas menerjang rintik hujan, meninggalkan Kyla yang mungkin sedang uring-uringan di belakang. Bagaimanapun juga aku harus mencapai tembok cinta sesegera mungkin.
Ah ya, aku lupa bercerita soal tembok cinta. Di pesantrenku ada sebuah dinding tua yang memisahkan antara dapur pondok putri dan dapur pondok putra. Dinding itu sudah penuh dengan lumut dan ada lubang di beberapa bagiannya. Dari beberapa tahun yang lalu, tempat itu sudah dipakai para santri dan santriwati untuk melepas rindu. Bagian-bagian yang tembok yang berlubang memudahkan mereka untuk bebas bercakap-cakap atau sekedar berbisik-bisik agar tidak ketahuan. Kalaupun ketahuan, kebanyakan si pemergok tidak akan melaporkan ke pihak pondok karena dia juga tidak ingin dilaporkan kalau ketahuan. Tapi akan lain cerita kalau mbak-mbak pengurus pondok yang memergoki.
            “Ai,” aku menyebutkan namaku sendiri, itulah kode yang kugunakan untuk mengecek apakah si dia sudah datang atau belum.
            “Vi,” senyum langsung terlukis diwajahku begitu mendengar suaranya, itu adalah kode darinya, untuk meyakinkan kalau itu benar-benar dia. Lagipula walaupun tanpa menyebutkan namanya terlebih dahulu aku sudah yakin kalau itu Vian.
Aku sudah menjalin hubungan dengannya sebelum kami masuk ke pesantren ini, tepatnya ketika kami duduk di bangku kelas 2 SMP. Tiga tahun itu cukup untuk membuatku hafal dengan suara beratnya.
 “Ai?”
“Hmm?”
“Kamu baik-baik saja?” suaranya terdengar agak cemas, namun itu malah membuatku tersenyum.
“Ya, aku…”
“Siapa itu? Irene?” jantungku mencelos, keringat dingin mulai meluncur membasahi seluruh tubuhku. Suara itu, aku hafal suara itu. Itu suara. . .
“Eh, Mbak Luna.” bisikku. Mbak Luna berjalan ke arahku tepat ketika aku mendengar langkah kaki menjauh. Syukurlah, Vian telah pergi.
“Ngapain kamu disini? Pacaran?” tanya Mbak Luna dengan sinis. Pengurus pondok yang satu ini memang terkenal dengan kesinisannya dan sindiran-sindiran yang selalu tepat sasaran.
“Anu mbak, itu…”
“Ayo ikut ke ruangan pengurus sekarang,” ajaknya dengan paksa seraya menarik lengan kananku.
Sesampainya di kantor pengurus pondok putri, Mbak Luna mendorongku, cara yang terlalu kasar untuk mempersilahkan duduk. Tak lama kemudian muncullah Mbak Mina dari ruangannya.
 “Mbak, Irene ketahuan pacaran, saya yang memergoki dia di didekat tembok belakang,” ucap Mbak Luna seraya mendelik ke arahku.
 “Memangnya Mbak Luna punya bukti apa kalau saya pacaran? Memangnya cuma berdiri disana saja berarti saya pacaran, begitu?”
“Sudahlah Ai, itu sudah jadi rahasia umum kalau mereka yang ada disana pasti sedang pacaran.”
“Sudah sudah. Irene, mbak enggak menyalahkan, tapi kamu pikirkan lagi baik-baik. Mbak enggak tahu kamu pacaran atau tidak. Mbak hanya ingin mengingatkan kalau Islam tidak mengajarkan kita untuk pacaran, Islam hanya mengajarkan ta’aruf. Ya, mbak yakin kamu tahu bagaimana harus bersikap.”
“Ya anggap saja kalau kami sedang ta’aruf.”
“Halah, masih kecil saja sudah berani ngomongin ta’aruf,” cibir Mbak Luna.
“Eh Mbak Luna, memangnya ta’aruf itu berarti untuk pernikahan? Ta’aruf kan berarti perkenalan, jadi berapapun usianya tidak ada salahnya kan ta’aruf untuk mencari teman,” aku sudah mulai panas sekarang, tapi sepertinya Mbak Luna masih ingin mempermalukanku di depan Mbak Mina.
“Sudah sudah, jangan diperpanjang lagi. Irene, kamu bisa kembali ke kamarmu. Luna, tolong kamu bantu mbak mendata santriwati baru,” ucap Mbak Mina seraya beranjak dari tempat duduk dan kembali ke ruangannya, sementara Mbak Luna beranjak tanpa melepaskan pandangan sinisnya ke arahku.
***
            “Ai, kamu kenapa? tadi Yuli lihat kamu sama Mbak Luna ke kantor pengurus. Kenapa?” tanya  Kyla. Aku masih malas menjawab pertanyaannya, tapi kalau tidak kujawab sekarang ia tidak akan tenang. Pernah waktu itu aku baru saja dari UKS, dia tanya aku sakit apa tapi tidak kujawab, esoknya dia tertidur di kelas karena tidak tidur semalam. Saat kutanya mengapa, katanya ia tidak bisa tidur karena penasaran. Kadang temanku yang satu ini memang konyol.
            “Aku ketahuan,” jawabku dengan malas, dan saat itu juga Kyla langsung menjerit histeris. “Kalau mbak Mina sampai mengatakan larangan pacaran, aku bisa apa. Suaranya memang lembut, tapi kan itu penuh dengan kritikan, sindiran, dan semacamnya.”
            “Hei hei hei, ayo ke halaman masjid sekarang,” ajak Fany dari ambang pintu. “Fei, dia kepergok ketemuan di tembok cinta,” jawab Fany yang langsung berlari menyusul teman-temannya.
            Sontak Kyla langsung menoleh kearahku, “Ai…”
            “Kita kesana saja dulu,” ucapku tenang. Tidak, lebih tepatnya berusaha tenang.
            Halaman masjid sudah penuh dengan para santri dan santriwati. Para santri berkumpul di sebelah selatan dan santriwati di sebelah utara. Sementara dua sejoli yang mendadak jadi aktor dan aktris hari ini berdiri di tengah. Kami bisa melihat dengan jelas wajah Fei yang sudah basah oleh air mata. Kekasihnya, aku tidak tahu namanya, masih berdiri tegak. Aku tidak tahu bagaimana ekspresinya karena posisinya yang membelakangi kami.
            “Rasul tidak pernah mengajarkan kepada kita tentang pacaran karena bisa menjerumuskan kita kepada hal-hal yang negatif, jadi untuk apa manusia malah melakukannya. Manusia dibekali otak untuk berpikir, seharusnya mereka mampu memikirkan konsekuensi dari perbuatan mereka, bukannya malah membuat malu diri mereka sendiri,” kata Ustadz Haikal dengan nada tenang yang dibuat-buat, malahan itu membuat amarahnya semakin kentara.
            Tak lama kemudian datanglah dua santri yang masing-masing membawa seember air, kemudian Ustadz Haikal mengambil alih ember tersebut dan mengguyur dua sejoli yang berdiri di tengah-tengah mereka. Sebagian santriwati berusaha menahan jeritan mereka, sebagian bergidik jijik. Memang biasanya air yang digunakan adalah air yang biasanya dipakai untuk cuci kaki saat akan masuk atau keluar dari kamar mandi.
            Fei kembali menangis, isakannya terdengar semakin keras. Aku tidak sengaja melirik ke arah Mbak Luna, dan pemandangan tak menyenangkan langsung tertangkap indera penglihatanku. Mbak Luna tengah memandangku dengan wajah penuh cibiran lengkap dengan senyum sinisnya. Mungkin ia akan mengirimku untuk menggantikan posisi Fei.
            Ustadz Haikal kembali memberi nasihat-nasihat tanpa membiarkan Fei dan kekasihnya beranjak dari sorotan ratusan pasang mata. “Fei, Yoni, kalau sampai hal itu terulang kembali, saya tidak akan segan-segan mengambil tindakan tegas. Peringatan juga untuk yang lain. Sekarang bubar!”
            Kami pun segera meninggalkan halaman masjid, Fei dan santri yang dipanggil Yoni masih disana. Bisik-bisik terus terdengar di sepanjang lorong pondok putri, ada yang mencaci maki Fei, ada juga yang menyangkal kalau itu semua hanya fitnah.
            “Masa cuma ketemu di tembok cinta langsung dihukum seperti itu?” celetuk Ital. Jujur itu juga yang mengganjal di hatiku. Kami kan tidak bertemu secara langsung, tidak bisa melihat wajahnya pula. Haruskah kami dihukum padahal hanya mengobrol?
            “Hukumannya bukan karena itu,” jawab Yuli.
            Rosi yang semula fokus dengan catatan untuk ujiannya kini langsung duduk bersimpuh di dekat Yuli. “Kalau bukan itu lalu apa?”
            “Si Yoni itu melompati tembok dan masuk ke area pondok putri, dan mereka berdua asik ngobrol di dekat tembok cinta. Mungkin saking asiknya sampai-sampai mereka tidak sadar kalau waktunya pengurus untuk keliling. Mbak Luna yang menyadari absennya Fei langsung mencari ke setiap sudut pondok dengan Mbak Mina dan Mbak Viki. Dan akhirnya mereka ketahuan, katanya mereka lagi pegangan tangan,” terang Yuli seraya mempraktekkannya dengan memegang tangan Rosi
            “Jadi bukan karena ngobrol berseberangan?” tanyaku.
            “Bukanlah, kalau itu sih mbak-mbak pengurus masih memberi sedikit kelonggaran asal enggak lama-lama terus ada tujuannya. Misal mau pinjam buku atau ngasih apa gitu,” jawab Mbak Viki yang baru saja melangkahkan kaki masuk ke kamar kami, membuat kami menatapnya dengan tatapan sedikit horror.
            Ada kelonggaran kenapa Mbak Luna terlalu keras padaku? Vian kan tidak sampai melompat ke pondok putri.
            “Lagian biar aman ya enggak usah pacaran, iya kan?” ucap mbak Viki yang disambut senyum tipis dari teman-temanku.
***
            Malam ini masih sama seperti sebelum-sebelumnya, dinginnya benar-benar menusuk tulang. Kulirik Kyla yang masih berkutat dengan buku IPA-nya. Tugasku sudah selesai dari tadi sore, jadi aku masih punya waktu untuk sekedar melamun.
            “Kalau mau curhat bilang saja,” ucap Kyla tanpa menoleh padaku. Ah, temanku yang satu ini memang paling peka. “Langsung saja!” lagi-lagi ia tidak menatapku, ia masih sibuk menggoreskan tinta penanya.
            “Haruskah aku sudahi saja? Maksudku kalau aku memang berjodoh dengannya pasti nanti akan kembali seperti semula kan,” suaraku semakin pelan, jujur aku sendiri tidak yakin dengan ucapanku.
            “Kamu yakin Ai?” kali ini Kyla meletakkan penanya dan menatapku.
            “Lagipula kami masih terlalu muda untuk memikirkan hubungan serius.”
            “Jadi maumu?”
            “Mauku untuk sekarang sudah dulu. Kalau ternyata jodoh, saat aku memutuskan untuk bersamanya ya saat itu juga aku akan benar-benar serius dan menikah. Bisakah aku melakukannya?”
            “Kamu harus yakinkan dirimu dulu. Kalau ada niat pasti bisa kok,” ucap Kyla seraya menggenggam tanganku dan tersenyum.
            “Baiklah, besok aku akan mengatakan hal ini padanya.”
***
            Pintu kantor pengurus masih tertutup, tapi aku masih setia menunggu demi ini semua. Kuharap bukan Mbak Luna yang datang atau aku akan diserbu ribuan pertanyaan yang akan memojokkanku.
            “Irene? Ada apa pagi-pagi sudah kesini?” huh, untunglah Mbak Mina yang datang.
            “Saya mau ngomong sesuatu mbak,” jawabku pelan.
            “Ya sudah, ayo masuk dulu,” ucap Mbak Mina seraya membuka pintu kantor.
            “Saya mau minta izin ke tembok belakang untuk ketemu Vian mbak,” kataku begitu Mbak Mina telah mempersilahkanku untuk duduk. “Bukan ketemu secara langsung, hanya ngobrol sebentar.”
            “Kenapa enggak nulis surat saja? Nanti bisa dititipkan ke pengurus pondok putra.”
            “Tidak semuanya bisa dituangkan dalam tulisan mbak,” aku mulai tertunduk, takut kalau aku tidak mendapatkan izin.
            “Baiklah, tapi jangan lama-lama. Mbak boleh mengawasi kalian?” tanyanya setelah berpikir hampir lima menit.
            “Tentu saja mbak, tidak ada rahasia kok,” Mbak Mina tersenyum kemudian beranjak untuk menelepon seseorang. Kurasa itu pengurus pondok putra untuk menyampaikan pesanku pada Vian kalau aku ingin bertemu dengannya. Setelah selesai dengan panggilan teleponnya, Mbak Mina menatapku dan tersenyum, kemudian mengajakku untuk segera ke belakang.
Aku dan Mbak Mina duduk di kursi yang ada di belakang dapur untuk menunggu Vian, sesekali berbincang tentang keadaan pondok. Percakapan kami terhenti begitu aku mendengar suara langkah kaki mendekat ke tembok. Aku bergegas mendekat ke tembok, berusaha menajamkan pendengaranku.
“Vi,” suara berat itu terdengar pelan. Aku menoleh ke arah Mbak Mina yang kini tersenyum padaku. Tanpa kusadari akupun membalas senyumnya.
“A…Ai,” balasku gugup.
“Ada apa Ai? Tidak biasanya kamu seperti ini.”
“Vi, aku ingin mengatakan sesuatu yang penting. Ini tentang kita,” oh tidak, aku semakin gugup mengatakan ini. “Kita masih muda dan perjalanan untuk hubungan yang serius masih terlalu jauh. Bukankah kita seharusnya melepas status pacaran ini saja? Toh kalaupun kita berjodoh nantinya pasti ada jalan. Ketika kita nanti dipertemukan lagi untuk suatu hubungan serius, saat itu juga aku ingin kita benar-benar serius dan menikah. Bukankah itu lebih baik?”
Aku mulai takut, tidak ada balasan dari Vian, yang kudengar hanyalah deru nafasnya yang terdengar berat. Namun setelah hampir lima menit berlalu, akhirnya Vian menghela nafas panjang.
“Aku akan menunggu saat itu tiba Ai, semoga kita ditakdirkan untuk berjodoh.”
“Amin. Terima kasih Vi,” akhirnya, aku merasa lega mendengar jawabannya.
“Kembalilah sekarang sebelum ada yang melihatmu.”
“Ada Mbak Mina disini.”
“Benarkah? Assalamu’alaikum Mbak Mina”
“Wa’alaikumsalam Vian,” balas Mbak Mina seraya berjalan mendekat.
“Ya sudah, saya pamit dulu mbak. Ai, jaga diri baik-baik ya, jangan sampai sakit. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam,” balas kami bersamaan.
Kami kembali ke pondok begitu suara langkah kaki Vian semakin menjauh. Tak henti-hentinya Mbak Mina menoleh dan tersenyum.
“Semoga kalian memang berjodoh,” bisik Mbak Mina, kemudian aku tersenyum dan mengamini ucapannya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar